Aksesibilitas
Azmi ; Direktur Pengolahan Arsip Arsip Nasional RI (ANRI)
|
KOMPAS,
15 November 2014
”A world without archives would be a world with no
memory, no culture, no legal rights, no understanding of the roots of history
and science, and no identity” (Maykland,
1992).
SETELAH
era Orde Baru, peristiwa 30 September diperingati dengan sikap kritis. Meski
merupakan lembaran hitam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kejadian yang
sesungguhnya belum banyak terungkap. Padahal, rekaman informasi faktual
peristiwa 1965 secara obyektif dapat dilihat dalam arsip yang diciptakan para
pihak terkait.
Di
antara yang terlibat ada institusi pemerintah (Setneg, Komando Operasi
Tertinggi, Kehakiman, Mahmilub), ataupun PKI beserta organisasi afiliasinya
(Gerakan Wanita Indonesia, Barisan Tani Indonesia, Lekra, Bapeki, SOBSI,
Front Nasional, Pemuda Rakyat, Himpunan Sarjana Indonesia, Persatuan Pamong
Desa Indonesia, dan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).
Keobyektifan
informasi (content, structure, contex)
yang terekam menjadikan arsip peristiwa 1965 merupakan ingatan kolektif
nasional yang memiliki nilai kesejarahan tinggi untuk bahan penelitian
pelurusan sejarah guna rekonsiliasi bangsa ke depan. Melihat urgensi ini,
aksesibilitas arsip peristiwa 1965 yang tersimpan di lembaga kearsipan
(ANRI/pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan perguruan tinggi) menjadi
perdebatan: siapakah yang berhak memperoleh informasi dan pelindungan rahasia
negara.
Sumber sejarah
Tingkat
kesadaran sejarah nasional dapat dilihat dari sejauh mana bangsa Indonesia
masih memiliki ingatan kesejarahan yang obyektif sehingga dapat menciptakan
pemahaman yang tepat atas peristiwa sejarah. Pengungkapan peristiwa 1965
harus dibangun berdasarkan data-data primer yang akurat, tepercaya, dan mampu
mempresentasikan realitas fakta yang sesungguhnya (represent the reality).
Jika
kita sampai ke pemahaman ini, penggunaan dan pemanfaatan arsip peristiwa 1965
di lembaga kearsipan sebagai sumber pelurusan sejarah dan rekonsiliasi bangsa
akan sangat signifikan. Berangkat dari hal ini, peran lembaga kearsipan
sebagai pengelola arsip bersejarah menjadi sangat strategis dalam menentukan
aksesibilitas pada arsip peristiwa 1965.
Aksesibilitas
arsip adalah kemudahan masyarakat mendapatkan arsip dan memanfaatkannya.
Sesuai UU No 43/2009 tentang Kearsipan, aksesibilitas arsip statis (arsip
yang memiliki nilai kesejarahan) pada lembaga kearsipan merupakan kewenangan
kepala lembaga kearsipan.
Setiap
lembaga kearsipan berkewajiban menjamin kemudahan akses arsip kepada publik,
seperti tertuang dalam Pasal 64 UU No 43/2009 tentang kearsipan bahwa setiap
lembaga kearsipan berkewajiban menjamin kemudahan akses arsip statis untuk
kepentingan pengguna arsip dengan memperhatikan prinsip keutuhan, keamanan,
dan keselamatan arsip, serta didasarkan pada sifat keterbukaan dan
ketertutupan arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
kaidah kearsipan, arsip peristiwa 1965 merupakan arsip statis dan institusi
yang berwenang mengelolanya adalah lembaga kearsipan. Dalam menerapkan
kebijakan aksesibilitas arsip peristiwa 1965, kepala lembaga kearsipan
berpijak pada dua aspek penting, yaitu aspek legalitas dan teknis kearsipan
statis.
Aspek
legalitas berkaitan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan keterbukaan
arsip (openbarewet/legal authorisation).
Sementara aspek teknis berkaitan dengan ketersediaan sarana bantu temu balik
arsip (finding aids) berupa daftar,
inventaris, dan guide arsip untuk akses (toegankelijkheid/
existences of finding aids). Finding
aid is a tool that facilities discovery of information within a collection of
records or a description of records that gives the repository physical and
intellectual control over materials and that assists user to gain access to
and understand the materials.
Sesuai
UU No 43/2009 tentang Kearsipan, kepala lembaga kearsipan memiliki kewenangan
membuka dan menutup arsip peristiwa 1965 yang dikelolanya. Kewenangan membuka
dilakukan jika arsip telah melewati masa penyimpanan selama 25 tahun. Namun,
meskipun usia telah melewati batas yang dipersyaratkan dan telah dibuat finding aids-nya, kepala lembaga
kearsipan dapat menutupnya karena beberapa pertimbangan, seperti menghambat
proses penegakan hukum; membahayakan pertahanan dan keamanan negara;
merugikan kepentingan politik dan hubungan luar negeri, mengungkapkan rahasia
atau data pribadi.
Ketertutupan
arsip peristiwa 1965 pada lembaga kearsipan tidak berlaku untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, penyelidikan, dan penyidikan.
Dalam hal ini ketentuannya diatur dengan Peraturan Kepala Arsip Nasional RI
(Pasal 66 ayat 4 UU No 43/2009).
Hak informasi
Jika
dikaitkan dengan hak warga negara untuk memperoleh informasi dalam Pasal 28F
UUD 1945 dan Pasal 4 Ayat 1 UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, maka menutup secara total arsip peristiwa 1965 tidak senapas dengan
semangat keterbukaan informasi yang diusung kedua peraturan
perundang-undangan ini. Sejatinya, lembaga kearsipan sebagai representatif
negara dan badan publik dapat menjamin rakyat untuk memperoleh informasi
secara benar.
Mengacu
hal di atas, sebaiknya lembaga kearsipan tidak harus menutup total arsip
peristiwa 1965 untuk publik. Sebenarnya dengan berpijak pada prinsip openbarewet/legal authorisation dan toegankelijkheid/existences of finding
aids serta peraturan perundang-undangan terkait, lembaga kearsipan dapat
membuka arsip peristiwa 1965 untuk publik secara bertahap dan terbatas.
Prosesnya
diawali dengan research secara
akademis dengan memperhatikan keseimbangan perlindungan kepentingan negara
dan rakyat. Dilanjutkan dengan identifikasi level dan jenis informasinya,
tentukan pada level unit informasi apa (fonds,
series, file, item: paragraf, kalimat, kata) dan jenis informasi apa yang
terbuka (opened) dan tertutup (closed).
Keterbukaan arsip peristiwa 1965 memberi kemungkinan kepada pemerintah
dan rakyat Indonesia untuk belajar dari sejarah bahwa apa pun bentuk
pengkhianatan negara dan perebutan kekuasaan secara tidak demokratis pasti
gagal karena akan berhadapan dengan penegak hukum dan rakyat. Dengan
demikian, bangsa Indonesia memiliki kekuatan untuk senantiasa eksis dan
bergerak menuju cita-cita nasional sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD
1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar