Korupsi merupakan
patologi sosial-politik sebuah bangsa modern yang perlu dipahami setiap
orang. Sebab setiap jiwa memiliki potensi untuk melakukan korupsi, kapan
saja dan dimana saja. Karena itu, di sini persoalan korupsi perlu dikaji
kembali dari aspek psikologis.
Profesor Komaruddin
Hidayat dalam sebuah tulisan mengungkap pentingnya memahami kembali
psikologi korupsi. Sebab, menurut Komaruddin, salah satu sifat bawaan
manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain).
Apalagi, korupsi
merupakan cara cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras dan
membanting tulang. Secara psikologis, ungkap Komaruddin, seseorang akan
mudah tergerak untuk melakukannya. Terlebih lagi dengan uang banyak di
tangan dari hasil korupsi, maka segera terbayang berbagai kesenangan dan
kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara instan dan konstan.
Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang
akan dibuat susah segalanya.
Dalam konteks
inilah, para pakar psikologi korupsi memberikan informasi kenapa seseorang
memiliki motivasi untuk bertindak koruptif. Beberapa motivasi berkorupsi
yang dilakukan selama ini diantaranya yaitu, pertama, karena kebutuhan yang
mendesak (corruption by need).
Prilaku ini biasanya muncul karena kebutuhan dan keperluan yang membuatnya
harus memutuskan untuk berprilaku korupsi. Kedua, dari rasa keserakahan,
muncullah corruption by greed.
Ketiga, dari kecelakaan, terjadilah corruption
by accident. Keempat, dari kesengajaan, muncullah corruption by design.
Semua motivasi di
atas, umumnya bermula dari sebuah kebutuhan, lalu menjadi kebiasaan yang
disengaja dan akhirnya menjadi petaka. Dalam konteks ini, semua pihak tentu
perlu terus berusaha mencegah prilaku korupsi sejak dini. Paling tidak,
cara yang bisa dilakukan dengan berusaha mendeteksi sejak dini melalui
pemahaman psikologi korupsi di atas.
Sigmund Freud, pakar
psikolog ternama, pernah menjelaskan panjang lebar tentang elemen
kepribadian manusia yang perlu diketahui. Situs belajar psikologi.com
memberikan penjelasan dan ulasan psikoanalitik Freud tersebut yang terbagi
menjadi tiga, yaitu; id, ego dan superego.
Id, sebagaimana
terurai dalam situs tersebut, merupakan satu-satunya elemen kepribadian
yang hadir sejak lahir. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi
psikis yang didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk
mewujudkan kepuasan segera dari semua keinginan dan kebutuhan.
Sedangkan ego yaitu komponen kepribadian yang
bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego
berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan
dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Biasanya, ego bekerja
berdasarkan prinsip realitas yang berusaha untuk memuaskan keinginan id
dengan cara-cara yang realistis dan kondisi sosial yang sesuai.
Sementara superego adalah komponen terakhir
untuk mengembangkan kepribadian. Superego adalah aspek kepribadian yang
menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh
dari kedua orang tua dan masyarakat. Di sinilah, peran superego sebagai
pedoman untuk membuat penilaian. Di sinilah, membincang psikologi korupsi,
juga bisa dikaitkan tentang kebijakan anggaran.
Percaya atau tidak,
hampir semua program akan berjalan mulus bila ada anggarannya. Termasuk
soal pemberantasan korupsi. Korupsi bisa ditangani secara maksimal bila ada
dukungan dana yang besar. Di sinilah, pertarungan psikoanalisis Freud
tentang id, ego dan superego diuji. Apalagi, id keinginan dimana seharusnya
banyaknya jumlah kasus yang ditangani sebanding dengan anggaran yang
diberikan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa "budaya publik"
sering berbicara bila ada biaya, maka urusan lancar.
Informasi dari
laporan FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), soal alokasi anggaran
pemberantasan korupsi yang diberikan kepada Kejaksaan Agung sebagai pihak
berwenang mengusut kasus korupsi selain Komisi Pemberantasan Korpsi (KPK),
mengalami penurunan kuantitas dibanding tahun sebelumnya.
Uchok Sky Khadafi,
koordinator investigasi dan advokasi FITRA, menilai anggaran yang diberikan
kepada KPK dan Kejagung terkesan ada kenaikan, padahal sebetulnya ada
penurunan. Misal saja, alokasi anggaran untuk kejaksaan agung pada 2012
sebesar Rp14,5 miliar, dan pada 2013 menjadi Rp18,2 miliar. Lalu anggaran
KPK pada 2012 sekitar 21,8 miliar menjadi 33,3 miliar di 2013. Sekilas,
anggaran tersebut tampaknya ada kenaikan, tetapi tidak sebanding dengan
jumlah kasus yang ditangani mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, pra
penuntutan, dan penuntutan atau sampai penuntutan.
Penurunan juga akan
dialami kejaksaan tinggi di seluruh Indonesia pada 2013 ini memperoleh
alokasi anggaran sebesar Rp 14,9 miliar, sebelumnya Rp 31,4 miliar. Ini
belum lagi kasus di KPK dan lembaga hukum terkait lainnya yang memerlukan
dana besar.
Dari potret anggaran
di atas, adakah harapan korupsi di Indonesia bakal "mereda" pada
tahun 2013 ini? Tentu kita semua tidak boleh kehilangan optimisme. Karena
itu, berdoa diiringi usaha dengan harapan ke depan lebih baik dari kemarin,
penting dilakukan kita semua. Agar tercipta keseimbangan antara id, ego dan
superego sebagaimana yang terurai dalam analisis psikologis Sigmund Freud.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar