Senin, 17 November 2014

Menimbang Pembubaran Ormas

                               Menimbang Pembubaran Ormas

Ali Ridho  ;   Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII
REPUBLIKA,  15 November 2014

                                                                                                                       


Kasak-kusuk pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dinilai anarkistis akhir-akhir ini menjadi isu yang cukup menarik, khususnya pasca-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengirim surat rekomendasi pembubaran salah satu ormas ke pemerintah. Alasannya, jejak ormas itu tidak lagi sejalan dengan napas kedamaian dan roh Pancasila serta konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.

Bahkan diduga, melalui label agama dan dalil-dalil keagamaan, ormas melegitimasi tindakan kekerasannya sebagai hal yang wajib dibenarkan dalam memberantas kezaliman. Hal itulah yang setidaknya menjadi substansi problem dan alasan logis ormas layak dibubarkan.

Di sisi lain, keberadaan ormas merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi sebagai kekuatan penyeimbang positif dalam kehidupan bernegara sehingga membubarkannya sama saja melanggar kebebasan dasar manusia. Dua kondisi itulah yang tampaknya perlu ditelusuri makna kebebasan berse rikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai bagian hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945.

Adanya Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dapat dikatakan sebagai bentuk perubahan yang paling signifikan dalam dinamika sejarah demokratisasi Indonesia.

Atas dasar hukum ini, setiap ormas, LSM, kelompok masyarakat sipil atau lainnya aktivitasnya dilindungi oleh hukum. Apakah kemudian pasal itu dapat menjadi pelindung absolut keberadaan ormas? Apabila dibaca secara utuh, bangunan pelaksanaan HAM yang diatur UUD 1945 tampaknya didasarkan pada konsep HAM terbatas.

Konstitusi mengizinkan pembatasan HAM setiap orang melalui UU, termasuk hak berserikat dan berkumpul untuk alasan tertentu. Alasan tersebut disebutkan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang, antara lain, pertama, untuk menghormati hak orang lain; kedua, pertimbangan moral; ketiga, nilai-nilai agama; keempat, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Karena itu, dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga memberi penegasan bahwa dalam menjalankan hak berkumpul dan berserikat tidak boleh menyimpang dari tertib hukum dan keadilan di masyarakat. Bila komponen penting itu tak dipenuhi, sangat dibenarkan negara memberikan pembatasan terhadap keberadaan ormas.

Konstruksi UUD 1945 maupun UU Ormas dapat diambil kesimpulan jika sebuah perkumpulan atau ormas dalam pergerakannya justru merusak tatanan sosial dan tujuan nasional, Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 tidak bisa dijadikan legitimasi terhadap keberadaan ataupun aktivitas keormasan. Dengan kata lain, jaminan yang diberikan oleh konstitusi adalah terhadap ormas yang mampu menjadi wadah berkumpul dan melakukan pembinaan, pengembangan, dan peningkatan keterampilan dan kepemimpinan kepada anggotanya. Artinya, sebagai civil society, ormas selain sebagai pengayom dan kanalisasi aspirasi, juga dapat diartikan sebagai mitra negara untuk bersama-sama mewujudkan tatanan demokrasi dan pembangunan nasional yang berkeadilan dan tertib hukum.

Sebagai wujud konkret adanya negara yang dijalankan melalui roda pemerintahan, negara harus berperan aktif menyikapi aksi ormas yang tidak lagi sejalan dengan tujuan nasional dan abai hukum. Hal ini diperlukan sebagai penegas kewibawaan dan kemampuan negara untuk dapat mengatur, menegur, dan menertibkan warga negaranya yang `membangkang' dari aturan hukum yang berlaku. Namun, agar langkah pemerintah tidak menimbulkan persoalan baru, dalam upaya melakukan pembubaran ormas perlu membuat dasar dan pertimbangan matang dan melakukan langkah strategis, rasional, dan konstitusional.

Adapun langkah penting yang harus dilakukan pemerintah, pertama, pembubaran atau peninjauan kembali pendirian sebuah ormas harus dilakukan hati-hati dan melalui proses hukum. Pertimbangan pembubaran ormas harus diletakkan pada proporsi untuk kepentingan nasional dan menjaga kedaulatan bangsa dan negara.

Dalam hal ini, setidaknya dilandaskan pada kerangka penting perlindungan seperti yang termaktub dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, pembubarannya semata untuk menghormati hak asasi orang lain berdasarkan nilai dan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Ekspresi kebebasan di Indonesia bukanlah kebebasan yang an sich, yaitu kebebasan yang bebas dari nilai, moral, dan hukum.

Kedua, pemerintah harus melaku kan analisis situasi cepat (rapid situation analysis), yaitu dengan menciptakan databaserahasia yang menyeluruh dan terkoordinasi. Hal ini untuk memantau dan mengevaluasi program-program dari masing-masing ormas di Indonesia.

Adanya database juga dapat difungsikan untuk meninjau data mengenai tindakan, kasus, kebijakan yang telah dilakukan ormas selama berdirinya sehingga hal itu dapat dijadikan parameter penilaian untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan ormas yang kurang sejalan dengan tujuan nasional dan mengancam kedaulatan negara. Atas dasar itu pula, nantinya pemerintah dapat melakukan perubahan izin maupun pembubaran terhadap ormas `nakal'.

Selama ini, negara seakan dibuat tidak berdaya terhadap tindakan anarkistis oleh sekelompok ormas. Bahkan, tindakan anarkistis oleh oknum ormas yang terjadi sering tidak ditangani serius oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, usulan pembubaran ormas, seperti yang dilakukan Ahok, bisa jadi akan menjadi ujian yang harus dijawab oleh pemerintah secara arif dan bijak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar