Jumat, 01 Agustus 2014

Tata Kelola Baru Likuiditas Perbankan

                    Tata Kelola Baru Likuiditas Perbankan

Krisna Wijaya  ;   Praktisi dan Pengamat Perbankan
KOMPAS, 30 Juli 2014
                                                


Kalangan perbankan nasional harus bekerja ekstra keras untuk mengantisipasi berlakunya aturan baru terkait pengelolaan likuiditas perbankan pada 2015.

Secara harfiah, pemahaman likuiditas adalah kemampuan memenuhi kewajiban. Dalam konteks likuiditas perbankan dapat diartikan sebagai kemampuan memenuhi kewajiban utama berupa simpanan masyarakat dan kewajiban likuid lain. Bentuk nyata kepercayaan masyarakat pada bank sebagai lembaga kepercayaan adalah dana masyarakat yang berada di bank setiap saat bisa dicairkan.

Alat pemantau likuiditas perbankan selalu diperbarui. Basel 3 telah membuat indikator terbaru, yaitu liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR). LCR dirumuskan sebagai rasio antara stock of high quality liquid assets (HQLA) dengan net cash outflows (NCO). NSFR rasio antara amount of stable funding (ASF) dan required amount of stable funding (RASF).

Inti LCR dan NSFR, bank tak boleh lagi lebih besar pasak daripada tiang dalam konteks likuiditas. Kebutuhan likuiditas perbankan harus bisa dipenuhi dari kemampuan internal dan secara fundamental diyakini akan selalu terjaga baik. Tambal sulam sesaat untuk menjaga likuiditas tak akan mendapat tempat lagi.

Karena LCR dan NSFR akan diberlakukan secara bertahap mulai 2015, dalam rangka penerapannya, perbankan nasional harus bekerja ekstra keras. Memasuki triwulan II-2014, masalah likuiditas perbankan membuat para bankir makin sulit tidur nyenyak. Hal ini tampak jelas dari kian banyaknya bank yang menawarkan suku bunga deposito sampai 11 persen, misalnya.

Sejak era Orde Baru hingga sekarang, perbankan nasional dihadapkan pada ”penyakit” bawaan berupa kesenjangan antara sumber dana berupa dana pihak ketiga (DPK) dan penggunaan dana dalam bentuk kredit.

Ada beberapa penyebab mengapa kesenjangan terus terjadi. Pertama, pertumbuhan dana selalu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kredit. Selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan dana rata-rata 16-17 persen per tahun, sementara pertumbuhan kredit selalu di atas 20 persen. Ini salah satu penyebab kelangkaan likuiditas mudah terjadi.

Kedua, sebagian besar dana masyarakat yang disimpan di bank bersifat jangka pendek sementara jangka waktu kredit selalu lebih lama dibandingkan jangka waktu simpanan. Kondisi ini kian terasa ketika isu efisiensi diutamakan, di mana semua bank mencari dana murah seperti tabungan dan giro. Di lain pihak, dorongan menurunkan tingkat suku bunga pinjaman menyebabkan semua bank berlomba meningkatkan dana murahnya yang bersifat jangka pendek. 

Ketiga, ketersediaan permodalan di Indonesia sangat terbatas. Salah satu penyebabnya, perolehan (yield) yang dianggap kurang menarik. Perolehan (yield)  menempatkan modal di perbankan jauh lebih kecil dibandingkan sektor lain. Kalkulasi bisnis yang rasional jelas menempatkan modal di perbankan menjadi tidak menarik. Bukan suatu yang mengherankan jika akhirnya sumber modal asing lebih banyak masuk. Alasannya tentu karena mereka mempunyai sumber modal yang kuat dan motivasi investasinya selalu untuk kepentingan jangka panjang.

Tambal sulam

Untuk mengatasi ”penyakit bawaan” yang terus melekat pada perbankan nasional, selama ini hanya ditempuh langkah tambal sulam. Di saat likuiditas terganggu, perbankan nasional biasanya melupakan efisiensi dengan membeli dana mahal, baik dana masyarakat maupun melalui pinjaman. Dalam posisi sebagai price taker saat membutuhkan likuiditas mendesak, berapa pun harganya, sepanjang dapat menjaga likuiditas akan dilakukan.

Apakah bisa ”penyakit” bawaan ini dihilangkan?  Seyogianya harus dan dapat dihilangkan. Alternatif  yang relatif mudah, dengan menyelaraskan sumber dan penggunaan dananya. Artinya, harus ada ”kerelaan” bahwa pertumbuhan penggunaan dana berupa kredit tidak selalu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sumber dananya.

Kalau tetap akan dilanjutkan bahwa pertumbuhan kredit selalu lebih tinggi daripada pertumbuhan dana masyarakat, harus ada upaya menggalakkan program menabung secara nasional. Gerakan itu tidak hanya  sekadar edukasi produk, tetapi juga harus disertai peningkatan kualitas layanan dan daya tarik. Dalam hal daya tarik, fokus utamanya adalah bagaimana agar pihak yang masih lebih senang menyimpan dana di luar negeri beralih ke perbankan nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar