Isu sengketa perairan Laut
China Selatan menjadi strategis dalam perkembangan Asia Timur. Bahkan,
dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (KTT ASEAN) ke-21 di Phnom Penh,
Kamboja beberapa waktu lalu isu itu memanaskan siatusi. Dua negara anggota
ASEAN, yakni Filipina dan Vietnam yang bersengketa langsung dengan China,
mendesak agar permasalahan tersebut dibahas di dalam forum internasional.
Dilaih pihak, China mengingingkan permasalahan ini diselesaikan secara
bilateral guna menghindari intervensi negara lain.
China kerap dituduh bersikap
arogan dalam kasus Laut China Selatan. Klaimnya yang berbentuk
"U" (U-shaped) atas Laut China Selatan dianggap bertentangan
dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Pemaparan ini dalam perspektif
berbeda dari pemikir mainstream, yang masih terkungkung oleh paradigma
realis dan Amerika Centris. Paradigma ini selalu berhasil menciptakan
persepsi ancaman yang ditujukan kepada rising
power (biasanya berperan sebagai penantang status quo) dan kemudian memberikan label agresif kepadanya.
Dalam forum ASEAN tersebut
Jiang mengungkapkan, China ingin menjadi tetangga, partner dan teman yang
baik dari negara-negara anggota ASEAN. Kebijakan "tetangga yang
baik" (good neighbor policy)
ini pertama kali diutarakan di forum multilateral KTT ASEAN Plus Three 1997
oleh presiden China saat itu, Jiang Zemin.
Langkah China merubah
kebijakannya itu bukanlah pemanis bibir belaka, tetapi mengambil
langkah-langkah kongkret untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pada 4
November 2002, China menandatangai Declaration on The Conduct of Parties in
The South China Sea, di Phnom Penh, Kamboja. Dengan demikian, para pihak
yang bersengketa sepakat untuk menahan diri, menyelesaikan sengketa
teritorial secara damai, mengembangkan rasa saling percaya, dan menjalin kerjasama
dalam berbagai bidang di Laut China Selatan tanpa mengurangi klaim
masing-masing pihak terhadap wilayah yang dipersengketakan.
Lebih lanjut, China juga
bersedia menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TAC) pada KTT
ASEAN yang diselenggarakan di Bali, 2003. Beberapa poin yang terdapat dalam
TAC adalah, penyelesaian perbedaan dan persengketaan dengan cara-cara yang
damai, penolakan penggunaan ancaman dan kekuatan militer, serta menjalin
kerjasama yang efektif satu sama lain.
Jika dibandingkan dengan China
pada masa kepemimpinan Mao Zedhong, saat ini memasuki abad 21, perilaku
China bisa dikatakan jauh lebih bersabahat. Pada tahun 1974, pasukan
bersenjata China merebut Kepulauan Paracel dari tangan Vietnam. Peristiwa
itu menyebabkan terbunuhnya 70 pasukan bersenjata Vietnam. Tragedi serupa
terjadi lagi pada 1988, kali ini memperebutkan kepulauan Spratly. Kembali
kekalahan berada pada pihak Vietnam, yang kehilangan 60 orang pelautnya.
Selain bersikap ofensif
terhadap Vietnam, China juga melakukan beberapa tindakan militeristik
kepada Filipina. Pada Januari 1996, kapal-kapal perang China terlibat baku
tembak dengan kapal-kapal perang Filipina, di dekat Pulau Capones.
Dalam satu dekade terakhir,
diakui atau tidak, China dapat menunjukkan kebijakan, tetangga yang baik
dalam politik kawasan. Mengutip pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri China,
Fu Ying, "Dengan cepat kawasan ini dinilai sangat berbahaya dan
bergejolak oleh semua pihak, hanya karena permasalahan Laut China Selatan.
Kenyataannya, dalam beberapa
tahun terakhir, China dan negara-negara yang mengelilingi Laut China
Selatan, telah berhasil mengontrol sengketa dan tidak membiarkannya menjadi
intensif."
Namun, analisa banyak
pengamat, sangatlah bernuansa perang dingin dan Amerika Sentris. China dipandang
sebagai pihak yang memecah belah keutuhan ASEAN, dengan memengaruhi Kamboja
agar menolak usulan membahas Code of Conduct (CoC) pada KTT ASEAN beberapa
waktu lalu. Di sisi lain, mengapa dukungan AS dan Australia agar segera
merumuskan CoC tidak dianggap sebagai upaya yang memecah belah keutuhan
ASEAN? Padahal, China bukannya tidak bersedia merumuskan CoC, akan tetapi
lebih memilih untuk berproses dan menemukan waktu yang tepat untuk
membahasnya.
Kedua, tanpa keberpihakan
Kamboja kepada China pun, Vietnam, terlebih Filipina, memang telah
bersekutu dengan AS. Secara eksplisit, pemerintah AS menyatakan akan
melindungi Filipina, berkaitan dengan sengketa perairan Laut China Selatan.
Justru, "kembalinya"
AS dalam percaturan politik kawasan Asia Timur ini akan menciptakan
munculnya politik perimbangan kekuatan klasik. Kembalinya AS ini merupakan
upaya pemindahan poros kebijakannya, dari sebelumnya lebih mengarah ke
Timur Tengah, menuju Asia. Dalam majalah Foreign Policy (November 2011),
Menlu AS waktu itu Hillary Clinton secara eksplisit mengatakan, "masa
depan politik akan ditentukan di Asia, bukan di Afghanistan atau Irak, dan
Amerika Serikat akan beraksi tepat di tengahnya." Ini menunjukkan
bahwa AS tidak main-main dan dinilai perlu untuk melindungi kepentingan
nasional negara-negara sekutunya.
Para pengamat maupun pengambil
kebijakan perlu cermat membaca politik kawasan. Sepanjang sejarah Asia
Timur, konflik besar seperti Perang Korea, Perang Vietnam dan krisis Selat
Taiwan pecah karena keterlibatan AS. Oleh sebab itu, kita patut bersikap
obyektif dalam melakukan penilaian mengenai, siapa aktor yang paling
mungkin memecah belah kesatuan kawasan.
Sementara itu, Doktrin
Natalegawa, mengenai "keseimbangan dinamis" perlu tetap
dipertahankan untuk menjaga kawasan tetap damai dan terhindar dari politik
perimbangan kekuatan klasik. "Keseimbangan dinamis" diharapkan
mampu mengendalikan, bukan menghilangkan, pengaruh dua negara besar, AS dan
China, agar tidak semakin mendominasi kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar