Senin, 18 Februari 2013

Stop Dana Abadi Pendidikan


Stop Dana Abadi Pendidikan
Tulus Santoso Tenaga Ahli Anggota Dewan di Komisi X DPR
KOMPAS, 18 Februari 2013


Pada tahun ini, pemerintah akan mencairkan bunga dari dana abadi pendidikan yang konon mencapai Rp 700 miliar.
Langkah ini perlu perhatian serius karena memang sejak awal keberadaan dana ini penuh kejanggalan. Tak hanya soal aturan, motif di balik eksisnya dana abadi pendidikan (DAP) tiga tahun belakangan juga penuh misteri. Meski pemanfaatannya untuk pendidikan menjadi kewenangan dan tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, DAP yang dalam UU APBN bernama Dana Pengembangan Pendidikan Nasional diprakarsai mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Kompas, 8/3/2010).
Setelah mewacanakan DAP pada Maret 2010, Sri memasukkan DAP dalam UU Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No 47/2009 tentang APBN tahun 2010. UU APBN ini kemudian diikuti penerbitan Permenkeu No 238/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, Pengelolaan, dan Pertanggungjawaban Endowment Fund dan Dana Cadangan Pendidikan pada Desember 2010. Berbeda dengan dana abadi umat yang dihimpun dari masyarakat melalui efisiensi penyelenggaraan haji, DAP diambil langsung dari 20 persen anggaran pendidikan. Besarannya 1 persen-2 persen tiap tahun. Dalam APBN 2013, DAP dialokasikan Rp 5 triliun sehingga total DAP saat ini mencapai Rp 15,6 triliun (akumulasi sejak tahun 2010).
Tak Terkonsep Baik
Jumlah ini sangat besar, bahkan melebihi total anggaran di kementerian/ lembaga negara. Sebut saja anggaran di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hanya Rp 2 triliun (2013), Kementerian Pemuda dan Olahraga Rp 1,9 triliun, serta Perpustakaan Nasional Rp 478 miliar. Kehadiran DAP ini sejatinya tak istimewa, kecuali dari besarnya anggaran yang dialokasikan. Dana ini juga tak terkonsep dengan baik. Menurut UU No 19/2012, dana abadi pendidikan (endowment fund) dipakai untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi. Hal ini diwujudkan antara lain dengan mengalokasikannya untuk beasiswa dan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana alam. Mendikbud menyatakan, DAP akan dialokasikan khusus untuk beasiswa S-2 dan S-3 non-PNS dan nondosen, penelitian yang berbasis energi dan pangan, serta rehabilitasi fasilitas pendidikan akibat bencana.
Fungsi anggaran, mulai beasiswa, penelitian, sampai rehabilitasi sejatinya telah dialokasikan dalam anggaran reguler di luar DAP. Jika DAP digunakan membiayai hal yang sama, untuk apa ada DAP? Niat Kemdikbud memanfaatkan DAP untuk beasiswa S-2 dan S-3 nondosen dan non-PNS juga jelas tak sesuai rencana strategis (renstra) Kemdikbud 2010-2014 yang justru ingin meningkatkan persentase pendidikan dosen berkualifikasi S-2 dan S-3. Dalam renstra ini, Kemdikbud menargetkan peningkatan dosen berkualifikasi S-2 sampai 85 persen dan dosen berkualifikasi S-3 hingga 90 persen.
Selain itu, beasiswa yang hanya difokuskan bagi S-2 dan S-3 juga tak linear dengan upaya peningkatan APK SMA/SMK (wajib belajar 12 tahun). Karena ketika APK meningkat, otomatis calon S-1 juga meningkat, yang kemudian membutuhkan pendanaan pendidikan untuk jenjang sarjana. Kemudian, DAP yang dalam UU APBN disebutkan sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi memberikan kesan bahwa suatu saat nanti kita akan kekurangan dan kehabisan uang untuk membiayai pendidikan. Pandangan ini memang dibantah Sri Mulyani yang menegaskan bahwa kehadiran DAP bukan soal kekurangan dana, melainkan bagaimana membelanjakan anggaran dengan benar (daya serap) (Kontan, 13/3/2010).
Hal ini mengindikasikan Sri Mulyani, selaku Menkeu waktu itu, tak percaya kepada Kemdikbud dalam pengelolaan anggaran pendidikan. Wajar bila kemudian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dicabik-cabik. Dari mulai dibagi kepada 18 kementerian/lembaga, transfer ke daerah, alokasi khusus, hingga penyediaan pos bagi DAP. Dengan kata lain, DAP dijadikan jalan memenuhi kuota 20 persen anggaran pendidikan, sekaligus mengatasi daya serap rendah atas anggaran yang besar tersebut.
Salah Kaprah
Lebih lanjut, pengelolaan DAP oleh badan layanan umum (BLU) adalah kebijakan yang salah kaprah. Karena konsep BLU sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 poin (1) dan (2) PP No 23/2005 adalah sebagai penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual (menerapkan praktik bisnis yang sehat). Adapun DAP adalah dana yang didepositokan dan pendapatannya hanya berupa bunga. Dengan kata lain, DAP bukanlah modal segar (fresh capital) yang kelak dipakai untuk berbisnis.
Ironisnya, Mendikbud, sebagai menteri yang terkait dengan pendidikan dan yang akan memanfaatkan DAP, tidak menguasai dana tersebut. Pasalnya, berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) Permenkeu No 238/PMK.05/2010, pengguna anggaran DAP adalah Menkeu bukan Mendikbud. Anggaran ini semakin liar lantaran Komisi X sebagai mitra Kemdikbud tak bisa mengawasi penggunaan anggaran itu sebab anggaran ini berada di bawah cengkeraman Menkeu dan sepenuhnya di bawah pengawasan kementeriannya.
Pembentukan BLU yang baru dilakukan pada 2012 dan pencairan yang akan dilakukan pada tahun ini juga patut dipertanyakan. Pasalnya, DAP sudah dianggarkan sejak tahun 2010. Hal ini memicu kecurigaan akan besarnya kemungkinan penyelewengan DAP untuk kepentingan politik 2014. Apalagi dana abadi terbukti rentan terhadap korupsi. Seperti korupsi DAU yang menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husein Al Munawar. Selain itu, DAP di Aceh juga diduga dikorupsi karena, berdasarkan temuan LSM, saldo DAP Aceh sudah kosong.
Pada akhirnya, anggota DPR yang memiliki hak budget mesti bertindak. Bagaimanapun kesalahan tidak bisa ditujukan sepenuhnya kepada pemerintah, mengingat UU APBN terlahir dari ketuk palu Rapat Paripurna DPR. Peluang masih ada lantaran basis aturan DAP adalah APBN; jadi APBN-P 2013 adalah pintu masuk atas komitmen wakil rakyat.
Namun, semuanya akan kembali pada proses politik. Akankah suara terbanyak diberikan kepada pemerintah (lanjutkan) atau sebaliknya (stop DAP)? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar