Ekonomi
Syariah Jelang MEA 2015
Mohamad Fadhilah Zein ; Sekjen Center for Islamic Studies
in Finance Economics
and Development (CISFED)
|
REPUBLIKA,
14 November 2014
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai tahun depan menjadi
tantangan sendiri bagi pegiat industri ekonomi syariah. Dengan usia yang bisa
dianggap tidak lagi muda, sudah seharusnya industri ekonomi syariah siap
menyongsong pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada 2015. Perbankan
syariah yang terbukti tahan terhadap terpaan krisis, khususnya pada 1998,
menjadi modal menghadapi persaingan bebas di kawasan regional.
Tantangan ini bertambah karena belum lama ini Presiden Joko Widodo
membeberkan peluang yang bisa diraih para investor dalam APEC CEO Summit di Beijing. Sudah tentu, "undangan"
Presiden ini menjadi sinyal bahwa Indonesia bakal "diserbu" banyak
pihak, mulai dari eksportir barang, jasa, pelaku bisnis hingga sumber daya
manusia.
MEA harus dilihat sebagai peluang sehingga mereka yang terlibat aktif
dalam perbankan dan jasa keuangan syariah semakin terpacu meningkatkan
kualitas. Syarat untuk memenangkan persaingan ini dengan meningkatkan sumber
daya manusia yang mampu bersaing dengan negara lain. Pemerintah sudah tentu
harus berpihak pada warga negaranya. Upaya meningkatkan daya saing nasional
secara keseluruhan merupakan keharusan. Waktu yang tersisa menjelang MEA 2015
harus dihadapi dengan melakukan berbagai aksi nyata.
Salah satunya, meningkatkan peranan pemerintah di sektor industri
keuangan syariah. Kita tahu selama ini di Indonesia pasar keuangan syariah
lebih banyak digerakkan oleh pasar. Regulasi yang tidak berpihak pada sektor
keuangan syariah ini mengakibatkan perbankan syariah kita masih kalah jika
dibandingkan Malaysia.
Kondisi ini bisa dilihat dari data Respective
Bank's Financial Reports pada 31 Desember 2012. Aset lima bank syariah
besar di Indonesia, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Muamalat
Indonesia, BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mega Indonesia kalah
jauh dari perbankan Malaysia. Jika aset BSM 5,1 miliar dolar AS, maka itu
kalah jauh dengan Maybank Islamic yang memiliki aset 29,9 miliar dolar AS.
Aset BSM bahkan masih kalah jika dibandingkan RHB Islamic yang asetnya 8,4
miliar dolar, padahal bank ini menduduki posisi kelima, sementara BSM posisi
pertama di Indonesia.
Para pegiat ekonomi syariah sudah tentu berterima kasih kepada Presiden
Joko Widodo yang memilih Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri
Brodjonegoro. Dia merupakan pegiat ekonomi syariah yang tentu mumpuni pula di
bidang ekonomi konvensional.
Namun, setelah itu, harus ada langkah konkret lain yang bisa dilakukan
kepala negara untuk meningkatkan industri keuangan syariah. Jika mantan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani mempromosikan ekonomi syariah
melalui Gerakan Ekonomi Syariah 17 November 2013, Jokowi harus melanjutkan
estafet gerakan ini dengan melakukan yang lebih baik dan gencar lagi.
SBY bahkan menjadikan ekonomi syariah sebagai gerakan nasional. Ini
bukan sesuatu yang tiba-tiba mengingat dalam kurun lima tahun (2008-2012),
aset perbankan syariah meningkat 40 persen. Jika dibandingkan dengan
perbankan konvensional yang meningkat 16,6 persen, perbankan syariah jauh
lebih unggul. (Alwyni; 2013)
Keunggulan industri keuangan syariah ini sebenarnya tidak hanya
perbankan. Berdasarkan data yang dirilis Global
Islamic Finance Reports (GIFR) 2011, terjadi peningkatan persentase di
beberapa sektor keuangan syariah Indonesia. Di antaranya adalah aset
perbankan Islam, SDM perbankan Islam, Sukuk Negara, corporate sukuk, Islamic Mutual Funds, dan asuransi syariah. GIFR
mencatat Indonesia menduduki posisi keempat dalam percepatan pertumbuhan
keuangan syariah global. Indonesia berada di bawah Iran, Malaysia, dan Arab
Saudi.
Dengan pertumbuhan di atas, maka akan membutuhkan setidaknya 20 ribu
profesional di industri ekonomi syariah. Jelang MEA 2015, dengan kebutuhan
tenaga SDM yang demikian besar, masuknya tenaga kerja asing bukan lagi
sesuatu yang bisa ditahan. Persoalan ketenagakerjaan ini menjadi isu utama di
berbagai media massa jelang MEA 2015. Secara regulasi, pengaturannya
tercantum dalam UU No 13 Tahun 2003.
Persoalan SDM tentu berkaitan dengan pembangunan ketenagakerjaan. Jika
mengacu pada UU di atas, tujuan pembangunan tersebut adalah untuk
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. Terkait hal ini,
tentunya tidak melulu menjadi persoalan pemerintah. Para pelaku bisnis
keuangan syariah pun bisa ikut ambil bagian, seperti perlindungan tenaga
kerja, peningkatan hubungan industrial hingga kesejahteraan.
Kita masih berharap ada langkah konkret dan keberpihakan dari
Pemerintah Jokowi-JK jelang MEA 2015, khususnya di sektor industri ekonomi
syariah. Konsekuensi dari pencanangan MEA ini adalah persaingan yang
mendunia. Hanya dengan menyiapkan kualitas SDM yang terbaik, Indonesia akan
mampu melewati berbagai tantangan yang akan dihadapi tahun depan. Sudah
tentu, itu semua tidak akan terwujud tanpa campur tangan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar