Diskursus mengenai partai
politik akhir-akhir ini kian mewarnai ruang publik politis di tahun ular
air dalam penanggalan Tiongkok klasik. Setelah terungkapnya berbagai modus
operandi korupsi politik yang terjadi pada hampir semua parpol,
8 (delapan)
butir rekomendasi dari Majelis Tinggi partai berlambang segitiga biru,
antara lain yang berisi pengambilalihan kendali partai tersebut oleh Ketua
Majelis Tingginya yang sekaligus merupakan Presiden RI,tak urung mencuatkan
polemik seputar batas ruang kuasa pejabat negara/publik dengan pimpinan
parpol kian menambah hiruk-pikuk suasana di tahun politik (meminjam istilah
SBY yang menyebut tahun 2014 sebagai tahun politik).
Problem yang
menyusul adalah kesan bahwa SBY telah mendahului (atau dengan bahasa lugas:
menekan) KPK untuk segera menjadikan Anas sebagai tersangka.Langkah itu
paradoks dengan ungkapan SBY dan para elite Partai Demokrat yang menghargai
independensi KPK sebagai penegak hukum. Hal tersebut terkesan menempatkan
KPK dalam posisi dilematis: apakah akan terseret dalam arus politik
kepentingan internal Partai Demokrat atau mampu menjaga independensi di
tengah tarikan kepentingan di tubuh partainya penguasa yang kini memasuki
masa senjakala setelah didera berbagai isu korupsi politik mulai dari kasus
Century hingga Hambalang?
Fungsi parpol
dalam sistem demokrasi pada hakikatnya meliputi tiga kegiatan utama, yaitu
seleksi calon-calon,kampanye, dan melaksanakan fungsi pemerintahan
(legislatif dan eksekutif). Manakala kekuasaan untuk memerintah telah
diperoleh, maka parpol berperan pula sebagai pembuat keputusan politik.
Sedemikian pentingnya fungsi parpol dalam sistem demokrasi, sehingga ada
teori yang menempatkan parpol sebagai instrumen rekonsiliasi konflik. Guna
menjalankan fungsi rekonsiliasi konflik itu diperlukan nilai kebenaran.
Rekonsiliasi
tidak bisa dijalankan tanpa pengungkapan kebenaran. Parpol harus mengemban
nilai kebenaran untuk memungkinkan dilaksanakannya fungsi rekonsiliasi
konflik. Sebuah rekonsiliasi butuh dasar dan bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga oleh karenanya kebenaran dapat diungkap.
Bagaimana sebuah kebenaran dapat diungkap melalui fungsi rekonsiliasi parpol
manakala nilai kebenaran tak lagi hadir dalam kehidupan parpol?
Parpol yang
semestinya menjadi pilar utama penopang sistem demokrasi konstitusional
telah mengalami pembusukan dari dan oleh dirinya sendiri. Parpol hanya
menjadi arena permainan kekuasaan (power
game) tempat bertemunya kepentingan politik ekonomi dari elite parpol
birokrat-pengusaha dan menyubordinasikan rakyat yang hanya dieksploitasi
suara politiknya di saat-saat pemilu. Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa
kejahatan dimulai ketika seseorang mengundurkan diri dari tanggung jawab.
Pada saat
seperti itu seseorang tidak berani menghadapi konsekuensi-konsekuensi dari
perbuatannya. Hal itu terjadi manakala orang mendefinisikan dirinya dalam
identitas kolektif, bahkan juga dengan menggunakan dalih demi menghormati
proses hukum. Dalam kondisi seperti itu korupsi telah menjelma menjadi
lingkaran tak berujung di balik tindakan saling melempar tanggung
jawab/kesalahan satu sama lain di antara para elite politik.
Di saat konflik
kepentingan yang menjadi pintu gerbang korupsi telah mengeliminasi
integritas, moralitas dan akuntabilitas dari proses kebijakan yang di
dalamnya memutarbalikkan kebajikan, fungsi parpol telah digeser menjadi
selubung dari berbagai konflik kepentingan tersebut. Patrick Dobel (1999)
pernah mengemukakan bahwa seseorang yang mengejar kuasa bisa mengalami
deindividuasi (deindividuation),
yaitu suatu situasi saat seseorang merasa terbebas dari pembatasan moral
dalam dirinya yang bisa berakibat hilangnya perasaan identitas diri dan
tanggung jawab.
Orang-orang
yang mengalami proses deinviduasi inilah yang kini telah membajak parpol,
sehingga parpol kian mengalami krisis jati diri. Menjernihkan kembali
fungsi parpol dengan membebaskannya dari para pembajak tersebut akan
mencegah kembalinya rezim totaliter yang siap membajak sistem demokrasi
justru atas nama kegagalan parpol dalam meredefinisi dan menjernihkan
fungsi dirinya sebagai pilar utama penopang demokrasi.
Parpol
seharusnya dapat menjadi kuasa politik yang mampu memobilisasi dan menjadi
kanal aspirasi politik warga untuk diubah menjadi kebijakan publik. Kuasa
untuk mengubah aspirasi menjadi kebijakan publik dilaksanakan melalui
parlemen yang merupakanarenalegislasi, representasi dan pengawasan politik.
Parlemen yang memiliki akar kata parle,yang artinya bicara, seharusnya menjadi
saluran efektif untuk menyuarakan berbagai aspirasi rakyat/konstituen untuk
diubah menjadi kebijakan publik oleh elemen-elemen kuasa negara.
Pada ranah
legislasi, parlemen menjadi arena yang oleh Reed Dickerson (1986) disebut
sebagai kristalisasi dan ekspresi dalam bentuk definitif dari hak yuridis, privilege,
fungsi, kewajiban, status atau disposisi. Parlemen memungkinkan aspirasi
dieksekusi menjadi kewajiban negara serta hak-hak warga dijamin
pemenuhannya. Oligarki kuasa modal yang bersenyawa dengan syahwat berkuasa
sebagian elite partai politik telah menjadikan partai politik tak lagi
memegang kuasa riil dalam sistem demokrasi yang mampu mengaitkan (linkage) antara rakyat dan
pemerintahan.
Akibatnya,
partai politik telah gagal menjalankan fungsi sebagai wadah seleksi elite
politik yang memegang kendali kuasa negara. Partai politik mengalami
disfungsi kronis sebagai akibat berbagai praktik kotor yang meminjam tangan
partai. Pada saatnya deparpolisasi yang lahir karena kemuakan dan kejenuhan
publik terhadap terus memburuknya citra partai politik dapat mengundang
kembali hadirnya otoritarianisme dalam panggung percaturan kuasa negara.
Partai politik
yang menjadi cikal bakal terbentuknya fraksi dalam tubuh parlemen dalam
pencitraan partai politik yang kian buruk, tak urung juga telah mengubah
parlemen menjadi arena kelanjutan transaksi kepentingan berbagai kelompok
kepentingan yang menggunakan parlemen sebagai arena legalisasi kepentingan
dari sindikasi kuasa ekonomi-politik kleptokratik. Di saat tersebut, layak
mempertimbangkan semiotika publik yang kian santer mempertanyakan hakikat
partai dalam sistem demokrasi: partai sebenarnya ada untuk ada dan bagi
kepentingan siapa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar