Ekspektasi
Bidang Pertanian
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for
National Food Security Research (Tenfoser)
|
KORAN
SINDO, 15 November 2014
Setelah para menteri dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada
Senin (27/10/2014), rakyat menunggu pembuktian janji Jokowi saat kampanye
untuk menyejahterakan warga lewat pembangunan ekonomi kerakyatan.
Presiden Jokowi memberi ekspektasi baru karena lebih memfokuskan
kinerja pada pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Bangsa
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa tidak mungkin
berdaulat secara politik kalau pangannya bergantung pada impor.
Pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Betapa tidak,
40 persen tenaga kerja ada di sektor pertanian. Jika sektor pertanian
dikelola dengan baik, angka pengangguran bisa ditekan secara signifikan dan
kesejahteraan rakyat terkatrol.
Tidak hanya itu, pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat
memiliki peran yang sangat besar untuk pembangunan ekonomi nasional di tengah
dunia yang kian mengglobal dan bercirikan perdagangan bebas.
Dengan meningkatkan daya saing produk pertanian, Indonesia akan lebih bermartabat
dan berharga di mata dunia. Memperkuat daya saing butuh modernisasi pertanian
yang terencana untuk mengoptimalkan tenaga kerja yang ada sekaligus mencegah
arus urbanisasi.
Pengelolaan
Terpadu
Implikasi revolusi mental sejalan dengan Strategi Induk Pembangunan
Pertanian (SIPP) 2013-2045 yang sudah diluncurkan Kementerian Pertanian yang
memberi arah ke pengembangan bioindustri pertanian mulai dari hulu hingga
hilir.
SIIP menempatkan ruang pemanfaatan biomassa untuk penyediaan energi,
pupuk dan pestisida. Pendekatannya butuh pola pengelolaan terpadu untuk
meningkatkan produktivitas, perbaikan teknologi pengolahan pasca panen dan
pengembangan produk pangan baru guna mengatrol daya saing dan nilai tambah.
Namun jika menilik ke belakang, sektor pertanian selama ini menjadi
salah satu sektor yang terlupakan di tengah perkembangan sektor industri dan
teknologi informasi dalam perjalanan kemajuan bangsa. Kontribusi sektor
pertanian semakin menurun terhadap PDB.
Jika tahun 2010 kontribusinya masih sebesar 15,3%, kemudian menurun
menjadi 14,4% tahun 2013, hal ini disebabkan kian tingginya alih fungsi lahan
pertanian dan menurunnya tingkat produktivitas lahan. Sekadar contoh,
produktivitas padi dua tahun terakhir trennya makin melandai. Pada tahun 2012
masih bertengger pada angka 51,36 ku/ha, lalu pada tahun 2013 peningkatannya
relatif stagnan pada posisi 51,52 ku/ha (BPS, 2014).
Stagnasi produksi seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk
mendorong petani meningkatkan kapasitas produksinya. Memberikan ruang lebih
besar bagi penciptaan tenaga kerja di sektor pengolahan (hilir) untuk
mendongkrak pendapatan petani lebih baik.
Selama ini produk pertanian berhenti pada komoditas primer. Kalaupun
diolah, tidak sampai memberikan nilai tambah yang tinggi. Signifikansinya
untuk mengatrol kesejahteraan petani masih rendah. Konsekuensi logisnya ruang
gerak usaha petani terbatas. Mereka terkonsentrasi hanya di sektor hulu atau
budi daya.
Tingkat kesejahteraan petani yang jumlahnya sekitar 40 juta angkatan
kerja satu kepala keluarga petani menanggung lima anggota keluarga masih
jalan di tempat. Hal ini membuat sulit menekan angka kemiskinan di Indonesia.
Apalagi sebagian besar petani sudah berusia lanjut dan berpendidikan rendah.
Mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian ratarata berusia 49-50
tahun. Mereka sebagian tamat SD dan tidak tamat SD sehingga kemampuannya
bercocok tanam mengandalkan naluri. Badan Pusat Statistik (2013) mencatat sektor
pertanian secara nasional rata-rata hanya menyumbang pendapatan rumah tangga
petani 46,74%.
Pendapatan petani dari sektor pertanian per tahun hanya Rp12,41 juta
per rumah tangga petani (RTP). Apabila dihitung rata-rata pendapatan bulanan,
jumlah itu lebih rendah daripada UMP di Nusa Tenggara Timur provinsi yang
memiliki UMP terendah di Indonesia sebesar Rp1,2 juta per bulan.
Tingkat pendapatan petani yang makin menurun dari tahun ke tahun
mendorong petani mulai meninggalkan usaha di sektor pertanian dan beralih ke
sektor lain. Fenomena perpindahan ini sesuai dengan hasil sensus pertanian
2013, jumlah petani gurem dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013) berkurang
5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013.
Rinciannya adalah jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000
meter persegi berkurang 5,04 juta RTP. Petani yang menguasai lahan1.000-1.999
meter persegi berkurang 52.168 RTP.
Secara ekonomi berkurangnya jumlah petani baik yang gurem maupun bukan
gurem bisa menjadi kemundurans ektor pertanian. Mereka terpaksa menjual lahan
dan beralih profesi karena hidup dan kehidupannya semakin termarjinalkan.
Meningkatkan
Kualitas
Pembangunan pertanian berbasis revolusi mental diharapkan dapat
meningkatkan kualitas hasil, nilai tambah dan daya saing produk pangan.
Pencapaian ini diharapkan dapat mengurangi beban sektor pertanian yang kian
berat.
Sektor ini tidak hanya menanggung surplus tenaga kerja, tetapi juga
kemiskinan. Jumlah angkatan kerja nasional saat ini mencapai 125,3 juta
orang. Dari jumlah ini, 40,8 juta orang terserap di sektor pertanian. Ini
menunjukkan kemiskinan terbanyak masih ada di sektor pertanian dan di
perdesaan.
Mentransformasi sektor pertanian ke hilirisasi pertanian secara
terencana mutlak dilakukan. Hilirisasi ini akan mengatrol nilai tambah produk
pertanian, meningkatkan daya saing dan membuka lapangan kerja melalui
industrialisasi hasil pertanian.
Tugas mulia ini menjadi kewajiban pemerintahan Jokowi-JK untuk lima
tahun ke depan. Rakyat Indonesia butuh pertanian untuk memenuhi kecukupan
pangannya. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan program hilirisasi pangan
nonberas berbasis umbiumbian dan kacang-kacangan sebagai bentuk keprihatinan
terhadap tingginya impor bahan baku tepung terigu dan kedelai.
Hilirisasi pangan lokal untuk memproduksi beras analog berbasis
umbi-umbian dan sagu misalnya akan dapat mengurangi tingkat konsumsi beras
secara signifikan dan mereduksi ketergantungan yang tinggi terhadap beras
impor.
Berjalannya program hilirisasi pertanian harus dibarengi suplai bahan
baku di dalam negeri. Jika tidak, akan berpotensi meningkatkan impor bahan
baku. Untuk itu, koordinasi lintas kementerian mutlak dilakukan untuk
mengusung percepatan pembangunan pertanian bioindustri berbasis pangan lokal
potensial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar