Senin, 17 November 2014

Aksesibilitas

                                                            Aksesibilitas

Azmi  ;   Direktur Pengolahan Arsip Arsip Nasional RI (ANRI)
KOMPAS,  15 November 2014

                                                                                                                       


”A world without archives would be a world with no memory, no culture, no legal rights, no understanding of the roots of history and science, and no identity” (Maykland, 1992).

SETELAH era Orde Baru, peristiwa 30 September diperingati dengan sikap kritis. Meski merupakan lembaran hitam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kejadian yang sesungguhnya belum banyak terungkap. Padahal, rekaman informasi faktual peristiwa 1965 secara obyektif dapat dilihat dalam arsip yang diciptakan para pihak terkait.

Di antara yang terlibat ada institusi pemerintah (Setneg, Komando Operasi Tertinggi, Kehakiman, Mahmilub), ataupun PKI beserta organisasi afiliasinya (Gerakan Wanita Indonesia, Barisan Tani Indonesia, Lekra, Bapeki, SOBSI, Front Nasional, Pemuda Rakyat, Himpunan Sarjana Indonesia, Persatuan Pamong Desa Indonesia, dan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).

Keobyektifan informasi (content, structure, contex) yang terekam menjadikan arsip peristiwa 1965 merupakan ingatan kolektif nasional yang memiliki nilai kesejarahan tinggi untuk bahan penelitian pelurusan sejarah guna rekonsiliasi bangsa ke depan. Melihat urgensi ini, aksesibilitas arsip peristiwa 1965 yang tersimpan di lembaga kearsipan (ANRI/pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan perguruan tinggi) menjadi perdebatan: siapakah yang berhak memperoleh informasi dan pelindungan rahasia negara.

Sumber sejarah

Tingkat kesadaran sejarah nasional dapat dilihat dari sejauh mana bangsa Indonesia masih memiliki ingatan kesejarahan yang obyektif sehingga dapat menciptakan pemahaman yang tepat atas peristiwa sejarah. Pengungkapan peristiwa 1965 harus dibangun berdasarkan data-data primer yang akurat, tepercaya, dan mampu mempresentasikan realitas fakta yang sesungguhnya (represent the reality).

Jika kita sampai ke pemahaman ini, penggunaan dan pemanfaatan arsip peristiwa 1965 di lembaga kearsipan sebagai sumber pelurusan sejarah dan rekonsiliasi bangsa akan sangat signifikan. Berangkat dari hal ini, peran lembaga kearsipan sebagai pengelola arsip bersejarah menjadi sangat strategis dalam menentukan aksesibilitas pada arsip peristiwa 1965.

Aksesibilitas arsip adalah kemudahan masyarakat mendapatkan arsip dan memanfaatkannya. Sesuai UU No 43/2009 tentang Kearsipan, aksesibilitas arsip statis (arsip yang memiliki nilai kesejarahan) pada lembaga kearsipan merupakan kewenangan kepala lembaga kearsipan.

Setiap lembaga kearsipan berkewajiban menjamin kemudahan akses arsip kepada publik, seperti tertuang dalam Pasal 64 UU No 43/2009 tentang kearsipan bahwa setiap lembaga kearsipan berkewajiban menjamin kemudahan akses arsip statis untuk kepentingan pengguna arsip dengan memperhatikan prinsip keutuhan, keamanan, dan keselamatan arsip, serta didasarkan pada sifat keterbukaan dan ketertutupan arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan kaidah kearsipan, arsip peristiwa 1965 merupakan arsip statis dan institusi yang berwenang mengelolanya adalah lembaga kearsipan. Dalam menerapkan kebijakan aksesibilitas arsip peristiwa 1965, kepala lembaga kearsipan berpijak pada dua aspek penting, yaitu aspek legalitas dan teknis kearsipan statis.

Aspek legalitas berkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan keterbukaan arsip (openbarewet/legal authorisation). Sementara aspek teknis berkaitan dengan ketersediaan sarana bantu temu balik arsip (finding aids) berupa daftar, inventaris, dan guide arsip untuk akses (toegankelijkheid/ existences of finding aids). Finding aid is a tool that facilities discovery of information within a collection of records or a description of records that gives the repository physical and intellectual control over materials and that assists user to gain access to and understand the materials.

Sesuai UU No 43/2009 tentang Kearsipan, kepala lembaga kearsipan memiliki kewenangan membuka dan menutup arsip peristiwa 1965 yang dikelolanya. Kewenangan membuka dilakukan jika arsip telah melewati masa penyimpanan selama 25 tahun. Namun, meskipun usia telah melewati batas yang dipersyaratkan dan telah dibuat finding aids-nya, kepala lembaga kearsipan dapat menutupnya karena beberapa pertimbangan, seperti menghambat proses penegakan hukum; membahayakan pertahanan dan keamanan negara; merugikan kepentingan politik dan hubungan luar negeri, mengungkapkan rahasia atau data pribadi.

Ketertutupan arsip peristiwa 1965 pada lembaga kearsipan tidak berlaku untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, penyelidikan, dan penyidikan. Dalam hal ini ketentuannya diatur dengan Peraturan Kepala Arsip Nasional RI (Pasal 66 ayat 4 UU No 43/2009).

Hak informasi

Jika dikaitkan dengan hak warga negara untuk memperoleh informasi dalam Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 4 Ayat 1 UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka menutup secara total arsip peristiwa 1965 tidak senapas dengan semangat keterbukaan informasi yang diusung kedua peraturan perundang-undangan ini. Sejatinya, lembaga kearsipan sebagai representatif negara dan badan publik dapat menjamin rakyat untuk memperoleh informasi secara benar.

Mengacu hal di atas, sebaiknya lembaga kearsipan tidak harus menutup total arsip peristiwa 1965 untuk publik. Sebenarnya dengan berpijak pada prinsip openbarewet/legal authorisation dan toegankelijkheid/existences of finding aids serta peraturan perundang-undangan terkait, lembaga kearsipan dapat membuka arsip peristiwa 1965 untuk publik secara bertahap dan terbatas.

Prosesnya diawali dengan research secara akademis dengan memperhatikan keseimbangan perlindungan kepentingan negara dan rakyat. Dilanjutkan dengan identifikasi level dan jenis informasinya, tentukan pada level unit informasi apa (fonds, series, file, item: paragraf, kalimat, kata) dan jenis informasi apa yang terbuka (opened) dan tertutup (closed).

Keterbukaan arsip peristiwa 1965 memberi kemungkinan kepada pemerintah dan rakyat Indonesia untuk belajar dari sejarah bahwa apa pun bentuk pengkhianatan negara dan perebutan kekuasaan secara tidak demokratis pasti gagal karena akan berhadapan dengan penegak hukum dan rakyat. Dengan demikian, bangsa Indonesia memiliki kekuatan untuk senantiasa eksis dan bergerak menuju cita-cita nasional sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar