Impeachment
Itu Supersulit
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 15 November 2014
Pertarungan politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) tak juga berakhir. Kesepakatan damai melalui
pembicaraan Pramono Anung yang mewakili KIH dengan Idrus Marham yang mewakili
KMP mentah lagi.
Proses perdamaian terhenti karena ada tuntutan baru dari KIH. Padahal
sampai saat ini pemerintah belum bisa mengerjakan hal-hal penting, selain
dari kunjungan dan membagi-bagi KIS atau KIP. Kebijakan dasar dan arah
kementerian-kementerian belum ada yang dirilis karena banyak hal baru yang
harus dibicarakan dulu dengan DPR, sedangkan DPR belum bisa bersidang.
Program legislasi nasional (prolegnas), satu daftar rencana tentang UU
yang akan dibuat dalam lima tahun ke depan, belum disentuh sama sekali karena
prolegnas harus dibuat berdasar kesepakatan antara DPR dan pemerintah. Harus
diakui, karena pertarungan politik yang tak kunjung usai, sampai kini DPR dan
pemerintah sama-sama belum bisa bekerja dalam arti yang sesungguhnya.
Situasi ini bukan hanya memudarkan kepercayaan publik terhadap KMP dan
KIH, bukan hanya menghambat kerja-kerja pemerintah dan DPR, tetapi telah
merugikan negara dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Awal pekan ini
memang ada secercah harapan ketika dicapai kesepakatan antara KMP dan KIH
untuk segera menormalisasi DPR.
Melalui musyawarah antara KIH dan KMP (yang masing-masing diwakili
Pramono Anung dan Idrus Marham) dengan disaksikan Ketua DPR Setya Novanto
dicapai kesepakatan, kursi pimpinan semua alat kelengkapan DPR akan ditambah
sehingga KIH akan memperoleh 21 kursi pimpinan. Semula kita lega bercampur
kecewa atas perkembangan itu.
Lega karena DPR akan segera bekerja secara normal, setidak-tidaknya
menurut prosedur-prosedur formal. Kecewa karena ternyata keributan besar yang
terjadi hanya bersumber dan berujung pada pembagian kursi pimpinan. Kata
Radhar Panca Dahana, perebutan kursi pimpinan itu sepertinya tak lebih dari
perebutan daging busuk.
Meski perkembangan itu memberi kita rasa lega sekaligus kecewa, tetapi
lebih banyak lega daripada kecewanya, sebab ada harapan DPR akan segera bisa
bekerja. Tapi setelah Pramono Anung berkonsultasi dengan pimpinan parpol KIH
Selasa lalu, kesepakatan itu menjadi agak mentah lagi. Agenda paripurna DPR
untuk mengesahkan kesepakatan itu Kamis dua hari lalu batal digelar.
KIH mengajukan tuntutan baru, yaitu pencabutan pasal-pasal di dalam UU
MD3 yang bisa melemahkan sistem presidensial. KIH ingin, antara lain, agar
Pasal 98 ayat (6) dan Ayat (7) yang membuka peluang bagi komisi-komisi di DPR
untuk menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak mengajukan pendapat
(HMP) dicabut melalui revisi atas UU MD3, sebab hak-hak tersebut bisa
dipergunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden/Wapres.
Kita tentu memahami, mengusulkan revisi atau penghapusan pasal bahkan
mengganti total sebuah UU adalah hak parpol dan atau anggota-anggotanya di
DPR. Kita juga memaklumi jika KIH khawatir nantinya KMP menggunakan
pasal-pasal itu untuk menjatuhkan Presiden/Wapres di tengah masa jabatannya.
Tapi haruslah diingat bahwa menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, menjatuhkan Presiden/Wapres melalui impeachment itu sangat sulit.
Ketentuan mengenai impeachment di dalam UUD 1945 itu dibuat justru untuk
mempersulit DPR dan MPR memberhentikan Presiden/Wapres.
Maka itu KMP tidak bisa bermimpi bisa menjatuhkan Presiden secara
serampangan, KIH tidak perlu fobia presidennya bisa dijatuhkan dengan mudah.
Ada yang mengatakan, pemuatan ketentuan impeachment di dalam UUD 1945
dimaksudkan agar Presiden/Wapres tidak dapat dijatuhkan kecuali ada bom
pelanggaran yang luar biasa.
Kalau dulu Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur dijatuhkan sebagai
presiden secara politik semata dan tanpa proses hukum di pengadilan, sekarang
ini untuk menjatuhkan Presiden/Wapres, selain syarat-syarat dan prosedurnya
di DPR dan MPR sangat sulit, juga harus melalui proses hukum di Mahkamah
Konstitusi (MK).
Selain alasan-alasan untuk menjatuhkan Presiden yang takkan mudah
dipenuhi, prosedur pengajuan untuk melakukannya juga sangatlah sulit. Untuk
diajukannya pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wapres perlu
dimakzulkan karena melanggar hukum tertentu, superberat prosedurnya.
Pengajuan itu harus dilakukan dalam Sidang Paripurna DPR yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh anggotanya dan 2/3 dari yang hadir itu
harus menyetujui usul dikeluarkannya pendakwaan (impeachment) itu.
Dengan syarat prosedur yang seperti itu hampir dapat dipastikan, kalau
tidak ada pelanggaran luar biasa, takkan mungkin ada pemakzulan
Presiden/Wapres. Kalau kita menghitung secara matematis, jumlah anggota DPR
dari KMP tidak mencapai 2/3 dan jumlah anggota DPR dari KIH sudah lebih dari
1/3 dari seluruh anggota DPR.
Jumlah anggota DPR dari KIH yang terdiri atas PDIP, PKB, NasDem, dan
Hanura sudah mencapai 207 orang (dari seluruh anggota DPR yang 560 orang),
apalagi kalau ditambah dengan anggota-anggota dari PPP.
Kalau satu sidang paripurna DPR yang akan menyatakan pendapat dengan
tendensi memakzulkan Presiden/Wapres tidak disetujui atau bahkan tidak
dihadiri anggota-anggota DPR dari KIH, tak mungkin terjadi impeachment. Belum
lagi mengenai materi impeachment
serta prosedur lanjutannya di MK dan MPR yang juga supersulit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar