BBM
dan Potensi Stress
Any Rufaedah ; Pengajar dan Peneliti Psikologi Sosial
|
REPUBLIKA,
15 November 2014
Hampir
dipastikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan dinaikkan meskipun Presiden Joko
Widodo dan Wapres Jusuf Kalla seolah masih testing the water respons masyarakat.
Para
politikus pun saling beradu pendapat. Mereka yang setuju mengatakan kenaikan
harga BBM untuk kemaslahatan rakyat miskin, sedangkan yang tidak setuju
menilai kebijakan itu justru akan mencekik rakyat miskin karena harga sembako
pasti ikut naik.
Pengalihan
subsidi BBM ke dana pen didikan (KIP), kesehatan (KIS), dan kesejahteraan
keluarga (KKS) tidak bisa menjamin keberhasilan pemerintah menaikkan capaian
pada tiga sektor itu, terlebih jika pemerintah tidak membuat instrumen
pengukuran yang jelas. Penambahan anggaran hanya salah satu faktor yang
mendukung keberhasilan sebuah sektor. Faktor lainnya, seperti perubahan mindset, perubahan perilaku, dan
pendampingan pemerintah.
Semua
memang membutuhkan dana, tetapi jika masyarakat tidak mengubah perilakunya
menjadi sehat, misalnya, masalah kesehatan belum tentu diselesaikan. Pada
sektor pendidikan, angka partisipasi murni (APM) pendidikan perempuan lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Fakta ini disumbang faktor budaya dan dorongan
pemerintah.
Sedangkan,
harga kebutuhan hidup dipastikan ikut naik mengiringi kenaikan harga BBM.
Kebutuhan hidup bukan hanya sembilan kebutuhan pokok, tapi juga biaya
transportasi, tempat tinggal, serta pakaian. Pemerintah tidak punya kebijakan
khusus untuk mengendalikan harga pasar. Semua seolah otomatis naik jika harga
BBM naik. Kenaikan harga ini tidak begitu terasa bagi mereka yang sudah kaya,
tapi bagi rakyat miskin sangat mencekik.
Oxfam
International menghitung, butuh waktu 220 tahun untuk menghabiskan kekayaan
Carlos Slim Helu, orang terkaya dunia asal Meksiko dengan pengeluaran 1 juta
dolar AS per hari. Bill Gates yang menempati peringkat kedua, dibutuhkan
waktu 218 tahun.
Di Indonesia
tak kalah hebat. Penelitian Perkumpulan Prakarsa menyebutkan, kekayaan 40
orang terkaya di Indonesia setara kekayaan 77 juta orang termiskin. Data BPS
menyebutkan angka kemiskinan turun dari 11,46 persen atau 28,60 juta jiwa
(2013) menjadi 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa (2014), tapi kesenjangan
semakin lebar.
Dengan
realitas ini, muncul pertanyaan: jika dengan harga BBM Rp 6.500 saja kesenjangan
sudah tinggi, bagaimana jika dinaikkan menjadi Rp 8.600 atau Rp 9.500?
Sementara, kebijakan khusus yang mengimbangi kenaikan biaya hidup, misalnya,
kenaikan UMR, tak dilakukan. Dengan kenaikan harga BBM hingga Rp 3.000, upah
yang seharusnya cukup untuk satu bulan bisa habis dalam dua minggu.
Tak
mungkin memaksa rakyat miskin bekerja lebih giat, sementara ketersediaan
lapangan kerja terbatas. Teori strukturalisme, yang menjadi acuan aktivis
sosial, tidak sepakat jika kemiskinan disebabkan kurangnya usaha. Pemulung,
tukang becak, tukang panggul, atau pedagang asongan bekerja keras mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Namun, taraf hidup mereka tak kunjung membaik.
Stres
adalah perasaan tertekan akibat suatu masalah. Stres sangat bertalian dengan
frustrasi. Secara teoretis, frustrasi adalah perasaan tegang akibat tak tercapainya
keinginan yang ditandai rasa cemas. Jika tidak ada solusi, kecemasan semakin
tinggi dan bisa menghasilkan stres.
Kenaikan
harga BBM potensial menimbulkan frustrasi di masyarakat. Sebab, kemungkinan
untuk mencukupi kebutuhan secara layak semakin kecil.
Frustrasi
yang berlangsung terus berpotensi menimbulkan stres berkepanjangan. Stres
tidak hanya merugikan penderitanya, tapi bisa memakan korban. Frustration-agression hypothesis (hipotesis
frustrasi-agresi) menyatakan, frustrasi akan menyebabkan perilaku kekerasan
fisik, verbal, atau seksual. Gejala ini berkembang di masyarakat, seperti,
ayah kandung memperkosa anaknya, kekerasan rumah tangga, narkoba, sampai
pembunuhan kerabat.
Fenomena
itu sering berkaitan dengan frustrasi. Teori psikologi menyebutnya `mekanisme
kambing hitam' (scapegoat). Orang
yang frustrasi biasanya mencari kambing hitam dari tak tercapainya keinginan.
Sebenarnya, ia tahu siapa penyebab frustrasi, tetapi sadar tidak mungkin bisa
memarahi atau memukulnya. Orang miskin tahu yang menyebabkannya miskin adalah
tak meratanya perekonomian, bisa karena kebijakan pemerintah atau korupsi.
Namun,
mereka tidak mungkin langsung marah kepada presiden dan pejabat pelaku
korupsi. Akhirnya, mereka mencari kambing hitam. Bentuknya bisa memperkosa,
memukul, mencaci maki, dan sebagainya. Jika frustrasi berlangsung setiap
hari, kekerasan pun berlangsung setiap hari.
Pemerintah
mungkin beralibi kasus sekarang berbeda. Masyarakat kecil pendukung Presiden
Jokowi. Mereka sangat mendengar kata Jokowi. Itu terbukti dengan minimnya
demo penolakan kenaikan harga BBM dibandingkan saat masih dipimpin Presiden
SBY.
Figur
presiden sangat berpengaruh pada gejolak di masyarakat. Namun, Presiden
Jokowi juga memperkirakan dampak lain seperti stres massal di masyarakat.
Masyarakat pemilih tidak menolak kenaikan harga BBM karena saking cintanya
pada Jokowi, tapi apa mereka bisa menghindar dari keterpurukan ekonomi karena
cinta itu? Presiden dan semua perangkatnyalah yang harus memikirkan.
Setelah
harga BBM dinaikkan dan rakyat kecil kolaps, bagaimana figur Jokowi bisa jadi
solusi? Harus dibuktikan figur Jokowi bisa menenangkan rakyat kecil. Jika
Jokowi mengaku dekat dengan rakyat, harus dibuktikan kebenarannya dalam
kondisi susah.
Jokowi
harus membuktikan keberhasilan pengalihan subsidi bagi kesejahteraan rakyat.
Pelayanan pendidikan dan kesehatan harus terukur keberhasilannya. Jokowi
harus menyadari bahwa kenaikan harga BBM mengandung risiko besar, dampak
positifnya pun harus besar.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar