Senin, 17 November 2014

“Selamat Hari Ayah…”

                                            “Selamat Hari Ayah…”

Kristi Poerwandari  ;   Penulis kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas Minggu
KOMPAS,  16 November 2014

                                                                                                                       


Memang sosok ayah adalah sosok sangat penting. Bagaimana manusia, laki-laki dan perempuan, akan bertumbuh menjadi sosok dewasa, tampaknya setengahnya dipengaruhi oleh pengalaman dengan figur ayah atau laki-laki dewasa di lingkungan.

Hari Ayah diperingati pada minggu ketiga Juni. Di Indonesia diperingati pada 12 November. Hari Laki-laki Internasional diperingati pada 19 November.

Saya ingin berbagi cuplikan-cuplikan wawancara yang pernah kami lakukan pada orang-orang muda mengenai sosok ayah. Pembelajaran mengenai berbagai persoalan rumit terkait peran ayah tampaknya bisa lebih mudah direfleksikan bila kita mengacu pada obrolan mengenai ’sosok ayah ideal’.

Sosok ayah ideal

Ditanya tentang sosok ayah ideal, seorang lelaki muda menjawab, ”Kemarin saya nonton film bareng, jadi punya inspirasi ketika melihat film Habibie dan Ainun itu. Saya bayangkan bahwa sosok ayah yang sejati atau yang ideal itu seperti itu, menjadi teladan bagi keluarga.” Laki-laki lain mengingat ketika mereka masih anak-anak, betapa inginnya ditanya dan didekati oleh ayah. Namun hal itu tidak mereka dapatkan. Jika terkait dengan mengurus anak, selalu diberikan kepada ibu.

”Saya ingin bisa sedekat-dekatnya dengan anak karena saya dulu tidak terlalu dekat dengan bapak. Seperti ada perasaan rindu. Bapak itu kadang banyak permasalahan di luar sana yang kita tidak tahu, tidak seekspresif ibu, yang apa-apa diceritakan ke saya.”

Seorang perempuan menjelaskan, ”Yang ideal ya seperti bapak yang sekarang. Bertanggung jawab pada keluarga, sayang pada anak.” Perempuan lain menjelaskan bahwa ayah yang ideal adalah ayah yang bertanggung jawab, menunjukkan kepedulian, sadar akan kewajibannya sebagai suami dan ayah, dan dapat diteladani oleh keluarganya. ”Yang tidak baik menurut saya itu adalah marah di depan anak, misalnya ada masalah, terus menyalah-nyalahkan keluarganya.”

Yang lain lagi (perempuan) melanjutkan, ”Ayah yang ideal itu adalah yang tidak mengambil keputusan sendiri untuk hal-hal yang memerlukan pendapat orang banyak. Misalnya mau membeli motor, tanya dululah pada istri dan anak.” Menurutnya keputusan sebaiknya tidak diambil hanya untuk kepentingan diri sendiri, karena keputusan yang diambil akan berdampak pada kondisi seluruh anggota keluarga.

Perempuan lain lagi bilang, sosok ayah yang ideal adalah sosok laki-laki yang dapat mengendalikan diri. ”Bapak saya itu kalau sudah merasa kesal, akan menjaga diri gitu agar tidak sampai melakukan kekerasan. Ke ibu juga tidak pernah melakukan kekerasan.” Ayah yang mudah marah, memaki, dan memukul dianggap bukan ayah dan suami yang ideal.

Seorang laki-laki muda menjelaskan, bila ia menjadi ayah nantinya, ia ingin dinilai baik, bukan mengikuti kemauannya sendiri saja, melainkan memang dilihat baik oleh anak dan istri juga. Menurutnya, ia perlu bekerja sama dengan istrinya untuk menghadapi anak, dan untuk memastikan bahwa meskipun dekat, anak harus tetap segan pada orangtuanya.

Mendisiplinkan anak
                                                                                                                 
Mengenai kekerasan untuk mendisiplinkan anak, cukup banyak laki-laki yang mengaku pernah mengalami hukuman fisik yang keras. Tentang ini mereka berbeda pendapat. Ada yang menganggap hal tersebut tidak apa-apa dilakukan, ”Saya juga pernah dipukul ayah saya, tapi orangtua ada pendekatan, kita jadi menyadari yang kita lakukan salah.”

Yang lain menjawab: ”Saya berbeda pandangan. Bila sampai dewasa, orangtua biasa memaki dan memukul, yang terjadi justru akan menyerang balik orangtua. Dendam terhadap orangtua itu akan muncul. Itu saya rasakan sendiri. Ketika saya kecil mungkin saya menerima ditampar, karena masih takut. Bila terus-terusan, tiap dianggap salah kita langsung dipukul, rasa dendam itu pasti ada.” Laki-laki muda ini kemudian memilih kabur dari rumah, bahkan setelah berhasil ’jadi orang’ pun tidak memberitahu orangtua, karena masih merasa dendam.

Beberapa penelitian menunjukkan, sosialisasi dan pola asuh yang diterapkan ayah (dan ibu, atau orang-orang dewasa lain di lingkungan) akan banyak memengaruhi anak. Bila anak terus mengalami kekerasan, ia muak dengan pendisiplinan lewat kekerasan yang diberikan orangtuanya. Ia mungkin jadi membenci orangtuanya, akan melawan atau kabur, atau menjadi apatis. Di masa dewasanya, meski ia mengingat pengalamannya sebagai hal buruk, tanpa disadari ia dapat mengulang pola yang sama dengan anak-anak dan pasangan hidupnya. Ini karena ia tidak mempelajari dan tidak mendapat contoh mengenai pola berelasi yang lebih sehat dalam berkeluarga.

Pembelajaran dari obrolan ringan di atas tampaknya adalah bahwa anak melihat sosok ayah ideal sebagai yang mampu menjalin kedekatan dengan anak, dan bersikap bertanggung jawab, tidak mementingkan diri sendiri. Ayah mengajarkan nilai-nilai baik dengan menghindari bentuk-bentuk pendisiplinan yang justru membuat anak tidak percaya diri, sakit hati, atau dendam.

Tambahan lagi, cukup banyak laki-laki tampaknya mulai lebih dapat membuka diri, dengan mengatakan siap untuk berbagi dengan istri dalam hal mencari nafkah maupun mengurus rumah.

”Ya bagi tugas siapa yang mencari uang dan siapa yang mengurus rumah tangga tetapi tidak kaku. Satu sama lain saling bantu. Menyapu atau memandikan anak pun lelaki bisa, tidak harus istri. Mengurus anak itu, suami-istri harus ambil peran secara luwes.”

Yang keren bukan lagi yang mendominasi dan membuat takut anak-istri, melainkan yang dapat saling menghormati dan saling mendukung dengan pasangan hidupnya membina keluarga yang lebih membahagiakan untuk seluruh anggotanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar