Selasa, 19 Februari 2013

Program Implementasi Sekolah


Program Implementasi Sekolah
Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 18 Februari 2013


SINYALEMEN kebijakan kurikulum baru yang akan mulai diterapkan pada Maret mendatang, perlu secara kreatif dituangkan dalam program pelatihan guru berbasis sekolah (school based training program).

Mengapa berbasis sekolah? Dengan titik tekan pada pengembangan sikap, keterampilan dan pengetahuan siswa dapat dipastikan akan menjadi kegagapan baru bagi para guru dalam mengimplementasikan kurikulum baru. Karena itu, proses pembelajaran terhadap kerangka konseptual dan filosofis kurikulum baru harus didasari atas eksistensi sekolah.

Kerap dan umum diketahui, salah satu bentuk sosialisasi dan pengenalan kurikulum baru selama ini selalu berlangsung dengan memanggil hampir semua guru dalam rumpun yang sama secara serentak. Pelatih dan fasilitator disusun bukan berdasarkan kompetensi, melainkan sering kali hanya berdasar level jabatan, yang ketika pelatihan berlangsung lebih banyak bersifat instruktif. Tak jarang setelah guru kembali ke sekolah masing-masing yang terjadi ialah kebingungan.

Model seperti itu tak bisa dilakukan lagi dalam sosialisasi dan pelatihan kurikulum baru. Dengan modal UUD 45 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sudah seharusnya kurikulum pendidikan kita mampu meletakkan landasan operasional yang jelas bagi sebuah sistem pelayanan pendidikan yang terpadu dan komprehensif bagi masyarakat dan itu semua berasal dari sekolah.

Sebagai sektor yang melibatkan begitu banyak kepentingan politik dan budaya di dalamnya, sudah sewajarnya jika kritik dan konflik yang menyangkut implementasi kurikulum justru diletakkan ke dalam sebuah kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan yang baik dan benar di jantung proses pendidikan itu berlangsung, yaitu sekolah (Hill et.al., 2000).

Meletakkan semua kegiatan pelatihan dan sosialisasi rencana implementasi kurikulum baru di sekolah akan menjadi solusi efektif untuk melihat efektifi tas kebijakan pengembangan kurikulum. Sebagaimana diketahui, efektivitas kebijakan implementasi kurikulum pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol kualitas sekolah serta perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan adalah salah satu bukti yang menunjukkan lemahnya kontrol yang berkualitas (quality assurance).

Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur keterlibatan masyarakat sekitar sekolah ketika sebuah kebijakan diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal, sejatinya kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.

Meskipun pelibatan semua pemangku kepentingan telah dilakukan, jika dilihat dari sudut pandang arah perubahan kurikulum yang diinginkan, nampaknya agenda untuk memasukkan secara serius perbaikan manajemen sekolah belum dimasukkan ke dalam skema perubahan kurikulum. Yin Cheong Cheng dalam Effectiveness of Curriculum Change in School: An Organizational Perspective (1994) mengingatkan agar perubahan kurikulum bisa berlangsung setidaknya di tiga level, yaitu individu guru, kelompok, dan sekolah.

Organizational model of curriculum change ini jelas harus memasukkan agenda seperti perbaikan manajemen sekolah, memberlakukan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum), serta membiarkan sekolah memiliki strategi implementasi kurikulum berdasarkan perencanaan pengembangan sekolah yang sesuai dengan visi dan misinya.
Hasil riset di beberapa negara juga menunjukkan bahwa persoalan kurikulum sering kali dikemas dalam balutan politik secara serampangan sehingga tumbuh situasi yang tidak seimbang dan tidak konsisten menyangkut relasi antara sesama guru di sekolah, guru dengan kepala sekolah, sekolah dan masyarakat.

Perlu Pembaruan

Meskipun dalam lima tahun terakhir ini kita banyak menghasilkan peraturan dan perundangan mengenai pendidikan, pada praktiknya terjadi banyak tumpang-tindih dan kesalahan dalam implementasi program-program pendidikan (Edward G. Rozyki: 2006). Inefektifitas akan terjadi lagi di Indonesia dalam lima tahun ke depan jika dari sekarang kita tak membuat rencana implementasi kurikulum berbasis sekolah sehingga tumbuh inisiatif dan komitmen yang secara kreatif memacu mutu pendidikan.

Pembaruan kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan melalui konsensus antarbirokrat dengan komunitas/masyarakat sekolah nampaknya harus dijadikan prioritas Mendikbud saat ini. Dan itu harus dijadikan bingkai dialog secara terbuka antarbirokrasi di tingkat pusat, terutama dalam mencermati dan membuat rancangan program pelatihan kurikulum baru.

Konsensus dalam bidang pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut (Charles Perrow, 1979).

Dengan pelatihan berbasis sekolah kita dapat dengan mudah mengukur tingkat efektivitas sebuah kebijakan. Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan mengenai bagaimana sebenarnya sistem pendidikan kita ditegakkan dan dijalankan. Karena itu, kebebasan akademis dari para guru, kepala sekolah, siswa, dan masyarakat harus tecermin kuat dalam program penguatan kapasitas guru sekaligus kapasitas peran serta masyarakat yang berkesinambungan. The primacy of teachers harus menjadi prioritas tidak hanya aspek kesejahteraannya, tetapi juga kapasitasnya.

Karena itu, tanpa kapasitas yang mumpuni para guru akan semakin terjebak pada rutinitas mengajar yang formal, yakni guru selalu ingin memaksakan prakonsepsi tertentu kepada pikiran para siswa ketimbang sebagai fasilitator yang akan membuat para siswa lebih kreatif dan terbuka (Hatch, White, & Faigenbaum, 2005). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar