Jumat, 15 Februari 2013

Ideologi “Hambar” Partai Politik


Ideologi “Hambar” Partai Politik
Yuli Afriyandi   Aktif di Lembaga Swadaya Pengembangan Masyarakat Pinbuk DIY
SUARA KARYA, 14 Februari 2013


Beberapa kasus yang mendera kader-kader partai politik di negeri ini cukup meyakinkan kita bahwa ada yang salah dalam pendidikan politik bangsa ini. Partai politik seperti tidak mampu memberikan nilai atau ruang penyadaran terhadap visi dan misi yang diemban, yang merupakan wujud interpretasi ideologi.

Kasus korupsi sapi impor yang menjungkirkan pucuk pimpinan partai besar berideologi Islam seperti PKS, serta beberapa kasus korupsi yang mendera beberapa kader partai besar lainnya, memberikan sebuah bukti kepada kita bahwa ada semacam krisis ideologi di dalam tubuh partai politik tersebut.

Lain lagi, jika kita melihat perkembangan politik saat ini, menyusul adanya trend politisi 'kutu loncat' yang memungkinkan bagi seseorang untuk mudah bergonta-ganti baju partai politik. Inilah buah dari sistem demokrasi yang memberikan hak penuh bagi seseorang untuk memilih dan dipilih. Namun, dalam realitanya, acapkali hak tersebut disalahartikan dan disalahgunakan untuk kepentingan pragmatis yang mengakibatkan tidak statisnya pilihan pada satu partai politik.

Antara partai politik, politisi dan konstituen terjadi mutualisme yang tidak berdasarkan ideologi, akan tetapi hanya berdasarkan kepentingan politik murni. Lihat saja, di tahun menjelang pemilu saat ini, ada banyak partai politik ramai-ramai membuka lowongan bakal caleg. Atau, tidak sedikit partai yang langsung melamar seseorang yang dianggap mempunyai pengaruh, popularitas dan kekuasaan walaupun secara kapasitas jauh dari ideal.

Kekuasaan Murni

Fenomena di atas merupakan gambaran terjadinya kerancuan paradigma antara tujuan didirikannya partai politik dan realitas politik saat ini. Bangunan idealisme yang diterjemahkan melalui visi dan misi partai politik yang menjadi ruh dalam setiap kebijakan yang dilaksanakan, seakan runtuh akibat maraknya penistaan, penodaan oleh kader-kader partai politik itu sendiri.

Sistem pengkaderan berbasis doktrinisasi yang tujuannya adalah untuk mempertahankan ideologi dan idealisme, menjadi mandul. Bisa kita katakan bahwa ideologi tergerus oleh realitas politik, di mana kekuasaan murni sebagai tujuan utama dari partai politik itu. Padahal, hubungan antara ideologi dan politik adalah hubungan yang tak terpisahkan (inseparable). (Selinger, 1976) Namun, nyatanya, idelogi dan idelisme dalam hal ini hanya dijadikan jargon sebagai daya pikat meraih suara menjelang dan masa-masa pemilu saja.

Kesadaran partai politik untuk mencetak kader yang berkualitas sesuai dengan ideologi partai sangat minim dilakukan. Akhirnya, resapan ideologi sangat tidak lembab bahkan cenderung kering. Absennya nilai ideologi dalam aktivitas para politisi menjadi buah simalakama dari krisis ideologi yang sudah lama menjadi buah bibir. Jika kemudian bangsa dan negara ini stagnan dalam tingkat kemajuan, maka itulah hasilnya.

Memang, seiring dengan semakin terbukanya masyarakat, mereka semakin kritis dalam menyikapi setiap permasalahan. Masyarakat melihat bahwa permasalahan bangsa dan negara yang hadir di depan mereka jauh lebih penting dibandingkan dengan ideologi yang kerap digaungkan oleh partai. Masyarakat akan cenderung berpihak pada partai politik yang betul-betul bekerja untuk rakyat, dan juga bersih dari noda-noda sosial.

Paradigma partai politik pun sudah memberikan signal bahwa ideologi tidak lagi menjadi variable sentral dalam pembuatan keputusan di internal partai. Fenomena partai politik yang mengklaim diri sebagai partai catch-all yang menampung semua kalangan untuk masuk ke dalam partai dapat mengkaburkan antara garis batas ideologi, dan orientasi partai pun menjadi lebih populis serta berbasis pada 'suara'.

Fenomena inilah yang disebut oleh Giovanni Sartori (1996) sebagai kecendrungan sentrifugal dalam partai politik. Di mana, dalam demokrasi yang sudah terinstitusionalisasi secara baik, ideologi partai akan mengarah ke tengah dan membuat penyekat ideologi antarpartai akan semakin bias. Dengan kata lain, partai-partai politik akan semakin pragmatis dalam upayanya mendapatkan kekuasaan.

Revitalisasi?

Pada dasarnya, kader partai politik yang baik adalah kader yang berkomitmen dan konsisten dalam memperjuangkan ideologi partainya. Jika kita melihat sejarah, orang seperti Muso dan Amir Syarifuddin yang berideologi komunis adalah orang yang rela mempertahankan ideologinya meskipun berhadapan dengan kekuatan dahsyat di sekitarnya. Demikian pula seperti founding father kita, Bung Karno dengan ideologi Marhaenisme, Natsir dengan Islam purifikatifnya dan sebagainya.

Dari sini tentu kita mengharapkan partai politik yang ada di Indonesia sekarang ini harus mempunyai platform yang jelas. Menghindarkan pragmatisme yang sudah menjadi pandangan hidup banyak kader partai politik. Partai politik tidak hanya dijadikan kendaraan politik yang dipakai jika diperlukan dan ditinggalkan ketika sudah tidak bisa menjadi kendaraan lagi atau sudah tidak nyaman dikendarai.

Partai politik sebagai suatu kelompok yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai dan cita-cita yang sama dan memiliki pemikiran yang sama harus bisa membangun ciri khas kepartaian dalam rangka untuk memberi platform partai tersebut di mata pendukungnya. Untuk itu, dibutuhkan revitalisasi partai politik dalam relasinya dengan masyarakat dan juga masa depan. Serta, untuk mendidik kader-kader partai politik yang bersih dan sejalan dengan ideologi kepartaian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar