“Selamat
Hari Ayah…”
Kristi Poerwandari ; Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
16 November 2014
Memang sosok ayah adalah sosok sangat penting. Bagaimana manusia,
laki-laki dan perempuan, akan bertumbuh menjadi sosok dewasa, tampaknya
setengahnya dipengaruhi oleh pengalaman dengan figur ayah atau laki-laki
dewasa di lingkungan.
Hari Ayah diperingati pada minggu ketiga Juni. Di Indonesia diperingati
pada 12 November. Hari Laki-laki Internasional diperingati pada 19 November.
Saya ingin berbagi cuplikan-cuplikan wawancara yang pernah kami lakukan
pada orang-orang muda mengenai sosok ayah. Pembelajaran mengenai berbagai
persoalan rumit terkait peran ayah tampaknya bisa lebih mudah direfleksikan
bila kita mengacu pada obrolan mengenai ’sosok ayah ideal’.
Sosok
ayah ideal
Ditanya tentang sosok ayah ideal, seorang lelaki muda menjawab,
”Kemarin saya nonton film bareng, jadi punya inspirasi ketika melihat film Habibie
dan Ainun itu. Saya bayangkan bahwa sosok ayah yang sejati atau yang ideal
itu seperti itu, menjadi teladan bagi keluarga.” Laki-laki lain mengingat
ketika mereka masih anak-anak, betapa inginnya ditanya dan didekati oleh
ayah. Namun hal itu tidak mereka dapatkan. Jika terkait dengan mengurus anak,
selalu diberikan kepada ibu.
”Saya ingin bisa sedekat-dekatnya dengan anak karena saya dulu tidak
terlalu dekat dengan bapak. Seperti ada perasaan rindu. Bapak itu kadang
banyak permasalahan di luar sana yang kita tidak tahu, tidak seekspresif ibu,
yang apa-apa diceritakan ke saya.”
Seorang perempuan menjelaskan, ”Yang ideal ya seperti bapak yang
sekarang. Bertanggung jawab pada keluarga, sayang pada anak.” Perempuan lain
menjelaskan bahwa ayah yang ideal adalah ayah yang bertanggung jawab,
menunjukkan kepedulian, sadar akan kewajibannya sebagai suami dan ayah, dan
dapat diteladani oleh keluarganya. ”Yang tidak baik menurut saya itu adalah
marah di depan anak, misalnya ada masalah, terus menyalah-nyalahkan
keluarganya.”
Yang lain lagi (perempuan) melanjutkan, ”Ayah yang ideal itu adalah
yang tidak mengambil keputusan sendiri untuk hal-hal yang memerlukan pendapat
orang banyak. Misalnya mau membeli motor, tanya dululah pada istri dan anak.”
Menurutnya keputusan sebaiknya tidak diambil hanya untuk kepentingan diri
sendiri, karena keputusan yang diambil akan berdampak pada kondisi seluruh
anggota keluarga.
Perempuan lain lagi bilang, sosok ayah yang ideal adalah sosok
laki-laki yang dapat mengendalikan diri. ”Bapak saya itu kalau sudah merasa
kesal, akan menjaga diri gitu agar tidak sampai melakukan kekerasan. Ke ibu
juga tidak pernah melakukan kekerasan.” Ayah yang mudah marah, memaki, dan
memukul dianggap bukan ayah dan suami yang ideal.
Seorang laki-laki muda menjelaskan, bila ia menjadi ayah nantinya, ia
ingin dinilai baik, bukan mengikuti kemauannya sendiri saja, melainkan memang
dilihat baik oleh anak dan istri juga. Menurutnya, ia perlu bekerja sama
dengan istrinya untuk menghadapi anak, dan untuk memastikan bahwa meskipun
dekat, anak harus tetap segan pada orangtuanya.
Mendisiplinkan anak
Mengenai kekerasan untuk mendisiplinkan anak, cukup banyak laki-laki
yang mengaku pernah mengalami hukuman fisik yang keras. Tentang ini mereka
berbeda pendapat. Ada yang menganggap hal tersebut tidak apa-apa dilakukan,
”Saya juga pernah dipukul ayah saya, tapi orangtua ada pendekatan, kita jadi
menyadari yang kita lakukan salah.”
Yang lain menjawab: ”Saya berbeda pandangan. Bila sampai dewasa,
orangtua biasa memaki dan memukul, yang terjadi justru akan menyerang balik
orangtua. Dendam terhadap orangtua itu akan muncul. Itu saya rasakan sendiri.
Ketika saya kecil mungkin saya menerima ditampar, karena masih takut. Bila
terus-terusan, tiap dianggap salah kita langsung dipukul, rasa dendam itu
pasti ada.” Laki-laki muda ini kemudian memilih kabur dari rumah, bahkan
setelah berhasil ’jadi orang’ pun tidak memberitahu orangtua, karena masih
merasa dendam.
Beberapa penelitian menunjukkan, sosialisasi dan pola asuh yang diterapkan
ayah (dan ibu, atau orang-orang dewasa lain di lingkungan) akan banyak
memengaruhi anak. Bila anak terus mengalami kekerasan, ia muak dengan
pendisiplinan lewat kekerasan yang diberikan orangtuanya. Ia mungkin jadi
membenci orangtuanya, akan melawan atau kabur, atau menjadi apatis. Di masa
dewasanya, meski ia mengingat pengalamannya sebagai hal buruk, tanpa disadari
ia dapat mengulang pola yang sama dengan anak-anak dan pasangan hidupnya. Ini
karena ia tidak mempelajari dan tidak mendapat contoh mengenai pola berelasi
yang lebih sehat dalam berkeluarga.
Pembelajaran dari obrolan ringan di atas tampaknya adalah bahwa anak
melihat sosok ayah ideal sebagai yang mampu menjalin kedekatan dengan anak,
dan bersikap bertanggung jawab, tidak mementingkan diri sendiri. Ayah
mengajarkan nilai-nilai baik dengan menghindari bentuk-bentuk pendisiplinan
yang justru membuat anak tidak percaya diri, sakit hati, atau dendam.
Tambahan lagi, cukup banyak laki-laki tampaknya mulai lebih dapat
membuka diri, dengan mengatakan siap untuk berbagi dengan istri dalam hal
mencari nafkah maupun mengurus rumah.
”Ya bagi tugas siapa yang mencari uang dan siapa yang mengurus rumah
tangga tetapi tidak kaku. Satu sama lain saling bantu. Menyapu atau
memandikan anak pun lelaki bisa, tidak harus istri. Mengurus anak itu,
suami-istri harus ambil peran secara luwes.”
Yang keren bukan lagi yang mendominasi dan membuat takut anak-istri,
melainkan yang dapat saling menghormati dan saling mendukung dengan pasangan
hidupnya membina keluarga yang lebih membahagiakan untuk seluruh anggotanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar