Jumat, 15 Februari 2013

Merindukan Seorang “Mesias” Politik


Merindukan Seorang “Mesias” Politik
Peter Lewuk  Peneliti Senior The Adam Malik Center, Aktivis Solidaritas Angkatan 66
SINAR HARAPAN, 14 Februari 2013


Menjelang Pemilu 2014, sudah banyak tokoh mulai tampil atau dimunculkan ke atas pentas politik untuk dijagokan sebagai calon presiden.

Ini sesuatu yang positif bagi pendidikan demokrasi, agar rakyat sebagai pemilik sah hak atas kedaulatan tidak membeli kucing dalam karung pada pemilu nanti; agar rakyat tidak salah mendaulat seorang tokoh untuk menjadi pemimpin mereka; agar rakyat dapat melihat, menilai, dan mempertimbangkan untuk menentukan pilihannya sesuai dengan akal sehat dan hati nuraninya ketika berada dalam bilik pencoblosan kertas suara pada hari H pemilu presiden nanti.

Di antara para bakal calon presiden itu, ada yang sangat giat melakukan manuver baik di tingkat elite partai-partai politik untuk menjajaki kemungkinan kerja sama atau koalisi, maupun manuver di tingkat akar rumput untuk menyosialisasikan diri dan menarik minat serta perhatian masyarakat calon pemilih.

Kalau memakai istilah yang sedang ngetrend sekarang disebut melakukan politik blusukan ke tengah masyarakat untuk mengetahui apa sesungguhnya persoalan hidup yang dirasakan oleh rakyat sehari-hari.

Selain itu, para konsultan politik dan lembaga-lembaga survei sudah mulai kebanjiran order ataupun mencari order untuk melakukan survei tentang tingkat popularitas dan tingkat keterpilihan para tokoh bakal kandidat presiden itu. Para pakar dan pengamat politik pun semakin sibuk memberikan analisis dan komentar tentang peluang dan hambatan yang bakal dihadapi para bakal kandidat presiden.

Pencitraan Vs Pencerdasan

Meskipun demikian, ada yang menarik untuk dikomentari secara kritis tentang fenomena politik blusukan itu; bahwa blusukan lebih merupakan politik pencitraan ketimbang politik pencerdasan. Meminjam pendapat Rizal Ramli, mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, kalau para perintis kemerdekaan zaman dulu, mereka adalah pemimpin pencerdasan, sedangkan para pemimpin sekarang adalah pemimpin pencitraan (Rakyat Merdeka, 8/2/’13).

Saya setuju dengan pendapat Bung Rizal Ramli tersebut. Dari segi waktu memang zaman perjuangan kemerdekaan beda dengan zaman reformasi. Tetapi, hakikat eksistensi seorang pemimpin bangsa haruslah tetap sama yaitu sebagai “pemimpin pencerdasan” dan bukan “pemimpin pencitraan”. Menurut saya, pencitraan dalam komunikasi politik lebih merupakan realitas kemasan, realitas palsu, atau realitas seolah-olah ketimbang realitas sesungguhnya dari sang tokoh.

Sebagai misal, saya adalah seorang pengusaha besar. Dalam praktik bisnis, saya memanipulasi pajak demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kerajaan bisnis saya. Perusahaan saya juga merusak lingkungan hidup.

Tetapi, ketika saya maju menjadi calon presiden maka tim sukses akan mengemas saya, sedemikian rupa, sehingga melalui iklan di TV, saya tampil sebagai tokoh yang sangat peduli dengan nasib rakyat, ketika saya blusukan di tengah-tengah mereka. Di sana saya menggendong anak rakyat miskin atau berlumpur ria memanen padi di sawah bersama para petani, dan sebagainya.

Tetapi, realitas saya dalam iklan di TV adalah realitas kemasan alias “saya yang palsu”. Mengapa? Karena dalam realitas bisnis, saya adalah seorang pengemplang pajak rakyat dan perusak lingkungan hidup.

Tetapi, karena saya mempunyai banyak uang maka saya bisa baku atur dengan oknum-oknum penegak hukum agar saya lolos dari jerat hukum. Jadi, realitas saya dalam kemasan iklan berbeda dengan realitas saya sebagai seorang pengusaha yang mengemplang pajak rakyat dan realitas perusahaan saya yang merusak lingkungan hidup.

Praktik pencitraan seperti di atas jelas menipu rakyat. Beda dengan seorang pemimpin yang pikiran, perkataan, dan perbuatannya membawa pencerahan, pencerdasan, dan kemaslahatan bagi rakyat. Pemimpin pencerdasan dan pencerahan akan konsisten antara kata-kata dan perbuatan.

Tanpa embel-embel pencitraan pun, seorang pemimpin pencerdasan akan selalu dicintai rakyat, karena seluruh hidupnya diabdikan kepada kepentingan bangsa, negara, dan rakyat. Dewasa ini nyaris sulit sekali kita menemukan politikus dan pejabat negara yang berkarakter “mengabdi Republik”, sebagaimana diperlihatkan para founfing fathers, antara lain Adam Malik, yang menuangkan pengabdian mereka itu dalam bukunya Mengabdi Republik.

Kalau sekarang, yang terjadi adalah bagaimana pemimpin kita menjual Tanah Air ini ke bangsa asing. Mereka lebih pantas disebut komprador yang menjadi kaki tangan atau jongos buat kepentingan asing ketimbang disebut sebagai tokoh pemimpin bangsa.
Yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana bersama bangsa asing merampok Republik ini untuk kepentingan diri, keluarga, dan golongannya serta kepentingan asing; sehingga yang berjaya dan hidup enak di Republik ini adalah orang asing dan para elite politik dan elite bisnis ketimbang rakyat Indonesia sendiri. Rakyat menghafal lagu “Tanah Airku Indonesia”, tetapi tidak mempunyai tanah, malah didera berbagai kasus agraria di tanah tumpah darahnya sendiri.

Yang didapat rakyat hanyalah “remah-remah roti” yang jatuh dari meja tuan elite politik dan elite bisnis, serta meja tuan neokolonialis, neoimperialis, dan neolib. Remah-remah roti hanya layak dimakan anjing dan kucing. Masa rakyat sama dengan anjing dan kucing? Sungguh ironis.

Para founding fathers berjuang supaya bangsa ini menjadi negara merdeka, tetapi para pemimpin pencitraan malah membuat bangsa ini kembali dijajah bangsa asing. Saya bukan orang yang antiasing, tetapi saya tidak rela, lantaran kebebalan dan kelemahan para pemimpin bangsa ini, maka Indonesia tetap dijajah bangsa asing, yang berkedok globalisasi dan investasi serta pasar bebas.

Atas nama reformasi dan globalisasi para pemimpin pencitraan itu telah mengkhianati Proklamasi, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945, serta ajaran kemandirian bangsa yaitu Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Mesias Politik

Oleh karena itu, bangsa ini sangat merindukan datangnya seorang “mesias” politik. Rakyat Indonesia merindukan tampilnya tokoh yang tidak hanya sekadar “bercita-cita menjadi presiden”, yang sekarang muncul bak cendawan di musim hujan, tetapi seorang “mesias politik” alias tokoh “pemimpin penyelamat Republik” ini dari kehancuran akibat pengkhianatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945, Proklamasi, serta Trisakti.

Selama 15 tahun reformasi bangsa ini hidup tanpa negara, karena negara telah “dibubarkan” oleh kaum reformis pengkhianat dengan menghasilkan sebuah undang-undang dasar yang sama sekali baru, yang sama artinya dengan membubarkan negara, yaitu Undang-Undang Dasar Neolib 2002. Saya yakin pandangan ini akan menimbulkan kontroversi, tetapi saya mengundang para ahli untuk berdiskursus secara kritis-argumentatif-komprehensif demi penyelamatan Republik ini.

Indonesia dewasa ini mengalami kelebihan atau mubazir poli(tikus), yang kalau dihilangkan kata polis (Yun artinya negara-kota atau kepentingan umum), maka yang tinggal adalah “tikus-tikus” yang menggerogoti dan mencuri uang rakyat melalui tindakan korupsi yang bukannya semakin berkurang, malah semakin menggila.

Rakyat Indonesia tidak membutuhkan pemimpin bermental kuli ketika berhadapan dengan bangsa asing. Kalau pemimpinnya sendiri sudah bermental kuli maka rakyat Indonesia akan menjadi budak atau kuli benaran. Ini fakta yang tidak dapat dibantah. Rakyat Indonesia benar diperbudak di luar negeri.

Indonesia sangat membutuhkan seorang “mesias politik” yang dengan berani membawa bangsa ini kembali ke Pancasila dan UUD 18 Agustus 1945, kemudian menata ulang haluan politik bangsa ke depan demi mewujudkan Trisakti Indonesia. Ini bukan set back alias langkah mundur, melainkan langkah maju untuk menyelamatkan Republik ini.

Kita membutuhkan pemimpin pencerdasan dan pencerahan, pemimpin revolusioner-radikal, pemimpin berintegritas tinggi, pemimpin pemberani, yang seperti Bung Karno mengatakan, “Go to hell with your aids.” Sebaliknya, Indonesia tidak membutuhkan pemimpin pencitraan. Kita membutuhkan mesias politik yang rela “mengorbankan” dirinya demi keselamatan bangsa, negara, dan rakyatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar