Menimbang
Pembubaran Ormas
Ali Ridho ; Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH
UII
|
REPUBLIKA,
15 November 2014
Kasak-kusuk
pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dinilai anarkistis akhir-akhir
ini menjadi isu yang cukup menarik, khususnya pasca-Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok) mengirim surat rekomendasi pembubaran salah satu ormas ke pemerintah.
Alasannya, jejak ormas itu tidak lagi sejalan dengan napas kedamaian dan roh
Pancasila serta konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.
Bahkan
diduga, melalui label agama dan dalil-dalil keagamaan, ormas melegitimasi
tindakan kekerasannya sebagai hal yang wajib dibenarkan dalam memberantas
kezaliman. Hal itulah yang setidaknya menjadi substansi problem dan alasan
logis ormas layak dibubarkan.
Di sisi
lain, keberadaan ormas merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi sebagai
kekuatan penyeimbang positif dalam kehidupan bernegara sehingga
membubarkannya sama saja melanggar kebebasan dasar manusia. Dua kondisi
itulah yang tampaknya perlu ditelusuri makna kebebasan berse rikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai bagian hak asasi manusia (HAM) yang
diatur dalam UUD 1945.
Adanya
Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat dapat dikatakan sebagai bentuk perubahan yang paling
signifikan dalam dinamika sejarah demokratisasi Indonesia.
Atas
dasar hukum ini, setiap ormas, LSM, kelompok masyarakat sipil atau lainnya
aktivitasnya dilindungi oleh hukum. Apakah kemudian pasal itu dapat menjadi
pelindung absolut keberadaan ormas? Apabila dibaca secara utuh, bangunan
pelaksanaan HAM yang diatur UUD 1945 tampaknya didasarkan pada konsep HAM
terbatas.
Konstitusi
mengizinkan pembatasan HAM setiap orang melalui UU, termasuk hak berserikat
dan berkumpul untuk alasan tertentu. Alasan tersebut disebutkan dalam Pasal
28J Ayat (2) UUD 1945 yang, antara lain, pertama, untuk menghormati hak orang
lain; kedua, pertimbangan moral; ketiga, nilai-nilai agama; keempat, keamanan
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Karena
itu, dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga
memberi penegasan bahwa dalam menjalankan hak berkumpul dan berserikat tidak
boleh menyimpang dari tertib hukum dan keadilan di masyarakat. Bila komponen
penting itu tak dipenuhi, sangat dibenarkan negara memberikan pembatasan
terhadap keberadaan ormas.
Konstruksi
UUD 1945 maupun UU Ormas dapat diambil kesimpulan jika sebuah perkumpulan
atau ormas dalam pergerakannya justru merusak tatanan sosial dan tujuan
nasional, Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 tidak bisa dijadikan legitimasi terhadap
keberadaan ataupun aktivitas keormasan. Dengan kata lain, jaminan yang
diberikan oleh konstitusi adalah terhadap ormas yang mampu menjadi wadah
berkumpul dan melakukan pembinaan, pengembangan, dan peningkatan keterampilan
dan kepemimpinan kepada anggotanya. Artinya, sebagai civil society, ormas selain sebagai pengayom dan kanalisasi
aspirasi, juga dapat diartikan sebagai mitra negara untuk bersama-sama
mewujudkan tatanan demokrasi dan pembangunan nasional yang berkeadilan dan
tertib hukum.
Sebagai
wujud konkret adanya negara yang dijalankan melalui roda pemerintahan, negara
harus berperan aktif menyikapi aksi ormas yang tidak lagi sejalan dengan
tujuan nasional dan abai hukum. Hal ini diperlukan sebagai penegas kewibawaan
dan kemampuan negara untuk dapat mengatur, menegur, dan menertibkan warga
negaranya yang `membangkang' dari aturan hukum yang berlaku. Namun, agar
langkah pemerintah tidak menimbulkan persoalan baru, dalam upaya melakukan
pembubaran ormas perlu membuat dasar dan pertimbangan matang dan melakukan
langkah strategis, rasional, dan konstitusional.
Adapun
langkah penting yang harus dilakukan pemerintah, pertama, pembubaran atau
peninjauan kembali pendirian sebuah ormas harus dilakukan hati-hati dan
melalui proses hukum. Pertimbangan pembubaran ormas harus diletakkan pada
proporsi untuk kepentingan nasional dan menjaga kedaulatan bangsa dan negara.
Dalam
hal ini, setidaknya dilandaskan pada kerangka penting perlindungan seperti
yang termaktub dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian,
pembubarannya semata untuk menghormati hak asasi orang lain berdasarkan nilai
dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Ekspresi kebebasan di Indonesia
bukanlah kebebasan yang an sich, yaitu
kebebasan yang bebas dari nilai, moral, dan hukum.
Kedua,
pemerintah harus melaku kan analisis situasi cepat (rapid situation analysis), yaitu dengan menciptakan databaserahasia
yang menyeluruh dan terkoordinasi. Hal ini untuk memantau dan mengevaluasi
program-program dari masing-masing ormas di Indonesia.
Adanya
database juga dapat difungsikan untuk meninjau data mengenai tindakan, kasus,
kebijakan yang telah dilakukan ormas selama berdirinya sehingga hal itu dapat
dijadikan parameter penilaian untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan ormas yang
kurang sejalan dengan tujuan nasional dan mengancam kedaulatan negara. Atas
dasar itu pula, nantinya pemerintah dapat melakukan perubahan izin maupun pembubaran
terhadap ormas `nakal'.
Selama
ini, negara seakan dibuat tidak berdaya terhadap tindakan anarkistis oleh
sekelompok ormas. Bahkan, tindakan anarkistis oleh oknum ormas yang terjadi
sering tidak ditangani serius oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu,
usulan pembubaran ormas, seperti yang dilakukan Ahok, bisa jadi akan menjadi
ujian yang harus dijawab oleh pemerintah secara arif dan bijak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar