DALAM ilmu politik,
khususnya terkait dengan pembentukan koalisi pemerintahan, kita sering
mendengar istilah `melompat ke gerbong kereta' (jump on the bandwagon) untuk menggambarkan politisi atau partai
politik (parpol) yang bergabung ke dalam koalisi saat koalisi sudah
berjalan. Contoh paling konkret ialah bagaimana Partai Golkar pada Pemilu
Presiden 2004 dan 2009 bergabung ke dalam koalisi pemerintahan SBY-JK dan
SBY-Boediono tanpa kerja keras politik setelah koalisi politik itu
memenangi pemilu presiden/ wakil presiden langsung.
Judul artikel ini
ingin mengibaratkan sesuatu yang lain, yaitu adanya gerbong kereta api di
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang menaikkan dan
menurunkan beberapa anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi.
Sejak reformasi
bergulir, khususnya setelah empat kali amendemen atas UUD 1945, DPR RI
menjadi institusi yang kuat, kalau tidak dapat dikatakan superbody, yang
menentukan segalanya di negeri ini, melebihi kekuasaan eksekutif atau legislative heavy.
Pada 1978, seorang
wartawan Australia David Jenkins pernah mengatakan, “There is no military dual functions in Indonesia. In reality there
is only one function, that ABRI is running everythings.“ (Tak ada
dwifungsi militer di Indonesia. Dalam kenyataan, hanya ada satu fungsi,
yaitu ABRI menjalankan segalanya.) Dengan menyadur kalimat David Jenkins,
menurut saya, tidak ada tiga fungsi DPR, yaitu perwakilan, budgeting, dan
pengawasan---yang ada hanya satu fungsi, yaitu DPR mengatur segalanya!
Bila kita mengatakan
betapa berkuasanya DPR jika dibandingkan dengan pemerintah, teman-teman di
DPR selalu menampiknya. Mereka berdalih pemerintahlah yang masih menguasai
berbagai sumber di negeri ini dan memiliki otoritas untuk mengatur negeri
ini. Akan tetapi, coba lihat betapa DPR tetap mengegolkan pemekaran di
berbagai daerah walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan
moratorium pemekaran daerah. Betapa berkuasa DPR dalam proses fit and proper test untuk berbagai
macam jabatan, dari calon pejabat di Bank Indonesia, calon pejabat di Bank
Indones Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, hakim agung,
Komnas HAM, sampai ke calon duta besar RI.
Proses legislasi di
DPR juga menempatkan mereka lebih kuat daripada pemerintah. Itu daripada
pemerintah. Itu bukan karena DPR memiliki hak inisiatif, melainkan karena
RUU yang sudah disetujui pemerintah dan DPR, tanpa tanda tangan presiden
pun, sudah sah menjadi UU.
Kekuasaan lain yang
dimiliki DPR, khususnya badan anggaran (banggar) dan komisi-komisi di DPR,
ialah dalam menentukan anggaran pembangunan baik untuk institusiinstitusi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Karena itu, jangan heran jika tidak sedikit isu berkembang dan kebenarannya
sudah terbukti bahwa banyak ang gota DPR mengguna gota DPR mengguna kan
tangan-tangan kekuasaan mereka untuk meraih keuntungan baik bagi diri
sendiri maupun untuk partai.
Gerbong Korupsi
Gerbong korupsi di
DPR tidak mengenal asal usul partai, aliran politik, atau bahkan agama dari
para individu yang melakukannya. Uang tidak mengenal ideologi dan agama.
Politisi itu bisa berasal dari Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa,
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, atau bahkan dari Partai Keadilan
Sejahtera. Hingga saat ini tampaknya belum ada kasus yang menimpa anggota
Partai Hanura dan Partai Gerindra.
Mereka seakan
berkelompok melakukan korupsi tanpa malu-malu atau takut tertangkap tangan
oleh KPK. Penangkapan dan penahanan oleh KPK seakan tidak membuat para
anggota DPR itu jera dan takut untuk melakukan korupsi. Itu bisa dilihat
dari betapa masih terus terjadi beberapa orang dari anggota banggar yang
diciduk KPK dan masuk bui.
Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah sering pula melapor kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menginformasikan kepada masyarakat
mengenai jumlah anggota Banggar DPR yang semakin hari semakin banyak
melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Belum lagi anggota komisi-komisi
yang memiliki kekuasaan untuk menentukan anggaran atau jabatan di berbagai
institusi negara dan BUMN.
Sudah banyak bahasan
mengenai bagaimana korupsi tersebut dilakukan para anggota parpol di DPR
yang tentunya dilakukan tidak hanya secara berkelompok di DPR, tetapi juga
bekerja sama dengan oknum juga bekerja sama dengan oknum pemerintah dan swasta. Namun, hanya
sedikit yang mengungkap bagaimana jaringan korupsi terjadi di kementerian
yang menterinya berasal dari par pol dengan pimpinan/anggota/simpatisan
parpol.
Terungkapnya
jaringan korupsi yang menyeret Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Luthfi Hasan Ishaaq ialah salah Ishaaq ialah sala satu contoh beta pa
korupsi ang gota parpol tidak hanya terjadi di parlemen, tetapi juga di kementerian.
Bila kasus terakhir itu terkait dengan kuota impor daging sapi, kasus
sebelumnya menyeret pengusaha, orang yang dekat dengan menteri yang berasal
dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan pejabat di Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, terkait dengan anggaran pembangunan prasarana
transmigrasi di Papua Barat.
Penyebab Korupsi
Tidak sedikit
analisis pakar menyebutkan korupsi di parpol-parpol terjadi karena biaya
politik makin hari semakin mahal! Setiap jadi karena biaya politik semakin
mahal! Setiap anggota parlemen, dari partai apa pun, memiliki kewajiban
untuk menyerahkan sebagian pendapat annya kepada parpol sebagai bagian dari
iuran wajib politikus.
Sistem pemilu
proporsional dengan daftar urut terbuka tidak hanya mengandung unsur
positif daam menentukan kursi bagi anggota DPR atau DPRD, tetapi juga
dampak negatif berupa pertarungan politik yang ama dahsyat di antara caleg
yang berasal dari partai yang sama.
Siapa yang memiliki power lebih, baik dalam bentuk massa
pendukung, penggembira, maupun saksi, akan memenangi kursi di parlemen.
Untuk itu, uang merupakan salah satu basis kekuasaan yang dimainkan
politisi.
Beberapa politikus
sudah mengungkapkan dalam acara Mata Najwa di Metro TV, beberapa waktu
lalu, mengenai berapa uang yang mereka gelontorkan untuk mendapatkan kursi
di DPR. Jumlahnya sungguh tak masuk akal, yaitu berkisar Rp3 miliar-Rp6
miliar! Bandingkan dengan pendapatan anggota DPR yang sekitar Rp50 juta-Rp100
juta (posisi sebagai anggota atau pimpinan dewan) per bulan dikali 12 bulan
selama lima tahun. Akan diperoleh nilai sama, yaitu Rp3 miliar-Rp6 miliar!
Itu belum termasuk pengeluaran untuk mempertahankan `komunikasi' dengan
para konstituen di daerah pemilihan. Bila ditambah dengan itu, angka
tersebut tentunya akan bertambah lagi.
Tidak semua anggota
DPR berlatar belakang pengusaha atau memiliki uang lumayan besar sebagai
modal awal. Beberapa dari mereka juga ada yang berutang ke bank atau
lembaga keuangan lainnya. Karena itu, jangan kaget ketika menjadi anggota
DPR, ia bekerja ekstra keras untuk membayar utang-utangnya dan menabung
untuk maju kembali pada pemilu legislatif berikutnya.
Penegakan Hukum Dan Politisasi
Kita mafhum betapa
kaget, kesal, dan marah anggota PKS ketika mendengar atau menonton TV
mengenai penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK. Partai
berlambang bulan sabit dan padi itu selalu menggembar-gemborkan slogan
sebagai partai yang bersih, peduli, dan profesional. Sampai digelandangnya
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ke Gedung KPK dan kemudian ke rumah
tahanan, tidak ada anggota PKS yang dibui karena kasus korupsi.
Presiden baru PKS
Anis Mat ta, dengan tangan mengepal, mata menantang, dan suara yang amat
lantang, menya takan ada konspirasi poli k untuk menghancurkan PKS.
Runtutan kalimat yang mirip dengan pernyataan PKS ketika Suripto (man tan
Sekjen Kemenhut) dan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin diberitakan
Tempo terlibat kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian pada Maret
2011. Secara kebetulan, Menteri Pertanian Suswono adalah kader PKS.
Pernyataan politik dilontarkan Anis Matta hanya beberapa menit setelah
Majelis Syuro PKS mene tapkannya sebagai presiden baru PKS, menggantikan
Luthfi Hasan Ishaaq. Anis juga menuduh ada tirani kekuasaan dalam
pemberantasan korupsi terkait dengan kasus Luthfi .
Pernyataan Presiden
PKS Anis Matta itu didasari cara pandang politik seolah-olah ada seorang
tiran yang kekuasaannya melebihi hukum. Dengan kata lain, kata-kata dari
penguasa berada di atas hukum itu sendiri. Penguasa ingin agar PKS
dipermalukan atau kewibawaan politik mereka dirontokkan--bukan hanya Partai
Demokrat yang kini kehilangan kewibawaan politik--akibat kasus-kasus
korupsi yang melanda beberapa anggota PKS.
Cara pandang itu
tentunya bertolak belakang dengan tradisi lain dalam ilmu politik yang
memandang negara harus diatur hukum. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang
bulu dan itu yang sedang dilakukan KPK.
Para petinggi PKS
terus-menerus sesumbar mengenai adanya konspirasi, tiran, atau
ketidakadilan dalam menangani mantan presiden PKS. Mereka membandingkan
dengan bagaimana KPK menangani mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng.
Cara pandang itu
bukan mustahil malah semakin menjerumuskan PKS ke situasi politik yang lebih
buruk lagi.
Selama ini PKS telah
menunjukkan sistem internal yang amat baik dalam menangani kasus-kasus yang
menerpa anggota mereka. Mereka melakukan langkah konkret pada kesempatan
pertama anggota yang diduga melakukan pelanggaran, yakni menyatakan diri
mundur dari jabatan di partai atau di DPR. Selanjutnya, majelis syuro
partai menggelar rapat untuk mencari pengganti anggota tersebut.
Sebagai warga negara
yang baik, kita harus tetap memegang teguh asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam
kasus yang menimpa mantan presiden PKS tersebut, sampai ia dinyatakan
pengadilan terbukti melakukan korupsi. Namun, pada saat bersamaan, kita
juga mafhum kekuasaan itu cenderung korup seperti dalil Lord Acton. Orang-orang
besar yang amat terhormat sekalipun dapat saja berbuat salah atau berbuat
nista. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar