Selasa, 12 Februari 2013

Pemimpin Hulu


Pemimpin Hulu
Sukardi Rinakit ;   Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 12 Februari 2013


Mencermati haru biru di tubuh Partai Demokrat dan banyaknya elite partai tersangkut korupsi, saya teringat dialog Bung Karno dan Guntur Soekarnoputra. Tahun 1964, sehabis makan siang, Bung Karno bertanya, ”Apa kau tahu bahwa menjadi seorang politikus itu tidak mudah? Apalagi kalau kau mau jadi politikus yang berpijak pada kepentingan-kepentingan politik rakyat.” Guntur pun mengangguk.

Tapi kini lihatlah perilaku politisi kita. Secara umum gerak politik mereka tidak berpijak pada kepentingan rakyat. Kebajikan politik tidak menjadi panggilan jiwa mereka. Ranah politik bukan lagi dijunjung sebagai arena pergulatan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi sekadar tambak uang dan kekuasaan. Akibatnya, jubah republik menjadi kotor dan lusuh.
Sehubungan dengan hal itu, urgensi Indonesia saat ini adalah menemukan pemimpin yang mampu mencuci jubah kotor itu. Ini berlaku di segala lini dan bidang. Menurut saya, meminjam terminologi sektor minyak dan gas, hanya figur yang berkarakter ”hulu” yang bisa melakukannya dengan baik.

Mereka adalah para kognitariat (pekerja otak) dan sosok-sosok yang masih menyisakan idealisme dalam dirinya dan mempunyai jejaring kuat di masyarakat, tetapi bukan karena uang. Secara profesional mereka menyadari sepenuhnya tuntutan produksi dan tegaknya konstitusi melalui kerja nyata dan bukan sekadar kibaran citra. Pendeknya, mereka adalah para pekerja di struktur basis dan sedikit politisi yang masih memanggul keutamaan politik.

Argumen seperti itu penulis sitir ketika banyak pihak menanyakan nasib Partai Demokrat setelah Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih kewenangan dan memusatkan pada dirinya. Resume power yang dilakukan SBY ini tepat guna mengakhiri ketegangan berkepanjangan dan terjadinya pembelahan internal yang semakin akut.

Akan tetapi, SBY tidak bisa berlama-lama memegang kewenangan itu. Ini tidak saja dapat mengganggu fokus kerjanya sebagai kepala pemerintahan dan negara, tetapi juga konsolidasi internal partai itu. Padahal, Partai Demokrat adalah partai berkuasa. Jika konsolidasi internal lambat, maka akan kontraproduktif dan pesimisme publik akan menjalar luas.

Oleh sebab itu, langkah taktis utamanya mempertahankan dan menempatkan figur-figur terpilih yang berkarakter hulu perlu segera dilakukan. Di sini, sentimen yang berpijak pada label ”orang Anas” dan ”bukan orang Anas” harus disingkirkan. Ini demi menjaga posisi dan soliditas partai.

Dengan langkah tersebut, secara prediktif Partai Demokrat akan mampu menjaga posisinya di empat besar pada pemilu legislatif nanti. Dukungan pemilih diperkirakan 7-10 persen. Dengan presidential threshold sebesar 20 persen, Partai Demokrat harus menggandeng partai lain. Peluang yang terbuka adalah PKS, Nasdem, PKB, PPP, PAN, Hanura, dan mungkin PKPI kalau partai itu akhirnya lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum.

Adapun Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai partai yang sudah mempunyai kader loyal dan infrastruktur yang relatif kuat, banyak sosok berkarakter hulu yang sebenarnya bernaung di partai ini. Namun, laju mereka dihambat dan peran mereka menjadi kerdil karena kuatnya praktik oligarki dan paternalistik di kedua partai itu. Meski demikian, infrastruktur partai yang kokoh akan menempatkan mereka lolos ambang batas presiden. Tanpa koalisi, mereka bisa mengajukan kandidat presiden.

Sementara itu, sejarah politik di Tanah Air kemungkinan besar akan ditempati Partai Gerindra. Sejarah politik kita adalah sejarah tokoh dan bukan partai politik. Popularitas Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono pada masa kegemilangan masing-masing terbukti telah mendongkrak perolehan suara PDI-P dan Partai Demokrat waktu itu. Kini Prabowo Subianto sangat populer. Jika politik bergerak linier, tidak tertutup kemungkinan Gerindra akan bisa mengajukan calon presiden sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain.

Dalam konstruksi politik seperti itu, pintu bagi pemimpin hulu dari rumah alternatif tampaknya menjadi sempit. Peluang nyapres yang terbuka hanya ada di Partai Demokrat yang kemungkinan akan menggandeng partai lain. Selebihnya, tawaran bagi tokoh alternatif mungkin hanya untuk posisi calon wakil presiden, kecuali pemilu legislatif dan presiden dilakukan serentak.

Iklan Perekrutan

Mencermati kondisi obyektif bangsa yang dihadapkan pada akutnya praktik korupsi dan pemborosan, ledakan penduduk, naiknya jumlah kelas menengah, pemerintahan yang lemah, dan menipisnya energi fosil, semua partai politik yang lolos verifikasi sejatinya membutuhkan figur-figur berkarakter hulu.

Dengan demikian, iklan perekrutan yang dilakukan partai politik untuk merekrut calon anggota Dewan, misalnya, jika tidak selektif, bisa terjebak hanya menjaring politisi-politisi oportunis. Kebanyakan mereka adalah para politisi ”hilir” yang gemar beriklan dan membangun pencitraan guna memperoleh suara. Jejaring sosial mereka umumnya lemah dan hanya untuk kepentingan sempit.

Meski begitu, ada saatnya peran mereka diperlukan, tetapi bukan untuk Indonesia saat ini. Kini kita harus mencuci jubah republik yang kotor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar