Tata
Kelola Baru Likuiditas Perbankan
Krisna Wijaya ;
Praktisi dan Pengamat
Perbankan
|
KOMPAS,
30 Juli 2014
Kalangan
perbankan nasional harus bekerja ekstra keras untuk mengantisipasi berlakunya
aturan baru terkait pengelolaan likuiditas perbankan pada 2015.
Secara
harfiah, pemahaman likuiditas adalah kemampuan memenuhi kewajiban. Dalam
konteks likuiditas perbankan dapat diartikan sebagai kemampuan memenuhi
kewajiban utama berupa simpanan masyarakat dan kewajiban likuid lain. Bentuk
nyata kepercayaan masyarakat pada bank sebagai lembaga kepercayaan adalah
dana masyarakat yang berada di bank setiap saat bisa dicairkan.
Alat
pemantau likuiditas perbankan selalu diperbarui. Basel 3 telah membuat
indikator terbaru, yaitu liquidity
coverage ratio (LCR) dan net stable
funding ratio (NSFR). LCR dirumuskan sebagai rasio antara stock of high quality liquid assets
(HQLA) dengan net cash outflows
(NCO). NSFR rasio antara amount of stable funding (ASF) dan required amount of stable funding
(RASF).
Inti
LCR dan NSFR, bank tak boleh lagi lebih besar pasak daripada tiang dalam
konteks likuiditas. Kebutuhan likuiditas perbankan harus bisa dipenuhi dari
kemampuan internal dan secara fundamental diyakini akan selalu terjaga baik.
Tambal sulam sesaat untuk menjaga likuiditas tak akan mendapat tempat lagi.
Karena
LCR dan NSFR akan diberlakukan secara bertahap mulai 2015, dalam rangka
penerapannya, perbankan nasional harus bekerja ekstra keras. Memasuki
triwulan II-2014, masalah likuiditas perbankan membuat para bankir makin
sulit tidur nyenyak. Hal ini tampak jelas dari kian banyaknya bank yang
menawarkan suku bunga deposito sampai 11 persen, misalnya.
Sejak
era Orde Baru hingga sekarang, perbankan nasional dihadapkan pada ”penyakit”
bawaan berupa kesenjangan antara sumber dana berupa dana pihak ketiga (DPK)
dan penggunaan dana dalam bentuk kredit.
Ada
beberapa penyebab mengapa kesenjangan terus terjadi. Pertama, pertumbuhan
dana selalu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit. Selama 10 tahun
terakhir, pertumbuhan dana rata-rata 16-17 persen per tahun, sementara
pertumbuhan kredit selalu di atas 20 persen. Ini salah satu penyebab
kelangkaan likuiditas mudah terjadi.
Kedua,
sebagian besar dana masyarakat yang disimpan di bank bersifat jangka pendek
sementara jangka waktu kredit selalu lebih lama dibandingkan jangka waktu
simpanan. Kondisi ini kian terasa ketika isu efisiensi diutamakan, di mana
semua bank mencari dana murah seperti tabungan dan giro. Di lain pihak,
dorongan menurunkan tingkat suku bunga pinjaman menyebabkan semua bank
berlomba meningkatkan dana murahnya yang bersifat jangka pendek.
Ketiga,
ketersediaan permodalan di Indonesia sangat terbatas. Salah satu penyebabnya,
perolehan (yield) yang dianggap
kurang menarik. Perolehan (yield) menempatkan modal di perbankan jauh lebih
kecil dibandingkan sektor lain. Kalkulasi bisnis yang rasional jelas
menempatkan modal di perbankan menjadi tidak menarik. Bukan suatu yang
mengherankan jika akhirnya sumber modal asing lebih banyak masuk. Alasannya
tentu karena mereka mempunyai sumber modal yang kuat dan motivasi
investasinya selalu untuk kepentingan jangka panjang.
Tambal sulam
Untuk
mengatasi ”penyakit bawaan” yang terus melekat pada perbankan nasional,
selama ini hanya ditempuh langkah tambal sulam. Di saat likuiditas terganggu,
perbankan nasional biasanya melupakan efisiensi dengan membeli dana mahal,
baik dana masyarakat maupun melalui pinjaman. Dalam posisi sebagai price
taker saat membutuhkan likuiditas mendesak, berapa pun harganya, sepanjang
dapat menjaga likuiditas akan dilakukan.
Apakah
bisa ”penyakit” bawaan ini dihilangkan?
Seyogianya harus dan dapat dihilangkan. Alternatif yang relatif mudah, dengan menyelaraskan
sumber dan penggunaan dananya. Artinya, harus ada ”kerelaan” bahwa
pertumbuhan penggunaan dana berupa kredit tidak selalu lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan sumber dananya.
Kalau
tetap akan dilanjutkan bahwa pertumbuhan kredit selalu lebih tinggi daripada
pertumbuhan dana masyarakat, harus ada upaya menggalakkan program menabung
secara nasional. Gerakan itu tidak hanya
sekadar edukasi produk, tetapi juga harus disertai peningkatan
kualitas layanan dan daya tarik. Dalam hal daya tarik, fokus utamanya adalah
bagaimana agar pihak yang masih lebih senang menyimpan dana di luar negeri
beralih ke perbankan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar