Mencermati haru biru di tubuh Partai Demokrat dan banyaknya elite
partai tersangkut korupsi, saya teringat dialog Bung Karno dan Guntur
Soekarnoputra. Tahun 1964, sehabis makan siang, Bung Karno bertanya, ”Apa kau tahu bahwa menjadi seorang
politikus itu tidak mudah? Apalagi kalau kau mau jadi politikus yang
berpijak pada kepentingan-kepentingan politik rakyat.” Guntur pun
mengangguk.
Tapi kini lihatlah perilaku politisi kita. Secara umum gerak politik
mereka tidak berpijak pada kepentingan rakyat. Kebajikan politik tidak
menjadi panggilan jiwa mereka. Ranah politik bukan lagi dijunjung sebagai
arena pergulatan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi sekadar tambak uang
dan kekuasaan. Akibatnya, jubah republik menjadi kotor dan lusuh.
Sehubungan dengan hal itu, urgensi Indonesia saat ini adalah
menemukan pemimpin yang mampu mencuci jubah kotor itu. Ini berlaku di
segala lini dan bidang. Menurut saya, meminjam terminologi sektor minyak
dan gas, hanya figur yang berkarakter ”hulu” yang bisa melakukannya dengan
baik.
Mereka adalah para kognitariat (pekerja otak) dan sosok-sosok yang
masih menyisakan idealisme dalam dirinya dan mempunyai jejaring kuat di
masyarakat, tetapi bukan karena uang. Secara profesional mereka menyadari
sepenuhnya tuntutan produksi dan tegaknya konstitusi melalui kerja nyata
dan bukan sekadar kibaran citra. Pendeknya, mereka adalah para pekerja di
struktur basis dan sedikit politisi yang masih memanggul keutamaan politik.
Argumen seperti itu penulis sitir ketika banyak pihak menanyakan
nasib Partai Demokrat setelah Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih
kewenangan dan memusatkan pada dirinya. Resume
power yang dilakukan SBY ini tepat guna mengakhiri ketegangan
berkepanjangan dan terjadinya pembelahan internal yang semakin akut.
Akan tetapi, SBY tidak bisa berlama-lama memegang kewenangan itu. Ini
tidak saja dapat mengganggu fokus kerjanya sebagai kepala pemerintahan dan
negara, tetapi juga konsolidasi internal partai itu. Padahal, Partai
Demokrat adalah partai berkuasa. Jika konsolidasi internal lambat, maka
akan kontraproduktif dan pesimisme publik akan menjalar luas.
Oleh sebab itu, langkah taktis utamanya mempertahankan dan
menempatkan figur-figur terpilih yang berkarakter hulu perlu segera
dilakukan. Di sini, sentimen yang berpijak pada label ”orang Anas” dan
”bukan orang Anas” harus disingkirkan. Ini demi menjaga posisi dan
soliditas partai.
Dengan langkah tersebut, secara prediktif Partai Demokrat akan mampu
menjaga posisinya di empat besar pada pemilu legislatif nanti. Dukungan
pemilih diperkirakan 7-10 persen. Dengan presidential threshold sebesar 20
persen, Partai Demokrat harus menggandeng partai lain. Peluang yang terbuka
adalah PKS, Nasdem, PKB, PPP, PAN, Hanura, dan mungkin PKPI kalau partai
itu akhirnya lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum.
Adapun Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
sebagai partai yang sudah mempunyai kader loyal dan infrastruktur yang
relatif kuat, banyak sosok berkarakter hulu yang sebenarnya bernaung di
partai ini. Namun, laju mereka dihambat dan peran mereka menjadi kerdil
karena kuatnya praktik oligarki dan paternalistik di kedua partai itu.
Meski demikian, infrastruktur partai yang kokoh akan menempatkan mereka
lolos ambang batas presiden. Tanpa koalisi, mereka bisa mengajukan kandidat
presiden.
Sementara itu, sejarah politik di Tanah Air kemungkinan besar akan
ditempati Partai Gerindra. Sejarah politik kita adalah sejarah tokoh dan
bukan partai politik. Popularitas Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang
Yudhoyono pada masa kegemilangan masing-masing terbukti telah mendongkrak
perolehan suara PDI-P dan Partai Demokrat waktu itu. Kini Prabowo Subianto
sangat populer. Jika politik bergerak linier, tidak tertutup kemungkinan
Gerindra akan bisa mengajukan calon presiden sendiri tanpa perlu berkoalisi
dengan partai lain.
Dalam konstruksi politik seperti itu, pintu bagi pemimpin hulu dari
rumah alternatif tampaknya menjadi sempit. Peluang nyapres yang terbuka
hanya ada di Partai Demokrat yang kemungkinan akan menggandeng partai lain.
Selebihnya, tawaran bagi tokoh alternatif mungkin hanya untuk posisi calon
wakil presiden, kecuali pemilu legislatif dan presiden dilakukan serentak.
Iklan Perekrutan
Mencermati kondisi obyektif bangsa yang dihadapkan pada akutnya
praktik korupsi dan pemborosan, ledakan penduduk, naiknya jumlah kelas
menengah, pemerintahan yang lemah, dan menipisnya energi fosil, semua
partai politik yang lolos verifikasi sejatinya membutuhkan figur-figur
berkarakter hulu.
Dengan demikian, iklan perekrutan yang dilakukan partai politik untuk
merekrut calon anggota Dewan, misalnya, jika tidak selektif, bisa terjebak
hanya menjaring politisi-politisi oportunis. Kebanyakan mereka adalah para
politisi ”hilir” yang gemar beriklan dan membangun pencitraan guna
memperoleh suara. Jejaring sosial mereka umumnya lemah dan hanya untuk
kepentingan sempit.
Meski begitu, ada saatnya peran mereka diperlukan, tetapi bukan untuk
Indonesia saat ini. Kini kita harus mencuci jubah republik yang kotor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar