Minggu, 17 Februari 2013

Karut-Marut Kepemimpinan Komnas HAM


Karut-Marut Kepemimpinan Komnas HAM
Anton Aliabbas  Direktur Program The RIDeP Institute, 
Staf pengajar pada Binus International, Universitas Bina Nusantara
SINDO, 16 Februari 2013


Entah apa yang ada dalam benak mayoritas komisioner Komnas HAM kini. Sengkarut perubahan durasi kepemimpinan lembaga penjaga HAM ini tidak juga selesai. Walaupun dikritik habis-habisan oleh publik, termasuk oleh para mantan komisioner, sembilan anggota Komnas HAM tetap bertahan untuk memangkas jabatan ketua hingga satu tahun. 

Sejak awal saat proses uji kelayakan dan kepatutan, sejumlah anggota DPR mengeluh pada penulis mengenai adanya ”penurunan”kualitas calon komisioner Komnas HAM. Menurut para legislator tersebut, dari kandidat yang diajukan ke DPR, tidak ada lagi figur yang dirindukan publik dalam mengawaki Komnas HAM seperti Baharuddin Lopa (alm) dan Asmara Nababan (alm). Dan kekhawatiran tersebut kini menjadi kenyataan. 

Sembilan dari 13 komisioner menghendaki adanya perubahan tata tertib yang mengatur masa jabatan ketua Komnas HAM. Saat awal pemilihan ketua Komnas HAM (2012-2015), semua komisioner menyepakati masa kepemimpinan ketua selama 2,5 tahun. Kala itu pemilihan dimenangi Otto Nur Abdullah, sosiolog yang sudah malang melintang mengurusi konflik Aceh dan Papua. Otto mengalahkan kandidat lain, yakni Nur Kholis dan Hafid Abbas. 

Namun, hanya berselang dua bulan riak politik internal muncul. Kepemimpinan Otto digoyang dengan ide merevisi tata tertib yang memangkas jabatan ketua menjadi satu tahun. Komisioner pun terbelah. Sembilan orang mendukung ide tersebut: Hafid Abbas, Nur Kholis, Imdadun Rahmat, Natalius Pigay, Siane Andriani, Ansori Sinungan, Dianto Bachriadi, Maneger Nasution and Siti Noor Laila. Adapun Otto bersama Sandra Moniaga, Rochiatul Aswidah dan Muhammad Nurkhoiron mengajukan dissenting opinion. 

Alhasil, rapat paripurna Komnas HAM yang digelar belum lama ini mengetok palu perubahan tata tertib. Para komisioner yang prorotasi kepemimpinan setahun sekali mengaku optimistis kinerja Komnas HAM akan lebih efektif dan lebih baik. Hafid Abbas dalam artikelnya di sebuah harian berbahasa Inggris medio Januari silam tegas menyatakan ide tersebut merupakan penerapan prinsip kolektif dan kolegial. 

Hafid menggarisbawahi adanya dua persoalan yang mendasari ide tersebut, yakni adanya persoalan birokrasi Sekretariat Jenderal Komnas HAM dan kesenjangan beban tugas komisioner yang mengurusi lebih dari 6.000 kasus HAM yang masuk tiap tahunnya. Dua basis masalah yang dilontarkan Hafid tentu patut dipertanyakan. Pertama, jika memang ada persoalan birokrasi Sekretariat Jenderal, lantas mengapa harus masa jabatan ketua yang dipotong? 

Jika problemnya koordinasi atau kinerja Sekretariat Jenderal, hal yang harus dievaluasi mestinya jajaran kesekretariatjenderalan, bukan dengan memperpendek jabatan ketua. Ide ini sama sekali tidak akan memberi jaminan akan adanya perbaikan bagi performa birokrasi internal Komnas HAM karena sama sekali tidak mengatasi akar masalah. Kedua, menjadikan problem kesenjangan beban kerja komisioner sebagai dalih merotasi jabatan juga terkesan mengada-ada. 

Problem ini mestinya diselesaikan dengan membuat mekanisme internal yang dapat membagi beban kerja para komisioner secara adil dan terukur. Bagaimana mungkin, dalam kurun waktu hanya dua bulan menjabat kepemimpinan Otto langsung disalahkan dan harus memikul tanggung jawab tersebut. Bukankah pekerjaan rumah kasus pelanggaran HAM sudah menumpuk dan merupakan warisan dari periode sebelumnya? Keanehan yang terasa justru saat komisioner Komnas HAM, Siane Andriani, melansir temuannya dalam melakukan investigasi penanganan terorisme di Poso oleh Polri belum lama ini. 

Prinsip kolektif dan kolegial sama sekali tidak diterapkan sebelum laporan ini dilansir ke publik. Dengan kata lain, tim Poso sama sekali tidak membawa dan membahas laporan tersebut di dalam rapat pleno Komnas HAM yang notabene adalah forum tertinggi dalam pengambilan keputusan. Semestinya, untuk keputusankeputusan penting dan menyangkut publik, semua komisioner memberi persetujuan sehingga laporan tersebut dapat merefleksikan sikap utuh Komnas HAM,bukan manuver individual komisioner. 

Berkaca dari kejadian di atas, kelompok mayoritas komisioner sangat terlihat ambigu dan inkonsisten dalam menerapkan prinsip kolektif dan kolegial. Sungguh tidak ada salahnya apabila para komisioner Komnas HAM belajar dari apa yang dilakukan pimpinan KPK dalam mengeluarkan keputusan. Sebelum keputusan dilansir ke publik, seluruh pimpinan menandatangani surat tersebut. 

Toh KPK dan Komnas HAM sama-sama bertugas mengurusi kejahatan luar biasa. Kekisruhan tentang kepemimpinan Komnas HAM ini tentu saja banyak meninggalkan pertanyaan. Dari awal ketika ide tersebut muncul, kelompok masyarakat sipil mengkritik dan mengecam sikap koppeg mayoritas komisioner yang ngotot mendorong rotasi kepemimpinan. Ada dugaan, sikap keras kepala ini tidak lepas dari perhelatan politik Pemilu 2014. Sebab, tentu saja, banyak politisi maupun elite negeri ini yang akan berkepentingan dengan tindak tanduk Komnas HAM yang sangat mungkin dapat mengganggu pencitraan politik hingga menggugurkan pencalonan. 

Dua pertanyaan yang timbul di benak publik. Pertama, mengapa ide ini menguat setelah Otto memegang tongkat estafet kepemimpinan dari pendahulunya, Ifdhal Kasim? Jika terlepas dari kepentingan tertentu, semestinya ini digulirkan Nur Kholis dkk sejak awal saat pemilihan ketua sesaat setelah dilantik. Kedua, mengapa ketentuan rotasi kepemimpinan Komnas HAM berlaku retroaktif dan tidak mau menunggu hingga kepemimpinan Otto usai? 

Bukankah inti dari pelaksanaan demokrasi yang baik adalah menghargai konsensus politik yang sudah diambil sebelumnya. Jikalau komisioner Komnas HAM saja begitu mudahnya membatalkan putusan yang sudah diambil, bagaimana dengan ‘nasib’ putusan-putusan lain yang sudah ditetapkan? Pembatalan kesepakatan awal dengan bersembunyi di balik “keputusan rapat paripurna” tentu tidak elok dilakukan oleh para komisioner pembela HAM di negeri ini. Keadaan yang kisruh ini tentu saja tidak akan membawa keuntungan bagi publik. 

Yang menanggung untung justru para pihak yang merasa berkepentingan dengan terus lemahnya posisi Komnas HAM. Karena itu,tidak ada saran lain bagi sembilan komisioner yang prorotasi kepemimpinan 1 tahun untuk mengubah sikap mereka. Masih belum terlambat untuk membatalkan revisi tata tertib mengenai masa kepemimpinan ketua Komnas HAM. Sepatutnya para komisioner dibantu birokrasi internal saling bahu-membahu menuntaskan pekerjaan rumah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan tindak kekerasan, bukan malah sibuk memilih ketua setiap tahun layaknya giliran arisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar