Senin, 17 November 2014

Ekonomi Syariah Jelang MEA 2015

                           Ekonomi Syariah Jelang MEA 2015

Mohamad Fadhilah Zein  ;   Sekjen Center for Islamic Studies
in Finance Economics and Development (CISFED)
REPUBLIKA,  14 November 2014

                                                                                                                       


Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai tahun depan menjadi tantangan sendiri bagi pegiat industri ekonomi syariah. Dengan usia yang bisa dianggap tidak lagi muda, sudah seharusnya industri ekonomi syariah siap menyongsong pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada 2015. Perbankan syariah yang terbukti tahan terhadap terpaan krisis, khususnya pada 1998, menjadi modal menghadapi persaingan bebas di kawasan regional.

Tantangan ini bertambah karena belum lama ini Presiden Joko Widodo membeberkan peluang yang bisa diraih para investor dalam APEC CEO Summit di Beijing. Sudah tentu, "undangan" Presiden ini menjadi sinyal bahwa Indonesia bakal "diserbu" banyak pihak, mulai dari eksportir barang, jasa, pelaku bisnis hingga sumber daya manusia.

MEA harus dilihat sebagai peluang sehingga mereka yang terlibat aktif dalam perbankan dan jasa keuangan syariah semakin terpacu meningkatkan kualitas. Syarat untuk memenangkan persaingan ini dengan meningkatkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan negara lain. Pemerintah sudah tentu harus berpihak pada warga negaranya. Upaya meningkatkan daya saing nasional secara keseluruhan merupakan keharusan. Waktu yang tersisa menjelang MEA 2015 harus dihadapi dengan melakukan berbagai aksi nyata.

Salah satunya, meningkatkan peranan pemerintah di sektor industri keuangan syariah. Kita tahu selama ini di Indonesia pasar keuangan syariah lebih banyak digerakkan oleh pasar. Regulasi yang tidak berpihak pada sektor keuangan syariah ini mengakibatkan perbankan syariah kita masih kalah jika dibandingkan Malaysia.

Kondisi ini bisa dilihat dari data Respective Bank's Financial Reports pada 31 Desember 2012. Aset lima bank syariah besar di Indonesia, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Muamalat Indonesia, BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mega Indonesia kalah jauh dari perbankan Malaysia. Jika aset BSM 5,1 miliar dolar AS, maka itu kalah jauh dengan Maybank Islamic yang memiliki aset 29,9 miliar dolar AS. Aset BSM bahkan masih kalah jika dibandingkan RHB Islamic yang asetnya 8,4 miliar dolar, padahal bank ini menduduki posisi kelima, sementara BSM posisi pertama di Indonesia.

Para pegiat ekonomi syariah sudah tentu berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo yang memilih Menteri Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. Dia merupakan pegiat ekonomi syariah yang tentu mumpuni pula di bidang ekonomi konvensional.

Namun, setelah itu, harus ada langkah konkret lain yang bisa dilakukan kepala negara untuk meningkatkan industri keuangan syariah. Jika mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani mempromosikan ekonomi syariah melalui Gerakan Ekonomi Syariah 17 November 2013, Jokowi harus melanjutkan estafet gerakan ini dengan melakukan yang lebih baik dan gencar lagi.

SBY bahkan menjadikan ekonomi syariah sebagai gerakan nasional. Ini bukan sesuatu yang tiba-tiba mengingat dalam kurun lima tahun (2008-2012), aset perbankan syariah meningkat 40 persen. Jika dibandingkan dengan perbankan konvensional yang meningkat 16,6 persen, perbankan syariah jauh lebih unggul. (Alwyni; 2013)

Keunggulan industri keuangan syariah ini sebenarnya tidak hanya perbankan. Berdasarkan data yang dirilis Global Islamic Finance Reports (GIFR) 2011, terjadi peningkatan persentase di beberapa sektor keuangan syariah Indonesia. Di antaranya adalah aset perbankan Islam, SDM perbankan Islam, Sukuk Negara, corporate sukuk, Islamic Mutual Funds, dan asuransi syariah. GIFR mencatat Indonesia menduduki posisi keempat dalam percepatan pertumbuhan keuangan syariah global. Indonesia berada di bawah Iran, Malaysia, dan Arab Saudi.

Dengan pertumbuhan di atas, maka akan membutuhkan setidaknya 20 ribu profesional di industri ekonomi syariah. Jelang MEA 2015, dengan kebutuhan tenaga SDM yang demikian besar, masuknya tenaga kerja asing bukan lagi sesuatu yang bisa ditahan. Persoalan ketenagakerjaan ini menjadi isu utama di berbagai media massa jelang MEA 2015. Secara regulasi, pengaturannya tercantum dalam UU No 13 Tahun 2003.

Persoalan SDM tentu berkaitan dengan pembangunan ketenagakerjaan. Jika mengacu pada UU di atas, tujuan pembangunan tersebut adalah untuk mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. Terkait hal ini, tentunya tidak melulu menjadi persoalan pemerintah. Para pelaku bisnis keuangan syariah pun bisa ikut ambil bagian, seperti perlindungan tenaga kerja, peningkatan hubungan industrial hingga kesejahteraan.

Kita masih berharap ada langkah konkret dan keberpihakan dari Pemerintah Jokowi-JK jelang MEA 2015, khususnya di sektor industri ekonomi syariah. Konsekuensi dari pencanangan MEA ini adalah persaingan yang mendunia. Hanya dengan menyiapkan kualitas SDM yang terbaik, Indonesia akan mampu melewati berbagai tantangan yang akan dihadapi tahun depan. Sudah tentu, itu semua tidak akan terwujud tanpa campur tangan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar