Jumat, 15 Februari 2013

Makna Kerja Plus SBY-Ibas


Makna Kerja Plus SBY-Ibas
Bandung Mawardi    Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 14 Februari 2013


BERITA politik di Indonesia sering tentang aib. Kita cuma mengajukan sesalan dan doa. Situasi pelik ini boleh kita jawab dengan hujatan atau anjuran, ke rasionalitas atau emosionalitas. Berita paling mutakhir berkaitan dengan kisruh politik di Partai Demokrat (PD). Susilo Bambang Yudhoyono pun turun tangan mengatasi seribu persoalan. Peran sebagai presiden ditambahi dengan kesibukan mengurus partai. Anas Urbaningrum dipersilakan mengurangi jatah kerja di PD.

Keputusan itu membuat saya termangu. Mereka beranggapan SBY bakal sibuk, kelelahan, dan rancu memikirkan partai politik atau negara. Beban sebagai presiden itu berat! Kehendak menambahi beban kerja justru menimbulkan curiga, menguak keberpihakan politik. SBY lebih tampil sebagai orang partai politik ketimbang negarawan. Partai politik seolah ada di atas negara. 

Tuduhan-tuduhan atas beban kerja dan kerancuan peran SBY dijawab oleh Julian Aldrin Pasha selaku juru bicara kepresidenan. SBY sebagai presiden memiliki jam kerja dan hari kerja. SBY adalah politikus yang sadar peran dan jam kerja. Julian Aldrin Pasha menerangkan bahwa kesibukan SBY mengurusi PD dilakukan di luar jam dan hari kerja. 

Kita dipersilakan menerima keterangan itu dengan sangsi. SBY sebagai presiden tentu memiliki hak istirahat, libur, cuti. Kita berharap agar hak itu digunakan untuk memulihkan kondisi tubuh dan pikiran, menghibur diri di jeda kerumitan mengurusi negara. SBY justru menggunakan hak demi kerja berat: keselamatan dan popularitas PD. Kita berdoa (dengan tulus) agar SBY tetap sehat, tenang, rasional dalam menyelesaikan seribu persoalan. Amin.

SBY adalah tokoh menentukan untuk nasib PD, sekarang dan Pemilu 2014. Sekian kader telah menjadi koruptor, sekian tokoh masih terbelit kasus korupsi. Kita juga masih bimbang dalam menilai Anas Urbaningrum, tersangka atau terbebas dari skandal korupsi Hambalang. Para elite PD saling menuduh, mengadu otoritas ''demi keselamatan partai''. Anas dipaksa tak gegabah mengurusi partai.

Sebagai sosok kunci, SBY diperkenankan bekerja keras demi PD. SBY memang harus bekerja keras melebihi Anas. Saya ingat, Anas sering menggunakan idiom ''bekerja keras'' saat mengisahkan gerak PD, dari dulu sampai sekarang. Ungkapan itu bakal diambil alih oleh SBY.

Bekerja keras dan kesibukan mengurusi PD juga harus dijalankan Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Sekretaris jenderal PD itu nekat membolos dari tugas parlemen. Sidang berlangsung tanpa kehadiran Ibas meski dalam daftar hadir ada tanda tangan Ibas. Tandan tangan sudah dianggap representatif ketimbang kehadiran tubuh di ruang sidang bagi kaum terhormat. 

Kamera jurnalis merekam bahwa Ibas datang tergesa ke ruang sidang paripurna. Ibas tak masuk ke ruang sidang, berlanjut terus ke belakang. Si ajudan membawakan daftar presensi untuk ditandatangani Ibas. Adegan membolos terjadi dalam waktu sekejap. Ibas meninggalkan ruang sidang paripurna menggunakan tangga darurat. Adegan tersebut mungkin bermaksud menghindari tatapan mata jurnalis dan anggota parlemen. Membolos memang memerlukan siasat, gerak lincah, dan cepat.

Ibas seolah tidak mengingat laporan jumlah para legislator pembolos. Setidaknya, 137 anggota DPR tercatat membolos dalam rapat dan pidato kenegaraan SBY, 16 Agustus 2012. Sekian hari sebelum rapat, pimpinan DPR telah memberikan pesan agar kaum politisi terhormat tidak membolos. Pesan sekadar kata, lekas terlupakan. Peringatan itu tak manjur. Ratusan orang tetap membolos dengan alasan tindakan membolos tidak termasuk ''haram'' dalam tata tertib di DPR. Mereka memang abai kerja dan etik politik meski fasih mengumbar seribu alasan.

Kisah kaum pembolos itu tak membuat Ibas, yang baru meneken ''pakta integritas'' yang dirumuskan ayahnya, mawas diri. Adegan memberikan tanda tangan tanpa kehadiran tubuh di ruang sidang adalah ironi bagi politisi terhormat. Tanda tangan menjadi representasi kedustaan dan kebohongan. Ibas mengira tanda tangan adalah bukti politik-kehadiran. Kita pantas bercuriga: tanda tangan adalah ilusi dalam ritus politik di Indonesia. 

Berita dari gedung parlemen mungkin membatalkan penghormatan kita atas otoritas kaum politisi terhormat. Tanda tangan bisa ada di lembaran resensi, tapi mereka tak ada di ruang rapat. Tanda tangan sudah tidak manjur lagi untuk memaknai kehadiran dan tanggung jawab. Para pembolos itu lihai mengibuli kita dan canggih meloloskan diri dari kontrol. Tanda tangan menjadi representasi manipulasi politik.

Ibas mungkin membolos untuk ''bekerja keras'' mengurusi PD. Ibas juga sibuk seperti SBY. Dua tokoh tersebut penentu nasib PD. Mereka ada di jajaran elite, memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan-keputusan partai. Mereka adalah bapak dan anak. SBY sibuk dan bekerja keras selaku presiden dan ''penggembala'' PD. Ibas juga ikut sibuk, bekerja keras demi nama baik dan harga diri PD di mata publik. SBY tak mungkin membolos dari hari kerja sebagai presiden. Ibas malahan membolos saat memiliki tanggung jawab sebagai manusia parlemen. 

Bekerja keras dalam politik itu keharusan agar ada efek berdalih ke kekuasaan. Adegan-adegan bekerja keras bisa menjelaskan pamrih partai politik merebut kekuasaan. Kita mulai mengerti, bekerja keras adalah ungkapan ambigu dalam politik. Anas sering menggunakan ungkapan itu demi kebesaran PD meski terjerat di kasus pelik: Hambalang. 

Ungkapan ''bekerja keras'' justru bakal diwujudkan oleh SBY dan Ibas dengan pertaruhan politik. Kita mempersilakan SBY mengurusi PD tanpa harus kehilangan tenaga sebagai presiden. Kita menghormati kehendak Ibas untuk bekerja keras demi PD, tapi masak membolos dari parlemen dengan teken hadir? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar