KHITAN anak perempuan ialah mengambil sebagian kecil
dari kulit atau meng hilangkan selaput (jaldah/colum/practinur) yang menutupi
klitoris, bagian atas tidak boleh berlebihan, seperti memotong atau melukai
klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dharar. Oleh sebab itu,
proses mengkhitan anak perempuan diserahkan kepada dokter atau yang lainnya
yang sudah mengikuti pelatihan untuk khitan tersebut.
Pendapat para imam empat mazhab bahwa hukum khitan
perempuan berkisar antara wajib, sunah, dan makrumah.
Makrumah adalah sunah. Sunah ditafsirkan sebagian ulama
sebagai `sunnah al Fithrah' bukan lawan dari wajib, sunah dan mubah. Oleh
sebab itu, berdosa bila meninggalkannya. Adapun yang menafsirkan sebagai
sunah (salah satu Ahkam al Khamsah) boleh ditinggalkan dan dianjurkan untuk
mengerjakannya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa
tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan, sebagai berikut:
Pertama, status hukum khitan perempuan.
1. Khitan, baik bagi laki-laki mau pun perempuan, termasuk fitrah (aturan)
dan syiar Islam.
2. Khitan terhadap perempuan ada lah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah
satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Kedua, hukum pelarangan khitan terhadap perempuan
Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan
syariah, karena khitan baik bagi laki-laki, maupun perempuan, termasuk
fitrah (aturan) dan syiar Islam.
Ketiga, Batas, atau cara khitan perempuan.
1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput
(jaldah/colum/pracputium) yang menutupi klitoris.
2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan seperti
memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dharar.
Keempat, rekomendasi.
1. Meminta kepada pemerintah cq Kementerian Kesehatan untuk menjadikan
fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan/peraturan/regulasi tentang masalah
khitan perempuan.
2. Menganjurkan kepada pemerintah cq Kementerian Kesehatan untuk memberikan
penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khitan
perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini.
Sehubungan dengan masalah ini, telah ada perumusan
kesehatan RI No 1636/MENKES/PER/XI/2010 yang memberikan perlindungan kepada
perempuan tentang pelaksanaan khitan/sunat perempuan harus dilaku kan
sesuai dengan ketentuan agama, standar pelayanan, dan profesi untuk
menjamin keamanan dan keselama tan perempuan yang disunat/dikhitan.
Prof Dr Muhammad Hasan al Hafny dan Prof Dr Shadiq
Muhammad Shadiq, ahli penyakit kulit pada Fakultas Kedokteran Al Azhar
Mesir, mengatakan, kalau mengkaji dengan kajian ilmiah terhadap realitas
tentang adanya khitan, kita temukan hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan harus dimulai dengan dorongan nafsu seksual atau keinginan,
khususnya pada perempuan. Dalam tahapan itu penting sekali dalam menyiapkan
kondisi atau rangsangan kepada perempuan. Hendaklah memban tunya untuk
memenuhi kewajiban yang positif bersama suaminya. Hal itu sesuai dengan
Hadis Rasulullah SAW kepada Ummu `Athiyah tukang khitan perempuan di
Madinah, “Lakukan khitan dan jangan berlebihan, karena kalau tidak
berlebihan (hanya memotong sedikit), dapat menjadikan wajah ceria dan
membahagiakan suami (HR al Hakim, al Thabarany, al Baihaqy, dan Abi
Nu'aim).
Berkenaan dengan khitan perempuan yang telah disebutkan,
Dr Ahmad al Majdub, sosiolog dari al Markaz al Qaumy pada Buhuts al
Qanuniyah wal Jinaiyah Mesir, mengatakan ia menentang keras pelarangan
khitan perempuan. Sesungguhnya pada khitan itu banyak kegunaan dan
manfaatnya dan tidak mendatangkan dharar (selama mengikuti petunjuk Nabi
SAW). Khitan melindungi perempuan dari penyimpangan seks, khususnya pada
masa sekarang. Dakwaan orang-orang yang menentang khitan adalah dakwaan
yang batil, dengan tujuan untuk menyerang Islam secara keseluruhan.
Dr Ali Akbar berpendapat wanita yang tidak berkhitan
dapat menimbulkan penyakit bagi suaminya bila bersetubuh karena klitorisnya
mengeluarkan smegma yang berbau busuk dan dapat menjadi perangsang
timbulnya kanker pada zakar lelaki dan kanker pada leher rahim wanita. Di
dalamnya hidup hama dan virus yang menyebabkan kanker itu.
Perhimpunan Etika Kedokteran Mesir menegaskan, dari segi
medis, tidak ada satu pun bahaya khitan bagi perempuan jika khitannya itu
dilaksanakan tenaga medis yang ahli.
Manfaat khitan dari tinjauan syariah ialah mengikuti
syariat Allah dan sunah Nabi Muhammad SAW. Thaharah (suci), kebersihan yang
dapat mencegah infeksi saluran kencing, menstabilkan syahwat, menetapkan
pengganti yang sesuai untuk memerangi adat kebiasaan yang tidak sesuai
syariah. Yang mendatangkan dharar, meninggikan syiar ibadah, bukan adat
istiadat, memelihara aspek sosial, dan kejiwaan yang timbul akibat
meninggalkan khitan.
Melarang khitan perempuan di anggap melanggar HAM
perempuan karena menghalanginya untuk mengikuti ajaran syariat Islam dan
menjaga kesucian serta kebersihan dalam memelihara kesehatannya.
Pemaksaan pemaknaan khitan perempuan sebagai bentuk
pelanggaran merupakan tindakan inkonstitusional, provokatif, dan justru ber
tentangan dengan ketentuan UU No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
UU itu secara eksplisit menegaskan pelaksanaan ketentuan
dalam konvensi itu wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang
meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan norma-norma keagamaan.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan UUD 1945
sebagai sumber hukum nasional memberikan jaminan bahwa pelaksanaan
ketentuan konvensi itu sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki
bangsa Indonesia. Salah satu norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti
secara luas oleh masyarakat Indonesia ialah khitan perempuan.
Dari
situ, dapat dipahami bahwa segala upaya pelarangan terhadap hal yang
diyakini sebagai norma agama adalah inkonstitusional. Melawan hukum dan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling asasi, yakni hak
beragama dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar