Belajar
Hidup
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
16 November 2014
Ada empat puluh lima daftar pelajaran hidup yang dikirimkan seorang
teman sebagai ’makanan rohani’ di suatu pagi. Daftar panjang itu ditulis oleh
seorang wanita berusia sembilan puluh tahun.
Mata
pelajaran
Dari empat puluh lima daftar yang mirip daftar mata pelajaran itu, saya
tertarik karena apa yang ditulisnya sesungguhnya jauh lebih manusiawi dari
khotbah yang saya dengar baik di dalam rumah ibadah, atau yang keluar dari
mulut seseorang atau beberapa orang yang sesungguhnya tahu bahwa mereka tak
akan mampu melakukan semua yang dikhotbahkannya itu.
Seperti pada umumnya, mereka yang berkhotbah, atau pemberi petuah atau
nasihat, sangat mudah untuk mengutarakan atau menyarankan sebuah solusi,
ketika mereka tidak atau belum pernah mengalami sebuah peristiwa yang
menyesakkan dada.
Kalaupun sudah mengalami peristiwa yang sama, tetapi yang menghadapinya
bukanlah manusia yang sama. Sehingga beberapa kali saya berpikir, bahwa
sesungguhnya nasihat yang manusiawi itu, adalah yang kita dapati pada waktu
yang bersamaan ketika kejadian menyesakkan dada terjadi.
Daftar panjang itu buat saya tidak dibuat untuk ditiru oleh yang
membacanya. Ia menyadari bahwa yang ditulisnya itu sebuah kesimpulan dari
sejuta peristiwa yang melintasi perjalanan hidupnya yang panjang itu. Saya
dan Anda bisa saja tidak menyetujui, tetapi bisa jadi kita menyetujui.
Dengan demikian, selesai membaca daftar pelajaran hidup itu saya tak
merasa seperti baru menyelesaikan kuliah dengan pengajarnya yang sungguh
membosankan, saya tak merasa bahwa sejuta telunjuk menuding kalau saya ini
keliru dalam mengambil keputusan.
Bahkan perasaan yang paling saya sukai setelah membaca, adalah perasaan
kesetrum untuk mengembalikan ingatan saya, kalau saya ini manusia tanpa
embel-embel, kalau saya ini tak pernah bersalah kalau melihat hidup itu dari
sudut pandang saya.
Saya tak akan menulis keempat puluh lima butir pelajaran hidup itu
karena tak ada tempat untuk menuliskan semuanya. Pelajaran hidup yang ditulis
di nomor urut pertama adalah, life isn’t fair, but it’s still good. Setiap
kali saya bercerita bahwa hidup ini tidak adil, hanya segelintir manusia yang
menyetujui, lebih tepatnya yang berani mengatakan itu.
Karena pernah sekali waktu saya mengungkapkan kalimat ini, beberapa
teman saya mengkhotbahi saya seperti tak ada hari esok, dan di akhir
percakapan salah seorang wanita menyimpulkan bahwa saya adalah manusia yang
sama sekali tidak bersyukur.
Hadiah
Kesimpulannya itu telah membuat saya ingin berdebat dengannya, karena
sesungguhnya saya tak seratus persen menyetujui apa yang dikatakannya itu.
Maka butir keenam dari daftar perjalanan hidup wanita berusia lanjut itu
membangunkan saya. You don’t have to win every argument. Stay true to
yourself.
Orang lain bisa saja menguliahi saya ini dan itu, yang kadang
melahirkan ketidaksetujuan dan bisa jadi melahirkan argumentasi yang tak akan
ada ujungnya. Tetapi saya seharusnya bukan tahu kapan harus berhenti
berargumentasi, tetapi saya seharusnya tahu untuk selalu menjadi jujur
terhadap diri saya sendiri.
Dari mana saya mengetahui kapan momen yang tepat kalau saya ini harus
jujur terhadap diri sendiri? Ketika argumentasi itu telah membuat saya
menjadi naik pitam dan mulai menggunakan kata-kata kasar dalam debat yang
mungkin tak akan ada akhirnya.
Naik pitam dan kata-kata kasar yang terjadi dalam perdebatan itu, bisa
jadi karena seseorang yang berargumentasi dengan saya, telah mampu mengulik
bahwa saya ini tidak stay true to myself.
Mekanisme pembelaan diri dalam bentuk debat yang tak berujung dan
menggunakan kata-kata kasar, itu bukan bentuk atau gambaran sebuah kejujuran.
Orang itu kalau jujur, tak akan melahirkan debat kusir, karena kejujuran itu
melahirkan kebahagiaan, bukan melahirkan self defense mechanism dalam bentuk
apa pun.
Maka di butir ke dua puluh lima dari daftar panjang pembelajaran hidup,
wanita tua itu menulis No one is in
charge of your happiness but you. Sebetulnya sudah banyak kali saya
mendengar dan sejujurnya mengetahui bahwa saya ini bisa menjadi agen
kebahagiaan untuk diri saya sendiri.
Tetapi untuk bisa menjadi agen, saya harus punya modal terlebih dahulu.
Dan modal itu tertulis pada butir sebelas. Make peace with your past so it won’t screw up the present.
Sampai hari ini saya masih belum sukses memaafkan masa lalu saya. Itu mengapa
I screw up the present.
Saya masih dalam taraf bergumul untuk menyembuhkan luka batin saya di
masa yang sudah lalu. Luka yang ditimbulkan dari ketidakmampuan saya
menghadapi musuh yang terlalu kuat untuk dilawan.
Saya sedang berusaha melalui berbagai cara untuk mendamaikan meski
sekarang ini masih belum terlihat hasilnya. Mungkin saya harus belajar
melihat hidup itu seperti yang tertulis dalam butir terakhir dalam daftar
pelajaran hidup wanita lanjut usia ini. Life
isn’t tied with a bow, but it's still a gift. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar