Sinergi
Kebijakan Maritim Indonesia
Shiskha Prabawaningtyas ; Dosen Tetap di Prodi Hubungan Internasional,
Universitas Paramadina,
Kandidat Doktor di Universitas Humboldt, Berlin
|
KORAN
SINDO, 15 November 2014
Diskusi ide tentang konsep Indonesia sebagai negara maritim kembali
menghangat seiring visi poros maritim dunia yang diusung oleh Presiden dan
Wakil Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla dalam masa kampanye
pemilihan presiden.
“Tol Laut” menjadi salah satu ide kebijakan yang akan diusungnya untuk
memangkas tingginya biaya pengangkutan dan transportasi lain, selain untuk
mendorong tingkat konektivitas antar ribuan pulau di Indonesia. Dalam pidato
pelantikannya, Jokowi secara lugas menyatakan bahwa samudra, laut, selat dan
teluk adalah masa peradaban kita.
Persoalan kemiskinan nelayan, minimnya transportasi antarpulau baik
laut maupun udara, lemahnya pengamanan dan pengawasan keamanan perairan
Indonesia, minimnya pendapatan negara dari sektor perikanan, serta lemahnya
industri nasional berbasis maritim jelas bukan merupakan kemiskinan ide dan
konsep tentang pembangunan peradaban maritim Indonesia.
Sejak Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 tentang konsep negara
kepulauan yang kemudian diakui internasional melalui Konvensi Laut
Internasional (UNCLOS ) tahun 1982, telah hadir beberapa konsep tentang
negara maritim Indonesia mulai dari pembangunan industri strategis kepulauan,
Hari Nusantara, Seruan Sunda Kelapa hingga pembangunan maritim.
Namun, masih terpuruknya pembangunan negara maritim Indonesia harus
diletakkan sebagai persoalan interpretasi dan implementasi kebijakan publik
yang jauh dari semangat orientasi solusi, keberlanjutan, keterbukaan,
prorakyat dan penguatan masyarakat sipil.
Tak mengherankan persoalan koordinasi dan “ego sektoral” selalu menjadi
“tamu tetap” sebagai bagian dari masalah dalam setiap analisa dan evaluasi
kebijakan maritim Indonesia. “Keputusan” Menteri Kelautan dan Perikanan baru
untuk membagi data pengawasan laut milik kementeriannya kepada Angkatan Laut,
misalnya, dapat dimaknai sebagai semangat awal sinergi kebijakan maritim
Indonesia.
Secara sederhana, sinergi kebijakan maritim merupakan “seni” menata
fungsi delegasi dan dekonsentrasi dari semua pihak terkait (stakeholder) baik
aktor negara maupun nonnegara berkaitan dengan fungsi “laut”.
Sinergi berarti adanya komunikasi dan kolaborasi antar seluruh
stakeholder dalam merumuskan arah, tujuan dan target dari seluruh aktivitas
yang dilakukan sehingga mampu menciptakan kebijakan mampu
dipertanggungjawabkan dalam pelaksanaannya.
Sinergi artinya keselarasan visimisi dengan indikator pencapaian yang
terbuka terhadap umpan balik. Terlepas dari perdebatan penggunaan makna
“laut” atau “maritim”, interpretasi fungsi laut harus dimaknai secara
holistis dan komprehensif, yaitu bahwa “laut” bukan hanya terbatas sebagai
sumber ekonomi karena kandungan alamnya, namun juga sumber kekuatan
politik-keamanan dan sosial budaya.
Posisi geostrategi kepulauan Indonesia dalam pusaran lalu lintas
ekonomi dunia, misalnya, harus didukung oleh kemampuan pengaturan, pengawasan
dan jaminan keselamatan bagi para pelintas di wilayah kedaulatan perairan
Indonesia.
Pengetahuan lokal dan tradisi masyarakat pesisir dan nelayan harus
mampu terakomodasi dalam kebijakan manajemen bersama (co-management) dalam mendorong proses pembangunan yang
berkesinambungan dan ramah lingkungan. Fungsi delegasi terkait dengan
desentralisasi kewenangan pusat kepada lokal secara vertikal, sedangkan
fungsi dekonsentrasi merupakan pembagian kewenangan secara horizontal sesuai
dengan tugas kerjanya.
Fungsi delegasi misalnya terkait dengan kewenangan lokal dalam penataan
daerah pesisir pantai, penangkapan ikan atau standar layanan pelabuhan.
Swedia mungkin contoh paling menarik bagaimana kuatnya inisiatif dan posisi
masyarakat pesisir, khususnya nelayan, mampu menguatkan fungsi delegasi
antara pemerintah pusat dan lokal dalam mendorong kebijakan co-management yang berkesinambungan.
Standar kehidupan nelayan terjamin. Di sisi lain, fungsi dekonsentrasi
fokus pada penataan kewenangan antara aktor secara horizontal, misalnya
kewenangan dalam pengaturan penangkapan ikan, keamanan pelabuhan, keselamatan
angkutan dan transportasi laut, pertahanan dan keamanan laut, pertambangan
lepas pantai atau penentuan wilayah konservasi laut.
Amerika Serikat dan Inggris sering kali dijadikan representasi negara
maritim besar ketika kepentingan ekonomi global mereka telah didukung oleh
kekuatan militer dan pengangkutan laut (shipping)
yang efisiensi. Pagelaran kekuatan angkatan laut kedua negara tersebut hadir
dekat dalam penjagaan kepentingan ekonomi nasional.
Sinergi kebijakan maritim Indonesia menjadi kata kunci dalam mendorong
percepatan penguatan peradaban maritim Indonesia. Langkah strategis awal yang
harus diperkuat adalah proses produksi dan reproduksi pengetahuan terkait
dengan penataan sistem manajemen maritim Indonesia.
Dalam era informasi, peran media massa atau media sosial sering kali berkhianat
dari fungsi hakikinya sebagai percepatan alur informasi dan mendekatkan para
pihak-pihak yang terkait. Tak jarang konsumsi informasi melalui media ini
cenderung menjauhkan hubungan bahkan berpotensi memicu “konflik”.
Namun di sisi lain, era informasi dan globalisasi pun menyediakan
banyak kesempatan dan ruang dalam bersinergi, memperkuat fungsi kontrol
melalui transparansi serta partisipasi masyarakat dalam menjamin
keberlangsungan sebuah ide pembangunan.
Diperlukan strategi berjenjang dalam sirkulasi “pengetahuan” yang
diperlukan setiap institusi negara atau kementerian dalam mengevaluasi
program kerjanya. Perkembangan sistem informatika, misalnya, mampu
mempercepat dan memperkuat sinergi antar kementerian dalam menjalankan
tupoksinya.
Setidaknya saat ini ada beberapa institusi yang memiliki fungsi
kewenangan di wilayah perairan Indonesian yang sering kali tumpang tindih
dalam pelaksanaan sistem keamanan maritim Indonesia mulai dari Kementerian
Pertahanan, TNI AL Polisi Air, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam
Negeri, Pemerintah Daerah, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Badan Nasional
Pengelolaan Perbatasan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi,
dan Sumber Daya Mineral, serta Imigrasi dan Bea Cukai.
Melalui teknologi e-government,
kebijakan dan evaluasi program setiap institusi bisa disirkulasi (sharing) dan terbarukan (update). Bahkan, sistem intranet dalam
kementerian dalam diadopsi untuk keperluan seleksi informasi kebutuhan
institusi dan publik.
Persoalan “sepele” dan klasik dalam sistem manajemen maritim Indonesia,
namun sering kali menjadi penghambat utama dalam proses sinergi adalah
penataan dokumen atau arsip. Selain masih minimnya kesadaran tentang
dokumentasi, kondisi lapangan dan minimnya infrastruktur terutama di wilayah
sekitar perbatasan sering kali menjadi persoalan utama.
Salah satu contoh nyata, Indonesia tidak memilik data resmi tentang
jumlah nelayan Indonesia yang ditangkap dan bahkan ditahan oleh pengadilan
Australia akibat tuduhan melakukan penangkapan ilegal di perairan Australia.
Selama ini data lebih bersumber dari Australian
Fisheries Management Authority (AFMA).
Hal ini semakin dimaklumi misalnya jika melihat kondisi lapangan bahwa
perjalanan dari pusat pemerintahan di Pulau Rote menuju Desa Nelaya Pepela
memakan waktu sekitar dua jam. Bahkan, seorang nelayan di desa nelayan di
Tablolong, Kupang mengatakan sukarnya mengurus izin jalan kapal yang harus
memakan waktu sekitar dua jam ke pusat kota dengan biaya naik “ojek” sekitar
Rp100.000, bahkan belum tentu sehari selesai karena kadang kala petugasnya
absen.
Padahal, dokumentasi menjadi instrumen penting, tidak saja sebagai
dasar proses pengambilan keputusan yang penting, namun juga sebagai bukti
kuat dalam diplomasi perbatasan. Dokumentasi menjadi instrumen penting dalam
upaya sinergi dan berlanjutan pembentukan peradaban maritim Indonesia.
Sinergi kebijakan maritim Indonesia hanya dapat dilakukan dengan
kesadaran penuh atas pentingnya kepentingan nasional yang melewati sekat
kepentingan partisipan, elitepenguasa, golongan serta egosektoral tentang
dominasi produksi dan reproduksi pengetahuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar