Mengapa reformasi
birokrasi di Indonesia berjalan lambat dan kurang substansial? Faktor
apakah yang menjadi penghambat pemberantasan korupsi birokrasi sistemik dan
penyebab kinerja pemerintahan yang buruk? Pertanyaan-pertanyaan ini masalah
mendasar yang perlu dikaji untuk mengatasi tata kelola pemerintahan yang
buruk (bad governance) di
Indonesia.
Salah satu faktor
signifikan yang menyebabkan bad
governance itu adalah buruknya manajemen aparatur sipil negara (ASN).
Manajemen ASN sekarang memberikan kewenangan diskresional yang besar kepada
pimpinan kementerian dan lembaga/KL untuk merekrut dan mempromosikan
pegawai. Tanpa kerangka akuntabilitas dan transparansi institusional yang
kuat, manajemen demikian membuka peluang yang besar bagi praktek KKN. Formasi
dan jabatan sudah menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar
(korupsi) jabatan (office for sale).
Sudah menjadi rahasia
umum, untuk menjadi pegawai negeri dan mendapatkan promosi jabatan,
seseorang harus memberikan uang dalam jumlah yang besar kepada pejabat yang
berwenang. Di banyak pemerintah daerah, misalnya, seseorang harus membayar
sekitar Rp 100 juta untuk diterima menjadi pegawai negeri. Dalam beberapa
kasus, untuk menjadi perwira Polri dan TNI, seseorang menyetorkan sejumlah
uang kepada oknum pejabat. Dari hasil penelitian saya, terungkap seorang
hakim dan jaksa harus memberikan upeti kepada oknum pimpinan agar
dimutasikan atau dipromosikan ke wilayah yang "basah".
Karena itu, jangan heran
bila Anda menemukan kantor pemerintah yang pegawainya terdiri atas saudara,
kaum kerabat, dan teman sang pejabat. Jangan aneh pula bila Anda mendapati
unit kerja pemerintah di mana para staf dan pejabatnya berasal dari daerah
dan etnis tertentu. Anda juga tidak perlu terkejut bila seorang yang tidak
kompeten dipromosikan, karena ternyata dia adalah selingkuhan sang atasan.
Manajemen ASN sekarang
ini juga membuka peluang politisasi birokrasi. Pengangkatan pejabat di
birokrasi pemerintahan pusat dan daerah terkadang dilakukan berdasarkan
afiliasi politik kepada partai politik sang menteri atau kepala daerah. Di
banyak pemerintah daerah, birokrasi dijadikan mesin uang melalui
proyek-proyek pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan personal dan
partai politik sang kepala daerah. Menjelang pilkada, biasanya dilakukan
mutasi dan rotasi pejabat besar-besaran untuk melancarkan kecurangan dan
politik uang sang inkumben.
Dalam manajemen ASN
berdasarkan patronase korup (spoil
system) seperti ini, integritas, kompetensi, dan kinerja bukanlah
pertimbangan utama dalam mempromosikan pejabat. Sebaliknya, dalam
kleptobirokrasi, pejabat yang kompeten dan memiliki integritas justru
disingkirkan dan dipaksa keluar dari sistem, karena menjadi ancaman
terhadap stabilitas sistem birokrasi yang korup itu (brain drain).
Dampak merusak manajemen
ASN demikian sungguh luar biasa. Reformasi birokrasi berjalan lambat dan
distortif, karena para kleptobirokrat memang tidak menginginkan dan tidak
memiliki insentif untuk melakukan perubahan substansial ke arah yang lebih
baik. Dalam birokrasi yang korup seperti ini, pemekaran organisasi yang
tidak perlu, birokratisasi (red tape),
serta pemborosan dan kebocoran anggaran menjadi patologi organisasi yang
merusak. Organisasi yang dijalankan oleh para birokrat yang korup dan tidak
kompeten itu tentu saja berakibat timbulnya pelayanan publik dan kinerja
pemerintahan yang buruk, serta tidak tercapainya tujuan program dan
kebijakan pemerintah.
Karena itu, langkah
penyelamatan mendesak harus dilakukan terhadap manajemen ASN. Terobosan
besar yang cukup revolusioner sebenarnya sudah dilakukan oleh DPR, yaitu
dengan mengajukan usul inisiatif Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil
Negara (RUU ASN). Kali ini kita harus mengapresiasi DPR untuk tindakannya
yang reformis.
Namun, seperti yang sudah
saya duga, RUU ASN ini mendapat resistansi yang kuat dari sebagian
birokrasi pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah sudah beberapa kali
menunda pembahasan RUU ini. "Kami sebenarnya sudah menargetkan, saat
paripurna terakhir masa sidang pertama, RUU ASN disahkan. Tapi ternyata
molor lagi," kata Hakam Naja, anggota DPR, kecewa (Detik.com, 28
Oktober 2012).
Beberapa pemikiran saya
diadopsi dalam RUU ASN, di antaranya seleksi terbuka pejabat eselon I dan
II oleh suatu lembaga independen, calon pejabat eksekutif pemerintah bisa
dari kalangan swasta, dan bawahan dapat menilai kinerja atasannya (Jurnal
Negarawan, November 2009). Namun RUU ASN masih perlu diperbaiki.
Keanggotaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebaiknya terdiri atas lima
orang yang memiliki reputasi, kompetensi, integritas, dan nonpartisan.
Mereka terdiri atas wakil pemerintah, akademisi, tokoh masyarakat,
praktisi, dan NGO. Anggota KASN dipilih oleh panitia seleksi yang kredibel
untuk kemudian disahkan oleh Presiden.
Seleksi calon pejabat
eselon I dan II dilakukan oleh konsultan independen yang diakreditasi oleh
KASN. Syarat integritas dan antikorupsi merupakan kriteria utama. Untuk
calon pejabat eselon I, lima terbaik diseleksi (wawancara) oleh KASN untuk
dipilih tiga terbaik dan diserahkan kepada menteri dan kepala lembaga user.
Menteri kemudian memilih dua terbaik untuk diserahkan ke Presiden. Sebagai
kepala eksekutif tertinggi, Presiden menetapkan pejabat terpilih. Proses
yang sama dilakukan terhadap calon pejabat eselon II, namun prosesnya cukup
sampai seleksi tingkat menteri.
Untuk memperkuat
akuntabilitas kinerja, pejabat eksekutif bekerja berdasarkan kontrak
kinerja dan pakta integritas. Jadi, masa jabatannya tidak sampai pensiun.
Kontrak kinerja pejabat eselon I berlaku untuk 4 tahun, sedangkan eselon II
selama 3 tahun. Bagi pejabat yang berkinerja baik (capaian kinerjanya di
atas 80 persen) dapat langsung ikut seleksi kembali ke tahap wawancara di
KASN.
Keputusan rekrutmen dan
promosi pejabat oleh K/L yang melanggar Undang-Undang ASN, dan keputusan
pimpinan yang memberhentikan pejabat tanpa alasan sah sebelum habis masa
kontrak, dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dalam waktu satu tahun
setelah Undang-Undang ASN berlaku, semua pejabat eselon I dan II harus
diseleksi kembali menurut proses dan kriteria Undang-Undang ASN. Karena
tidak menerapkan merit system yang sesungguhnya, banyak pejabat saat ini
yang sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi untuk menjabat. Bila mengacu
syarat kemampuan bahasa Inggris sesuai dengan Keputusan Kepala Badan
Kepegawaian Negara Nomor 43/Kep/2001, saya memperkirakan sekitar 65 persen
pejabat eselon I dan II tidak memenuhi syarat. Persentase itu lebih besar
bila dikaitkan dengan syarat kompetensi, kinerja, dan integritas. Namun
pejabat yang memiliki integritas dan kinerja di atas 80 persen dapat
langsung mengikuti seleksi di KASN.
RUU ASN sesungguhnya merupakan inti dari reformasi
birokrasi. Karena itu, Presiden harus turun langsung untuk mengatasi
perlawanan birokrasi. Bila tahun ini RUU ASN gagal disahkan, masyarakat
akan semakin yakin bahwa pemerintah memang tidak bersungguh-sungguh dalam
melakukan reformasi birokrasi. ●
|
makasih info............kita tunggu kunjungan baliknya ke link kita
BalasHapus