Selasa, 05 Februari 2013

Psikologi Korupsi


Psikologi Korupsi
Choirul Mahfud ;   Direktur Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya
SUARA KARYA, 04 Februari 2013

  
Korupsi merupakan patologi sosial-politik sebuah bangsa modern yang perlu dipahami setiap orang. Sebab setiap jiwa memiliki potensi untuk melakukan korupsi, kapan saja dan dimana saja. Karena itu, di sini persoalan korupsi perlu dikaji kembali dari aspek psikologis.
Profesor Komaruddin Hidayat dalam sebuah tulisan mengungkap pentingnya memahami kembali psikologi korupsi. Sebab, menurut Komaruddin, salah satu sifat bawaan manusia itu selalu mendekati dan mengejar kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain).
Apalagi, korupsi merupakan cara cepat mendapatkan kekayaan tanpa mesti kerja keras dan membanting tulang. Secara psikologis, ungkap Komaruddin, seseorang akan mudah tergerak untuk melakukannya. Terlebih lagi dengan uang banyak di tangan dari hasil korupsi, maka segera terbayang berbagai kesenangan dan kenikmatan lain yang dapat dibeli dengan uang secara instan dan konstan. Mereka berpandangan bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang akan dibuat susah segalanya.
Dalam konteks inilah, para pakar psikologi korupsi memberikan informasi kenapa seseorang memiliki motivasi untuk bertindak koruptif. Beberapa motivasi berkorupsi yang dilakukan selama ini diantaranya yaitu, pertama, karena kebutuhan yang mendesak (corruption by need). Prilaku ini biasanya muncul karena kebutuhan dan keperluan yang membuatnya harus memutuskan untuk berprilaku korupsi. Kedua, dari rasa keserakahan, muncullah corruption by greed. Ketiga, dari kecelakaan, terjadilah corruption by accident. Keempat, dari kesengajaan, muncullah corruption by design.
Semua motivasi di atas, umumnya bermula dari sebuah kebutuhan, lalu menjadi kebiasaan yang disengaja dan akhirnya menjadi petaka. Dalam konteks ini, semua pihak tentu perlu terus berusaha mencegah prilaku korupsi sejak dini. Paling tidak, cara yang bisa dilakukan dengan berusaha mendeteksi sejak dini melalui pemahaman psikologi korupsi di atas.
Sigmund Freud, pakar psikolog ternama, pernah menjelaskan panjang lebar tentang elemen kepribadian manusia yang perlu diketahui. Situs belajar psikologi.com memberikan penjelasan dan ulasan psikoanalitik Freud tersebut yang terbagi menjadi tiga, yaitu; id, ego dan superego.
Id, sebagaimana terurai dalam situs tersebut, merupakan satu-satunya elemen kepribadian yang hadir sejak lahir. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis yang didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk mewujudkan kepuasan segera dari semua keinginan dan kebutuhan.
Sedangkan ego yaitu komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Biasanya, ego bekerja berdasarkan prinsip realitas yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan kondisi sosial yang sesuai.
Sementara superego adalah komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian. Superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat. Di sinilah, peran superego sebagai pedoman untuk membuat penilaian. Di sinilah, membincang psikologi korupsi, juga bisa dikaitkan tentang kebijakan anggaran.
Percaya atau tidak, hampir semua program akan berjalan mulus bila ada anggarannya. Termasuk soal pemberantasan korupsi. Korupsi bisa ditangani secara maksimal bila ada dukungan dana yang besar. Di sinilah, pertarungan psikoanalisis Freud tentang id, ego dan superego diuji. Apalagi, id keinginan dimana seharusnya banyaknya jumlah kasus yang ditangani sebanding dengan anggaran yang diberikan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa "budaya publik" sering berbicara bila ada biaya, maka urusan lancar.
Informasi dari laporan FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), soal alokasi anggaran pemberantasan korupsi yang diberikan kepada Kejaksaan Agung sebagai pihak berwenang mengusut kasus korupsi selain Komisi Pemberantasan Korpsi (KPK), mengalami penurunan kuantitas dibanding tahun sebelumnya.
Uchok Sky Khadafi, koordinator investigasi dan advokasi FITRA, menilai anggaran yang diberikan kepada KPK dan Kejagung terkesan ada kenaikan, padahal sebetulnya ada penurunan. Misal saja, alokasi anggaran untuk kejaksaan agung pada 2012 sebesar Rp14,5 miliar, dan pada 2013 menjadi Rp18,2 miliar. Lalu anggaran KPK pada 2012 sekitar 21,8 miliar menjadi 33,3 miliar di 2013. Sekilas, anggaran tersebut tampaknya ada kenaikan, tetapi tidak sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, dan penuntutan atau sampai penuntutan.
Penurunan juga akan dialami kejaksaan tinggi di seluruh Indonesia pada 2013 ini memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp 14,9 miliar, sebelumnya Rp 31,4 miliar. Ini belum lagi kasus di KPK dan lembaga hukum terkait lainnya yang memerlukan dana besar.
Dari potret anggaran di atas, adakah harapan korupsi di Indonesia bakal "mereda" pada tahun 2013 ini? Tentu kita semua tidak boleh kehilangan optimisme. Karena itu, berdoa diiringi usaha dengan harapan ke depan lebih baik dari kemarin, penting dilakukan kita semua. Agar tercipta keseimbangan antara id, ego dan superego sebagaimana yang terurai dalam analisis psikologis Sigmund Freud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar