Senin, 04 Februari 2013

Pendidikan Hak Asasi Manusia


Pendidikan Hak Asasi Manusia
Agus Wibowo ;   Pemerhati Pendidikan Tinggal di Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Februari 2013



INDONESIA dikenal sebagai bangsa yang kaya akan keberagaman suku, bangsa, budaya, bahasa, agama, dan sebagainya. Kekayaan multikultural itu mestinya menjadi aset bagi pembangunan bangsa. Sayangnya, kemajemukan justru lebih sering diwarnai hiruk-pikuk konflik dan dilumuri tetesan darah anak bangsa.

Benar, sepanjang sejarah bangsa ini, konflik multikultural yang berlatar ras, etnik, ekonomi, agama, sosial, dan politik kerap terjadi di Indonesia, terutama dalam 10 tahun terakhir. Konflik multikultural itu tidak hanya telah mencederai kemerdekaan, nilai-nilai keadilan, persamaan martabat, hak hidup bebas, hak menyembah beda Tuhan, dan sebagainya. Iklim saling curiga, syak wasangka, ketidakpercayaan, kemarahan, dan kekecewaan lebih sering membalut di samping derita politik yang tidak ada habisnya.

Pada kondisi demikian, pendidikan hak asasi manusia (HAM) mendesak untuk dihidupkan lagi. Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud dengan pendidikan HAM? Bagaimana strategi implementasinya di sekolah?

HAM merupakan hak yang dimiliki dan diperoleh semenjak manusia terlahir ke dunia (given). Hak tersebut bersifat asasi, umum (universal), dan dimiliki setiap manusia tanpa mengindahkan perbedaan kelamin, status sosial, agama, harta benda, dan sebagainya. Berdasarkan konsep HAM itu, setiap manusia berhak mengembangkan cita-cita, bakat (potensi), dan kemampuan yang dimiliknya.

Kesepakatan universal tentang nilai-nilai HAM mulanya tertuang dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948. Momentum itulah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari HAM Sedunia. Selanjutnya, PBB melalui Dewan HAM menginstruksikan kepada negara-negara anggota untuk menegakkan HAM warga mereka tanpa pandang bulu.

Upaya penegakan HAM selanjutnya mendapat dukungan penuh dari negara-negara penganut demokrasi yang kebetulan telah memiliki pemerintahan maju dan kondusif. Inggris, misalnya, diterima parlemen pada 1968 dengan perjuangan Bill of Rights mereka. Prancis juga melakukan upaya yang sama dengan Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen (Pernyataan Hak Asasi dan Warga Negara) pada 1789.
HAM Pendidikan
Di Indonesia, upaya penegakan HAM tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU itu disebutkan, setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Berdasarkan kedua UU itu, tugas negara ialah melindungi, memberikan kesempatan, dan memfasilitasi hak asasi pendidikan atas warganya. Pendek kata, setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkukuh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi.

HAM pendidikan mestinya tidak saja dilihat dari sisi kualitas, tetapi juga akses terbuka dengan mudah dan murah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Selama ini hanya golongan berada yang mampu mengenyam pendidikan, sedangkan masyarakat miskin hanya mampu melihat dari luar. Fenomena demikian sering kita tonton dalam berbagai film layar kaca; rakyat miskin hanya mampu berpikir bagaimana bisa bertahan hidup, bukan bagaimana bisa sekolah apalagi kuliah. Pendidikan, dengan meminjam istilah Denny Ardiansyah (2009), telah menjelma menjadi barang `amat mewah (luks)' yang hanya bisa dinikmati kaum berduit. Seakan di setiap pintu sekolah atau kampus kita tertempel kalimat, `Hanya untuk orang kaya!'

Rendahnya ketersediaan akses itu memicu terampasnya HAM pendidikan masyarakat miskin. Padahal, pendidikan merupakan aset penting sebuah bangsa. Pendidikan berkualitas akan serta-merta melahirkan kemajuan dan peradaban bangsa. Sebaliknya, pendidikan yang buruk akan berimplikasi negatif bagi jalannya roda pemerintahan dan ketersediaan partisipasi publik yang cerdas.

Dihidupkan Lagi?

Di sisi lain, kesadaran generasi muda khususnya peserta didik akan HAM perlu lebih ditingkatkan lagi. Benar selama ini pengetahuan tentang HAM sudah tersosialisasi lewat pelajaran PKn atau tayangan di media massa. Namun, hal itu belum cukup memberikan pencerahan bagi siswa akan urgensi HAM. Pengetahuan akan HAM yang baik hanya bisa didapat optimal melalui pendidikan di sekolah. Pengetahuan akan HAM yang memadai akan menimbulkan kesa daran peserta didik terhadap hak-hak mereka, orang lain, masyarakat, dan bangsa.

Sebenarnya, pada 2006 lalu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menerbitkan buku pendidikan berbasis HAM. Pendidikan berbasis HAM menjadi penting bagi negara kita yang memiliki pengalaman panjang dengan pelanggaran HAM, diskriminasi ras dan etnik, dan minim toleransi terhadap perbedaan. 

Sayangnya, pendidikan HAM belum menjadi sesuatu yang penting bagi pemerintah kita. Akibatnya, pendidikan HAM seperti kehilangan gaungnya lagi lantaran tertutupi oleh kebijakan-kebijakan baru di bidang pendidikan.

Pendidikan HAM (human rights education), menurut Ministry of Education (MoE) Taiwan (2003), ialah mendidik setiap individu untuk dapat memperjuangkan hak-haknya sekaligus untuk dapat menghargai hak-hak orang lain. Sang individu diharapkan dapat membangun sebuah budaya HAM dan peduli dengan pembangunan sosial, budaya, politik masyarakatnya, serta mengarahkan pembangunan tersebut ke keadilan.

Pendapat lain menyebutkan pendidikan HAM merupakan sebuah human rights learning, yaitu suatu proses untuk memodifikasi pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan yang telah eksis melalui pengalaman, praktik, dan latihan-latihan. Adapun pendidikan merupakan proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan seperti sekolah; atau dalam arti luas merupakan proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat (Pimple, 2005).

Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran HAM mengacu ke pedagogi kritis dan transformatif. Pedagogi kritis, tulis Tilaar (2005), ialah pendekatan pendidikan yang melihat masyarakat, pendidikan, atau persekolahan sebagai sebuah arena-arena tempat berlangsungnya kontestasi kekuasaan dan kontrol.

Kendati tidak bersifat netral dalam kontestasi tersebut, pedagogi kritis mempunyai komitmen untuk memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. Dalam kaitan tersebut, pedagogi kritis ialah pedagogi transformatif yang bertujuan mengubah proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan.

Mengacu ke pedagogi kritis sebagaimana diuraikan, maka sasaran pendidikan ataupun pembelajaran HAM ialah pada transformasi sosial, baik pada level individu maupun kelompok. Transformasi di sini mencakup perubahan dalam aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, perspektif, dan kesadaran diri (Heru Susetyo, 2009). Adapun nilai dan prinsip dasar yang mendasari pendidikan HAM antara lain persamaan, keadilan, kemerdekaan, martabat manusia, universalitas, inalienability (tak dapat dikecualikan), indivisibility (tak dapat dipisahkan), dan nondiskriminasi.

Implementasi pendidikan HAM di sekolah, sebagaimana pendidikan karakter dan pendidikan antikorupsi, dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya: 1) terintegrasi dalam pembelajaran dan 2) terintegrasi dalam pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Pendidikan HAM yang terintegrasi dalam proses pembelajaran berarti pengenalan nilai-nilai, kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai HAM ke dalam tingkah laku peserta didik melalui proses pembelajaran; baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilainilai HAM dan menjadikannya perilaku. Adapun pendidikan HAM yang terintegrasi dalam kegiatan pengembangan diri berarti berbagai hal terkait dengan HAM diimplementasikan dalam kegiatan pengembangan diri melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti keagamaan, seni budaya, KIR, dan kepramukaan.

Dalam struktur kurikulum di sekolah kita, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pendidikan HAM, yaitu pendidikan agama dan PKn. Selain itu, integrasi pendidikan HAM pada mata-mata pelajaran, selain pendidikan agama dan PKn yang dimaksud, lebih kepada memfasilitasi internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Pengenalan nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahanbahan ajar tetap diperkenankan, tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan atau diutamakan ialah penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan di dalam proses pembelajaran.

Para guru sebagai aktor utama pembelajaran harus lebih mendalami hal-hal terkait dengan HAM. Tujuannya agar mereka lebih paham mengenai HAM serta bisa merancang model pembelajaran HAM yang menarik dan tidak menjemukan. Sudah saatnya pendidikan HAM dihidupkan lagi di sekolah-sekolah kita. Kita berharap generasi muda mendatang tidak gagap akan HAM sehingga apa yang menjadi hak mereka tidak terampas begitu saja oleh penguasa tanpa bisa berbuat apa-apa. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar