Rabu, 06 Februari 2013

2013, Tahun Politik Muka Dua


2013, Tahun Politik Muka Dua
Asrudin ;  Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Group
SINAR HARAPAN, 05 Februari 2013
Artikel ini juga dimuat di JAWA POS 04 Februari 2013
http://budisansblog.blogspot.com/2013/02/tahun-politik-muka-dua.html


Banyak pihak yang mengatakan, 2013 adalah Tahun Politik. Itu artinya akan banyak kejutan politik terkuak sebelum pesta demokrasi 2014 berlangsung. Sayangnya, kejutan-kejutan itu bukan dalam arti positif, melainkan negatif.

Tahun 2013 diprediksi akan menjadi akhir karier para politikus yang lengah dan memiliki celah untuk dikasuskan secara hukum. Menjelang 2013, petinggi Partai Demokrat (PD) Andi Mallarangeng (AM) ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi terkait pengadaan peningkatan sarana prasana olahraga di Hambalang tahun anggaran 2010-2012. Penetapan AM sebagai tersangka, membuat ia memutuskan mundur dari jabatan Menpora, Sekretaris dan Anggota Dewan Pembina PD.

Tidak hanya PD, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ini juga mengalami apa yang disebut Tahun Politik 2013. Tidak tanggung-tanggung, presiden partai ini, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap impor daging sapi. Mengikuti jejak AM dari PD, LHI pun akhirnya memutuskan untuk mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Anis Matta.

Yang menarik dan perlu diperhatikan tentang Tahun Politik 2013 ini adalah para politikus yang tersandung masalah selama ini dikenal publik sebagai sosok “bersih”. Apalagi mereka adalah petinggi dari partai yang selama ini giat mengampanyekan perang melawan korupsi.

PD terkenal dengan slogan, “Katakan Tidak pada Korupsi”, sementara PKS konsisten dengan slogan “Bersih dan Peduli”. Tak heran, publik pun sangat terkejut dengan skandal suap dan korupsi yang bersembunyi di balik topeng “bersih” para politikus.
Dalam literatur ilmu politik, fenomena topeng politikus tersebut yang sering disebut sebagai Politik Muka Dua.

Politik Muka Dua
Ilmuwan politik dari University of Cambridge, David Runciman, dalam bukunya berjudul Political Hypocricy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2010) menjelaskan bahwa politik muka dua merupakan cermin dari kemunafikan politikus.

Menurut Runciman, istilah kemunafikan berakar dari dunia teater dan agama. Di atas panggung, para aktor sering kali berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya. Di luar panggung, kepandaian mereka menampilkan lebih dari satu wajah dapat menimbulkan potensi tidak dapat dipercaya. Sebagaimana aktor yang dinilai oleh penontonnya, politikus juga senantiasa diamati publik.

Mereka akan selalu menunjukkan wajah kebaikan yang diharapkan, sering kali bukan wajah yang sesungguhnya, untuk mendapatkan tepuk tangan meriah dari para pendukung dan meredam suara pengkritiknya. Usaha memainkan peran, baik oleh aktor dan politikus ini, menurut Runciman, adalah kemunafikan yang menyuguhkan penipuan jenis tertentu. Sementara itu, kemunafikan dalam agama bisa merujuk pada perbuatan kesalehan yang ditunjukkan untuk menipu orang lain. Seseorang yang munafik itu disebut bermuka dua: mengenakan topeng kesalehan untuk menutupi sifat buruknya.

Dalam The Fable of the Bees (1970), filsuf Bernard Mandeville (1670-1733) memasukkan konsep kemunafikan sebagai antitesis kesalehan. Dalam karyanya itu, Mandeville menyerang pandangan Shaftesbury (1671-1713) dan para moralis awal abad XVIII lainnya yang percaya bahwa manusia secara alami bersikap baik dan sangat mungkin bersikap saleh. Namun, Mandeville menganggap pandangan itu merupakan suatu bentuk penyangkalan terhadap sifat hakiki seseorang yang pada dasarnya penuh nafsu.

Dalam buku An Enquiry into the Origins of Honour and the Usefulness of Christianity in War (1971), Mandeville menjelaskan lebih lanjut bahwa politikus munafik adalah orang yang berpura-pura saleh, dan mereka tahu kepura-puraan itu salah. Mereka memperlihatkan kesalehan dan ketaatan tersebut kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan kepercayaan.

Kekecewaan Publik
Skandal suap dan korupsi yang terkuak di Tahun Politik 2013 ini merupakan situasi yang mirip dengan politik Mandevillian di mana kemunafikan bersembunyi di balik topeng kesalehan.

Dalam konteks politik di Indonesia, sikap kemunafikan politikus (politik muka dua) ini dapat diterjemahkan sebagai strategi mengelabui atau menipu pemilih (konstituen). Namun, politikus sering kali lupa, sikap ini bisa menjadi bumerang jika mereka lengah dan memiliki celah untuk dikasuskan secara hukum atau dijadikan sasaran kritik baik oleh media ataupun lawan politiknya.

Jika itu terjadi, bau busuk politikus pun tersebar dengan cepat dan tercium publik sehingga mengakibatkan kekecewaan, terutama pada konstituennya. Dalam kasus LHI, seorang kader PKS, Aulia Gurdi, dalam tulisannya yang menyentuh di Kompasiana, “Antara Saya, PKS, dan Perjuangan Dakwah”, mengungkapkan kekecewaannya terkait skandal suap yang menimpa presiden partai dambaannya tersebut.

Aulia mengatakan, “Kalau saja boleh ditanya siapa yang paling terpukul dengan adanya kasus korupsi yang menimpa presiden PKS LHI, tentu mereka adalah para kader dan simpatisan partai berlabel Islam ini. Dulu, saya amat bangga menjadi kader PKS yang mengusung slogan 'Bersih dan Peduli' ini. Partai ini berjalan dengan misi yang sungguh mulia sejak awal. Platformnya dibuat begitu sempurna dengan cita-cita yang sungguh luhur. Dalam perjalanan kemudian, saya temui begitu banyak hal yang mencoreng kemuliaannya. Akhirnya saya sadari kemudian, kumpulan partai ini adalah juga jemaah manusia yang pasti tak maksum dari dosa. Tak satu kasus ini saja yang terjadi. Sebelumnya kasus pornografi yang menjerat anggota dewan partai ini tak kurang menjadi pukulan paling telak yang sungguh membuat siapa pun kader shock.

Kekecewaan Aulia hanyalah satu di antara banyak kekecewaan kader dan simpatisan PKS lainnya. Pelajaran yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwa politik muka dua politikus tidak lagi bisa dijadikan andalan untuk menipu dan mendapatkan kepercayaan publik. Pada saatnya, wajah sesungguhnya dari para politikus akan terlihat juga dan mengakibatkan politikus terjerat hukum, sanksi sosial, serta kehilangan karier politiknya.

Oleh karena itu, mengingat Tahun Politik 2013 masih panjang, penetapan tersangka AM dan LHI bukan hanya menjadi pukulan telak bagi PD dan PKS, tapi juga peringatan keras bagi partai lain agar berhati-hati menjelang Pemilu 2014. Potensi terbongkarnya kasus-kasus hukum politikus dari partai lain mungkin saja akan terjadi di sepanjang tahun ini dan menjadi bencana politik yang menyusutkan jumlah konstituen pada Pemilu 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar