Kelangkaan dan
terungkapnya kasus dugaan suap impor daging sapi baru-baru ini hanya
sebagian dari cermin karut-marut politik pangan Indonesia.
Sebagai negara agraris dengan sumber daya
alam melimpah, pemenuhan berbagai kebutuhan pangan, termasuk daging sapi,
harus ditutup dari impor. Kelangkaan daging sapi yang membuat harga daging
melonjak—tertinggi di dunia saat ini—dan dibiarkan berlarut-larut membuat
berbagai pihak kelimpungan.
Pedagang daging sapi, penjual bakso,
pengelola warung makan, dan ibu-ibu rumah tangga, semuanya menjerit. Para
pedagang daging sapi di sejumlah daerah bahkan sempat mogok berjualan.
Beberapa bulan lalu, masyarakat juga sempat dibuat waswas dengan kabar
ditemukannya daging sapi yang dioplos dengan daging babi hutan untuk
pembuatan bakso di Jakarta. Tingginya harga daging telah memicu tindakan
aji mumpung, termasuk permainan impor. Masih jadi pertanyaan apakah
swasembada yang ditargetkan tercapai 2014 akan kembali direvisi setelah
pernah mengalami revisi dua kali pada 2007 dan 2010.
Unik
Dibanding negara lain, konsumsi daging
sapi bangsa Indonesia masih sangat rendah, yakni 1,87 kilogram per kapita
per tahun. Dari konsumsi yang rendah itu dibutuhkan 484.000 ton daging sapi
per tahun. Jumlah itu 85 persen dipenuhi dari produksi domestik dan sisanya
impor. Kondisi seperti ini, selain membuat lemah posisi tawar, juga membuka
peluang bagi masuknya jenis penyakit ternak baru.
Menurut data sensus sapi dan kerbau yang
dilakukan BPS pada 2011, saat ini jumlah sapi potong dan kerbau kita
mencapai 14,8 juta ekor. Angka itu jauh lebih besar dari perkiraan
sebelumnya 12,6 juta ekor. Lalu, mengapa gonjang-ganjing dan kelangkaan
daging masih juga terjadi?
Paling tidak ada dua hal yang menjadi
pangkal permasalahan. Pertama, data BPS tersebut dihimpun dari jutaan
peternak yang tersebar di seluruh Tanah Air. Puluhan juta ekor sapi yang
terdata berada di kandang para peternak kecil yang lokasinya tersebar di
seluruh pelosok negeri. Semua itu bukan merupakan ternak yang sewaktu-waktu
bisa dipotong dalam kondisi darurat kelangkaan daging (ready stock).
Kedua, secara sosiokultural, industri
peternakan sapi rakyat negeri ini memiliki sifat unik. Khususnya di
masyarakat Jawa, ternak sapi dan kerbau dianggap bukan komoditas. Mereka
menyebut sapi dan kerbau peliharaannya dengan terminologi ”rojo koyo”. Secara harfiah,
terminologi ini berarti tabungan. Mereka tidak akan menjual sapi atau
kerbau meski harga jual di pasaran sedang tinggi, kecuali jika mereka
terdesak kebutuhan keluarga yang tak ada sumber lain lagi untuk menutupnya.
Akurasi Data
Agar target swasembada daging sapi 2014
dapat tercapai, upaya yang harus dilakukan adalah perombakan sistem
manajemen dan produksi daging sapi. Swasembada daging sapi dan kerbau
dimaksudkan untuk menyediakan daging sapi kerbau dalam negeri minimal 90
persen dari kebutuhan, serta maksimal 10 persen dipenuhi dari impor.
Langkah mendesak adalah pembenahan
akurasi data jumlah ternak sapi dan kerbau yang dikaitkan dengan
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas kebutuhan
daging. Sukses swasembada daging 2014 bergantung pada usaha pembibitan,
industri feedlot dan penggemukan, industri rumah potong hewan, serta
industri pengolahan berbasis daging sapi.
Saat ini masih banyak usaha ternak sapi
potong belum menerapkan cara beternak yang efektif sehingga produktivitas
dan reproduksinya belum maksimal. Melalui sentuhan teknologi budidaya,
seperti inseminasi buatan dan teknologi transfer embrio yang intensif,
serta dukungan kebijakan yang konsisten, program swasembada daging pasti
dapat kita capai.
Keterlibatan swasta sangat dibutuhkan
untuk mendukung program swasembada daging 2014. Hal itu antara lain melalui
usaha impor sapi bakalan untuk digemukkan minimal 60 hari sebagai pendukung
program tunda potong sapi jantan lokal dan pengurangan laju pemotongan
betina produktif lokal. Perlu pula integrasi rumah potong hewan dengan
produksi dan pengolahan daging agar diperoleh daging segar yang penuhi
kaidah ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal).
Salah satu pelajaran dari kasus
kelangkaan daging sapi sekarang ini adalah pentingnya diversifikasi pangan
sumber protein hewani. Dari biaya produksi, daging sapi relatif lebih mahal
dibandingkan sumber protein hewani lain. Dari kandungan gizi, kita punya
banyak sumber protein hewani yang lebih murah dan berkualitas, seperti
daging unggas, telur, ikan, serta ternak ruminansia lain seperti kambing.
Indonesia pernah menyandang status eksportir sapi di 1970-an. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar