Wajah para elite dan partai
politik akhir-akhir ini tampak kian buruk rupa akibat aneka tindak melawan
hukum dan amoralitas mereka: korupsi para elite partai, suap terhadap
petinggi partai, kongkalikong anggota Dewan, manipulasi anggaran
departemen, pesta narkoba elite partai, atau skandal seks para pejabat.
Tindak melawan hukum dan amoralitas seakan jadi wabah di lembaga-lembaga
partai, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Aneka tindakan itu menunjukkan
rusaknya fondasi utama arsitektur demokrasi, yaitu etika politik. Tindak
”mempermainkan” etika politik menggiring pada kaburnya batas-batas moral
tentang apa yang dipandang baik/jahat, susila/asusila, benar/salah.
Elite politik yang selama ini memiliki
citra baik, bersih, dan jujur tiba-tiba terjerat suap. Partai yang selama
ini mengusung gerakan antikorupsi justru terjerumus jurang korupsi.
Virus korupsi, suap, kongkalikong,
narkoba, dan skandal seks layaknya wabah yang menular di kalangan para elite
dan partai politik sehingga mereka yang selama ini dianggap steril kini
tertular virus kejahatan dan amoralitas itu.
Pemerataan kejahatan di tubuh
partai politik menjadi indikator keroposnya pilar etika politik, di mana
dorongan kuasa meminggirkan kebenaran, yang menggiring pada kondisi
”darurat demokrasi”—the democratic
emergency.
Politik Eksepsi
Dalam realitas sosial-politik,
darurat adalah kondisi ketika aneka tindakan, keputusan, dan kebijakan yang tak biasa
terpaksa dilakukan oleh otoritas tertentu untuk menghindari keadaan lebih
buruk, tetapi ironisnya dengan mendistorsi aturan hukum. Darurat
demokrasi adalah kondisi ketika tindakan tak biasa harus dilakukan untuk
mengatasi aneka tindak melawan hukum dalam sistem demokrasi.
Tindak melawan hukum dan
amoralitas mewabah di dalam partai politik karena di dalam ruang politik
dan hukum begitu banyak keadaan eksepsi (state of exception), yaitu ketimpangan antara hukum publik dan
fakta politik, karena garis batas ambigu, tak pasti, dan liminal dalam
titik persilangan hukum dan politik. Hukum ditegakkan, tetapi ia tak dapat
diterapkan karena tak memiliki kekuatan.
Ada ruang anomi, di mana kekuatan
hukum dimentahkan kekuatan politik sehingga penegakan hukum tanpa kekuatan
hukum itu sendiri. (Agamben, 2003)
Keadaan eksepsi menyebabkan banyak
kekuatan jahat (konspirasi, persekongkolan, mafia) tak tersentuh hukum.
Kejahatan tak tersentuh ini merupakan gejala tak berjalannya hukum publik,
yang mengalami gangguan, kemacetan, dan ketidakberdayaan. Hukum publik ditegakkan,
tetapi aparatus penegaknya (kejaksaan, kehakiman, kepolisian) mengalami
kerusakan dan kemacetan, yang menyebabkan hilangnya harapan akan kebenaran
hukum.
Gejala kemacetan juga terjadi pada
wacana politik: komunikasi terganggu, bahasa kehilangan makna, ucapan
tercabut dari realitas, bahasa tak lagi bermuatan kebenaran. Salah satu
sistem bahasa yang tak bekerja adalah sumpah (oath).
Sumpah adalah modalitas bahasa
yang diinvestasikan melalui deklarasi, sebagai jaminan bahwa apa yang
dikatakan akan ditunjukkan melalui tindakan. Pelanggaran hukum yang meluas
di lembaga-lembaga politik menandai runtuhnya makna sumpah jabatan.
(Agamben, 2011)
Sumpah yang diucapkan para pejabat
publik yang melanggar hukum (korupsi, suap, kongkalikong, narkoba, asusila)
bukan sumpah palsu karena diucapkan dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi,
sumpah asli itu diucapkan untuk dilanggar. Inilah kondisi eksepsi: sumpah
diucapkan sebagai bagian formalitas hukum dan institusi, tetapi ia tak
memiliki kekuatan.
Janji dan sumpah adalah dua elemen
wacana politik yang memiliki eksistensi berbeda. Janji politik adalah
ucapan (melalui kampanye, iklan politik) yang menyatakan tentang kesediaan
atau kesanggupan berbuat sesuatu bagi masyarakat umum. Sementara, sumpah adalah
sebuah jaminan hukum atas tindakan yang harus dilakukan dalam kapasitas
sebagai pejabat publik. Eksepsi adalah kondisi ketika janji maupun sumpah
kehilangan makna.
Demokrasi adalah sistem politik
yang mensyaratkan simetri dan kesesuaian antara janji atau sumpah dengan
tindakan politik. Ketika tindakan politik bertentangan dengan janji,
perilaku bertolak belakang dengan sumpah, realitas politik berseberangan
dengan hukum publik, demokrasi terdistorsi dari makna esensialnya. Di sini,
demokrasi disimpangkan melalui manipulasi bahasa dan jargon, untuk menutupi
aneka realitas kejahatan di dalamnya.
Demokrasi Pasar
Demokrasi merepresentasikan tak
hanya model kekuasaan rakyat yang didelegasikan kepada elite politik,
tetapi yang lebih penting ”ruang bersama”, yang di dalamnya dibangun dunia
bermakna. Setiap ruang makna (space
of sense) dalam sistem demokrasi adalah ruang bersama, di mana makna
dan kebenaran dinegosiasikan dan disingkap. Ia adalah ruang tempat
berlangsungnya sirkulasi, transaksi, dan pertukaran makna di antara
elemen-elemen politik.
Res publica adalah ”perkara
publik” yang dibicarakan di dalam ruang publik, melalui ikatan asosiasi dan
komitmen bersama yang dibangun di dalamnya. Res publica mengkristal melalui seperangkat kebaikan umum (common good) sebagai fondasi body politic, yang terbuka bagi
penilaian publik. Di dalamnya, setiap orang menampilkan cara berbicara,
gestur, pakaian, dan model interaksi untuk membangun citra dan makna
politik.
Demokrasi tanpa makna dan
kebenaran adalah demokrasi yang tanpa nilai kepublikan. Di dalamnya, makna
dan kebenaran diambil alih jargon. Jargon menjanjikan kebahagiaan atau
kebenaran, tetapi hanya menampilkan bayang-bayangnya: mengatakan sesuatu
yang tak ada realitasnya, menjanjikan sesuatu yang tak akan terpenuhi,
mengucapkan sumpah untuk dilanggar.
Inilah demokrasi pasar, di mana
kekuatan modal digunakan untuk memanipulasi kebenaran melalui pencitraan.
(Jean Luc Nancy, 1993)
Akan tetapi, demokrasi pasar kini
menjelma demokrasi pasar gelap ketika demokrasi tak hanya dikendalikan
kekuatan modal, tetapi juga oleh kekuatan tak tampak (invisible power). Inilah kekuatan rahasia yang bersifat
anti-kekuasaan (anti-power),
dalam bentuk konspirasi, konsensus jahat, mafia, persekongkolan dan
kongkalikong di antara para elite politiknya. (Bobbio, 1987)
Demokrasi memberi ruang
tawar-menawar, transaksi, negosiasi, kompromi, kesepakatan, persetujuan,
dan konsensus di antara para elite dan komunitas politik di dalam ruang
publik relatif terbuka. Akan tetapi, dalam demokrasi pasar gelap, aneka
transaksi, negosiasi, dan konsensus itu dilakukan secara rahasia, tak
tampak dan ilegal, yang mendorong aneka bentuk korupsi, suap, kongkalikong,
mafia dan skandal, yang ironisnya melibatkan aparat hukum sendiri
Darurat demokrasi adalah kondisi
ketika tindakan tak biasa harus dilakukan untuk mengatasi pasar gelap
demokrasi—yang mendorong korupsi, suap, kongkalikong, skandal—yang justru
melibatkan aparatus hukum. Hukum publik tak bekerja karena aparat hukum dan
pejabat publik menjadi bagian pasar gelap itu, yang mementahkan aneka
keputusan hukum: hukuman yang ringan, penangguhan penahanan, dan
pengulur-uluran kasus.
Aneka perlawanan terhadap kerja
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memberantas korupsi, suap, dan
kongkalikong oleh aneka kekuatan tak tampak kian menegaskan pentingnya
darurat demokrasi, yaitu dibangunnya kekuatan suplemen untuk melawan
eksepsi hukum, agar kekuatan hukum tidak dimentahkan oleh kekuatan politik.
Kekuatan rakyat—yang
dimanifestasikan melalui aneka media sosial—dapat menjadi kekuatan suplemen
dalam melawan kekuatan tak tampak itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar