Jumat, 15 Februari 2013

Reformasi Manajemen Aparatur Sipil Negara


Reformasi Manajemen Aparatur Sipil Negara
Roby Arya Brata    Analis Antikorupsi, Hukum, dan Kebijakan
KORAN TEMPO, 14 Februari 2013


Mengapa reformasi birokrasi di Indonesia berjalan lambat dan kurang substansial? Faktor apakah yang menjadi penghambat pemberantasan korupsi birokrasi sistemik dan penyebab kinerja pemerintahan yang buruk? Pertanyaan-pertanyaan ini masalah mendasar yang perlu dikaji untuk mengatasi tata kelola pemerintahan yang buruk (bad governance) di Indonesia.
Salah satu faktor signifikan yang menyebabkan bad governance itu adalah buruknya manajemen aparatur sipil negara (ASN). Manajemen ASN sekarang memberikan kewenangan diskresional yang besar kepada pimpinan kementerian dan lembaga/KL untuk merekrut dan mempromosikan pegawai. Tanpa kerangka akuntabilitas dan transparansi institusional yang kuat, manajemen demikian membuka peluang yang besar bagi praktek KKN. Formasi dan jabatan sudah menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar (korupsi) jabatan (office for sale). 
Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi pegawai negeri dan mendapatkan promosi jabatan, seseorang harus memberikan uang dalam jumlah yang besar kepada pejabat yang berwenang. Di banyak pemerintah daerah, misalnya, seseorang harus membayar sekitar Rp 100 juta untuk diterima menjadi pegawai negeri. Dalam beberapa kasus, untuk menjadi perwira Polri dan TNI, seseorang menyetorkan sejumlah uang kepada oknum pejabat. Dari hasil penelitian saya, terungkap seorang hakim dan jaksa harus memberikan upeti kepada oknum pimpinan agar dimutasikan atau dipromosikan ke wilayah yang "basah". 
Karena itu, jangan heran bila Anda menemukan kantor pemerintah yang pegawainya terdiri atas saudara, kaum kerabat, dan teman sang pejabat. Jangan aneh pula bila Anda mendapati unit kerja pemerintah di mana para staf dan pejabatnya berasal dari daerah dan etnis tertentu. Anda juga tidak perlu terkejut bila seorang yang tidak kompeten dipromosikan, karena ternyata dia adalah selingkuhan sang atasan. 
Manajemen ASN sekarang ini juga membuka peluang politisasi birokrasi. Pengangkatan pejabat di birokrasi pemerintahan pusat dan daerah terkadang dilakukan berdasarkan afiliasi politik kepada partai politik sang menteri atau kepala daerah. Di banyak pemerintah daerah, birokrasi dijadikan mesin uang melalui proyek-proyek pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan personal dan partai politik sang kepala daerah. Menjelang pilkada, biasanya dilakukan mutasi dan rotasi pejabat besar-besaran untuk melancarkan kecurangan dan politik uang sang inkumben.
Dalam manajemen ASN berdasarkan patronase korup (spoil system) seperti ini, integritas, kompetensi, dan kinerja bukanlah pertimbangan utama dalam mempromosikan pejabat. Sebaliknya, dalam kleptobirokrasi, pejabat yang kompeten dan memiliki integritas justru disingkirkan dan dipaksa keluar dari sistem, karena menjadi ancaman terhadap stabilitas sistem birokrasi yang korup itu (brain drain).
Dampak merusak manajemen ASN demikian sungguh luar biasa. Reformasi birokrasi berjalan lambat dan distortif, karena para kleptobirokrat memang tidak menginginkan dan tidak memiliki insentif untuk melakukan perubahan substansial ke arah yang lebih baik. Dalam birokrasi yang korup seperti ini, pemekaran organisasi yang tidak perlu, birokratisasi (red tape), serta pemborosan dan kebocoran anggaran menjadi patologi organisasi yang merusak. Organisasi yang dijalankan oleh para birokrat yang korup dan tidak kompeten itu tentu saja berakibat timbulnya pelayanan publik dan kinerja pemerintahan yang buruk, serta tidak tercapainya tujuan program dan kebijakan pemerintah. 
Karena itu, langkah penyelamatan mendesak harus dilakukan terhadap manajemen ASN. Terobosan besar yang cukup revolusioner sebenarnya sudah dilakukan oleh DPR, yaitu dengan mengajukan usul inisiatif Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). Kali ini kita harus mengapresiasi DPR untuk tindakannya yang reformis. 
Namun, seperti yang sudah saya duga, RUU ASN ini mendapat resistansi yang kuat dari sebagian birokrasi pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah sudah beberapa kali menunda pembahasan RUU ini. "Kami sebenarnya sudah menargetkan, saat paripurna terakhir masa sidang pertama, RUU ASN disahkan. Tapi ternyata molor lagi," kata Hakam Naja, anggota DPR, kecewa (Detik.com, 28 Oktober 2012).
Beberapa pemikiran saya diadopsi dalam RUU ASN, di antaranya seleksi terbuka pejabat eselon I dan II oleh suatu lembaga independen, calon pejabat eksekutif pemerintah bisa dari kalangan swasta, dan bawahan dapat menilai kinerja atasannya (Jurnal Negarawan, November 2009). Namun RUU ASN masih perlu diperbaiki. Keanggotaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebaiknya terdiri atas lima orang yang memiliki reputasi, kompetensi, integritas, dan nonpartisan. Mereka terdiri atas wakil pemerintah, akademisi, tokoh masyarakat, praktisi, dan NGO. Anggota KASN dipilih oleh panitia seleksi yang kredibel untuk kemudian disahkan oleh Presiden.
Seleksi calon pejabat eselon I dan II dilakukan oleh konsultan independen yang diakreditasi oleh KASN. Syarat integritas dan antikorupsi merupakan kriteria utama. Untuk calon pejabat eselon I, lima terbaik diseleksi (wawancara) oleh KASN untuk dipilih tiga terbaik dan diserahkan kepada menteri dan kepala lembaga user. Menteri kemudian memilih dua terbaik untuk diserahkan ke Presiden. Sebagai kepala eksekutif tertinggi, Presiden menetapkan pejabat terpilih. Proses yang sama dilakukan terhadap calon pejabat eselon II, namun prosesnya cukup sampai seleksi tingkat menteri. 
Untuk memperkuat akuntabilitas kinerja, pejabat eksekutif bekerja berdasarkan kontrak kinerja dan pakta integritas. Jadi, masa jabatannya tidak sampai pensiun. Kontrak kinerja pejabat eselon I berlaku untuk 4 tahun, sedangkan eselon II selama 3 tahun. Bagi pejabat yang berkinerja baik (capaian kinerjanya di atas 80 persen) dapat langsung ikut seleksi kembali ke tahap wawancara di KASN. 
Keputusan rekrutmen dan promosi pejabat oleh K/L yang melanggar Undang-Undang ASN, dan keputusan pimpinan yang memberhentikan pejabat tanpa alasan sah sebelum habis masa kontrak, dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. 
Dalam waktu satu tahun setelah Undang-Undang ASN berlaku, semua pejabat eselon I dan II harus diseleksi kembali menurut proses dan kriteria Undang-Undang ASN. Karena tidak menerapkan merit system yang sesungguhnya, banyak pejabat saat ini yang sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi untuk menjabat. Bila mengacu syarat kemampuan bahasa Inggris sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 43/Kep/2001, saya memperkirakan sekitar 65 persen pejabat eselon I dan II tidak memenuhi syarat. Persentase itu lebih besar bila dikaitkan dengan syarat kompetensi, kinerja, dan integritas. Namun pejabat yang memiliki integritas dan kinerja di atas 80 persen dapat langsung mengikuti seleksi di KASN.
RUU ASN sesungguhnya merupakan inti dari reformasi birokrasi. Karena itu, Presiden harus turun langsung untuk mengatasi perlawanan birokrasi. Bila tahun ini RUU ASN gagal disahkan, masyarakat akan semakin yakin bahwa pemerintah memang tidak bersungguh-sungguh dalam melakukan reformasi birokrasi. ●

1 komentar:

  1. makasih info............kita tunggu kunjungan baliknya ke link kita

    BalasHapus