Pengantar :
KONTROVERSI soal praktik sunat
pada perempuan muncul kembali pekan lalu. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi
menyatakan Peraturan Menkes No 1636/2010 merupakan peraturan terkait
dengan praktik sunat perempuan, yang diperuntukkan demi melindungi
keselamatan perempuan. Bila ditinjau dari sisi medis, praktik khitan
perempuan tidak ada manfaatnya sama sekali. Itu justru menempatkan nyawa
anak perempuan dalam bahaya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menyatakan khitan merupakan bagian dari ajaran agama Islam dan termasuk
bagian ibadah, yang sangat dianjurkan bagi umat Islam, baik laki-laki
maupun perempuan. Untuk mengetahui lebih jauh pembahasan soal praktik sunat
pada perempuan tersebut, kami munculkan tulisan dari dua pakar hukum Islam,
yang juga merupakan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
MASYARAKAT di berbagai belahan dunia sejak lama berupaya
menghapuskan sunat perempuan. Sikap itu juga diikuti sejumlah negara Islam
seperti Mesir, Suriah, Turki, Maroko, dan Tunisia. Demikian pula Indonesia
sejak 2004 melalui Kementerian Kesehatan mengeluarkan peraturan tentang
larangan praktik medikalisasi sunat perempuan. Sunat perempuan tidak
mendatangkan kemaslahatan sedikit pun, terutama dari aspek medis.
Mesir menetapkan UU yang melarang keras pelaksanaan
sunat perempuan. UU tersebut merujuk ke Fatwa Ulama Mesir Tahun 2007 yang
melarang pelaksanaan sunat perempuan. Demikian pula di tingkat
internasional, PBB melalui Pasal 12 CEDAW (Konvensi PBB Tahun 1979 tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) secara tegas
melarang praktik sunat perempuan dan menganggapnya sebagai bentuk nyata
kekerasan terhadap perempuan.
Akan tetapi, Peraturan Menteri Ke sehatan No 1636 Tahun
2010 tentang Sunat Perempuan memicu timbulnya kontroversi. Peraturan
tersebut jelas bertolak belakang dengan keputusan sebelumnya dan menyalahi
sikap PBB dan WHO serta sebagian besar dunia Islam.
Kecenderungan menguatnya praktik sunat perempuan di
Indonesia terjadi setelah era reformasi seiring dengan menguatnya gerakan
Islamisme di Indonesia pascajatuhnya Orde Baru.
Mengapa Muncul Peraturan Menteri
Kesehatan?
Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 2010 menegaskan sunat
perempuan ialah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan
klitoris tanpa melukai klitoris. Selanjutnya, menjelaskan secara rinci
bagaimana melakukan sunat perempuan secara benar sesuai dengan aturan
kesehatan serta siapa yang berhak melakukannya.
Problemnya, peraturan itu justru menyebutkan sunat ialah
tindakan menggores vagina dengan benda tajam dan bahkan memotong klitoris.
Praktik menggores dan memotong klitoris justru merupakan hal yang asing
bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat
melakukan sunat perempuan dengan cara simbolis, antara lain dengan memoles
sepotong kunyit pada klitoris. Lalu, siapa yang dapat memastikan
pelaksanaan sunat perempuan dilakukan sesuai dengan aturan?
Sebenarnya, peraturan itu dibuat dengan niat baik untuk
mencegah praktik sunat perempuan yang membahayakan sehingga perlu semacam
panduan, bukan sebagai instruksi agar sunat perempuan dilakukan. Akan
tetapi, peraturan tersebut dipahami keliru di masyarakat. Peraturan
tersebut dibaca sebagai arahan atau imbauan agar melakukan sunat perempuan.
Fatalnya , sejumlah RS dan klinik men jadikan peraturan tersebut sebagai
rujukan untuk mewajibkan sunat perempuan.
Hal itu sungguh memprihatinkan mengingat sejumlah
penelitian mengungkapkan, dalam praktiknya, sunat perempuan lebih banyak
menimbulkan bencana (dharar) bagi
perempuan sehingga perempuan mengalami gangguan sepanjang hayat, terutama
terkait dengan hak dan kesehatan reproduksinya.
Sejumlah hasil observasi terhadap sunat perempuan di
Indonesia menunjukkan telah terjadi pemotongan genitalia sekitar 75% kasus
dan dari kasus tersebut, banyak perempuan mengeluhkan timbulnya rasa sakit
yang parah. Sunat dapat mengakibatkan perem puan tidak bisa menikmati
hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan, dari sisi psikologi seksual,
sunat dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan,
rasa rendah diri, dan tidak sempurna. Secara fisik, dampak langsung sunat
perempuan antara lain perdarahan, shocked,
tertahannya urine, dan luka pada jaringan sekitar vagina. Perdarahan dan
infeksi itu pada kasus tertentu akan berakibat fatal dan tidak sedikit
membawa risiko berupa kematian.
Melacak Sejarah
Istilah sunat dalam bahasa Arab dibedakan antara
laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki disebut khitan dan secara
etimologis berarti memotong. Berbagai buku fikih klasik menjelaskan khitan
ialah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi hasyafah
atau kepala penis. Adapun sunat perempuan dalam bahasa Arab disebut khifadh
ber asal dari kata khafdh, yang artinya memotong ujung klitoris.
Sejumlah studi menyimpulkan sunat perempuan dilakukan
pertama kali di Mesir jauh sebelum Islam lahir dan sebagai bagian dari
upacara adat yang diperuntukkan bagi perempuan, khususnya mereka yang telah
beranjak dewasa. Tradisi sunat perempuan di Mesir timbul akibat pengaruh
budaya Romawi.
Tradisi sunat perempuan justru tidak umum dilakukan di
wilayah asal turunnya Islam, yaitu Arab Saudi. Demikian pula wilayah Islam
lainnya seperti Suriah, Libanon, Iran, Irak, Yordania, Maroko, Aljazair,
dan Tunisia. Bahkan, Turki yang bermazhab Hanafi tidak mengenal praktik
sunat perempuan.
Berbagai Alasan
Umumnya umat Islam yang melakukan sunat perempuan
menyebut alasan keagamaan. Mereka meyakini sunat merupakan kewajiban dalam
Islam walau secara historis berasal dari tradisi luar Islam. Sunat dianggap
sebagai proses mengislamkan. Jika tidak disunat, tidak diperkenankan
membaca Alquran dan melakukan salat lima waktu. Pemahaman tersebut sungguh
keliru karena keislaman dan keimanan seseorang tidak ada hubungannya dengan
sunat. Bahkan, sunat tidak termasuk pembicaraan tentang rukun Islam dan rukun
iman.
Selain alasan keagamaan, ada banyak mitos seputar
praktik sunat perempuan. Misalnya, sunat diyakini untuk menjaga
kelangsungan identitas budaya. Alasan lain lagi, untuk mengontrol
seksualitas dan fungsi reproduksi perempuan. Masyarakat meyakini sunat
membuat gairah seksual perempuan dapat dikontrol. Perempuan dilarang
memiliki hasrat seksual yang menggebu-gebu karena akan membahayakan
masyarakat.
Perspektif Islam
Islam ialah agama yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya nilai kesetaraan semua
manusia dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Karena itu, Islam
mengajarkan kenikmatan seksual merupakan hak bagi perempuan dan laki-laki,
hak kedua pihak, istri dan suami.
Penting dicatat, tidak ada perintah Alquran untuk
melakukan sunat perempuan. Argumen teologis yang digunakan kelompok prosu
nat perempuan bukan berasal dari Alquran, melainkan diambil dari kitab
fikih, dan itu pun hanya didasarkan pada sejumlah hadis lemah (dhaif),
antara lain hadis Ahmad ibn Hanbal, “Khitan (sunat) itu dianjurkan untuk
laki-laki (sunah) dan hanya merupakan kebolehan (makrumah) bagi perempuan.“
Walau dalam hadis itu disebutkan sebagai suatu
kebolehan, dalam banyak hadis lain ditegaskan, kalaupun seseorang mau
melakukannya, lakukanlah dengan tidak melukai vagina. Ahmad ibn Hanbal
bahkan menyampaikan hadis lain yang mengatakan praktik sunat tidak
dilakukan pada masa Rasul SAW.
Islam datang untuk membawa kemaslahatan bagi seluruh
alam semesta (rahmatan lil alamin),
terlebih untuk semua manusia: perempuan dan laki-laki. Praktik sunat
perempuan dalam faktanya lebih banyak menimbulkan kemudaratan karena
dilakukan secara sadis dan tidak manusiawi. Kaidah hukum Islam secara tegas
mengatakan, kalau suatu perbuatan lebih banyak mendatangkan mudarat
(keburukan, bahaya dan bencana) daripada kemaslahatan (kebaikan, faedah dan
manfaat), perbuatan itu dinilai makruh dan harus ditinggalkan.
Landasan
hukumnya sangat jelas, yakni kaidah hukum Islam berbunyi: la dharara wa la dhirar (segala
bentuk tindakan yang mengakibatkan kemudaratan dan kerusakan harus
dihapuskan). Pelaksanaan sunat perempuan harus dihentikan karena tidak
memberikan manfaat medis sedikit pun bagi perempuan. Itu bahkan berpotensi
merusak organ tubuh perempuan dan mengganggu fungsi reproduksi. Wallahu a'lam bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar