Kamis, 30 Juni 2016

Diplomasi Baru Laut Tiongkok Selatan

Diplomasi Baru Laut Tiongkok Selatan

Makmur Keliat ;   Pengajar Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UI
                                                         KOMPAS, 30 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagaimana sebaiknya Indonesia harus menanggapi proses hukum Laut  Tiongkok Selatan yang kini  tengah berlangsung di Permanent Court of Arbitration?  Seperti kita ketahui Filipina telah mengajukan permohonan arbitrase terhadap klaim Tiongkok di Laut  Tiongkok Selatan (LTS) pada Januari 2013.  Ketentuan Pasal 287 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) memang memberikan ruang bagi Filipina untuk memilih salah satu dari empat mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa maritim. Salah satu dari mekanisme itu adalah melalui Permanent Court of Arbitration (PCA).

Proses hukum sepihak?

Keseriusan Filipina untuk menyelesaikan kasus   ini tampak dari dokumen setebal 4.000 halaman yang disampaikan ke PCA. Dalam dokumen itu, Filipina telah menjelaskan secara detail bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran terhadap batas maritim Filipina. Tanggapan Tiongkok sudah bisa diduga. Negara itu menolak untuk mengakui permohonan Filipina ke PCA.

Melalui Position Paper, yang dipublikasikan pada Desember 2014, terdapat setidaknya tiga argumen utama yang telah dikemukakan Tiongkok. Pertama, Tiongkok menganggap permasalahan di LTS menyangkut kepemilikan pulau, bukan terkait persinggungan batas wilayah laut (maritime delimitation). Karena itu, Tiongkok memandang bahwa PCA tidak memiliki yurisdiksi dalam penyelesaian sengketa kedaulatan di LTS.

Kedua, Tiongkok menyebutkan terdapat kesepakatan di antara kedua negara untuk tidak membawa masalah LTS kepada institusi dispute settlement yang memiliki karakter wajib (compulsory). Dalam Position Paper tahun 2014 poin Nomor 58 itu, Tiongkok lebih jauh menyebutkan bahwa sengketa maritim di antara Tiongkok dan negara-negara tetangganya akan diselesaikan melalui mekanisme negosiasi dan konsultasi langsung.

Ketiga, Tiongkok berpandangan bahwa penyelesaian melalui proses hukum hanya dapat dilakukan jika dilandasi oleh asas kesepakatan (the principle of consent) dari kedua pihak yang bersengketa. Sebagaimana tercantum dalam Position Paper tahun 2014 poin Nomor 76, Tiongkok menyatakan bahwa karena negara itu tidak berpartisipasi dalam proses hukum yang tengah berlangsung, Tiongkok memiliki landasan untuk tidak mengakui keputusan yang nantinya dibuat PCA. Intinya Tiongkok berpandangan bahwa Filipina melalui PCA telah melakukan proses hukum sepihak.

Saat ini permohonan Filipina masih menunggu keputusan final yang diperkirakan akan dibuat pada akhir bulan Juni atau awal Juli 2016. Meskipun belum memberikan keputusan final, PCA pada bulan Oktober 2015 telah menyatakan beberapa hal berikut.

Pertama, PCA memiliki yurisdiksi hukum untuk memproses kasus yang diajukan Filipina.  Ketidakhadiran Tiongkok disebutkan tidak menghentikan proses hukum yang tengah berjalan. Kedua, PCA menegaskan bahwa Filipina memiliki hak untuk mengajukan kasus ini karena Filipina merupakan salah satu negara yang menandatangani UNCLOS. Tindakan Filipina untuk mengajukan kasus ini tidak melanggar norma hukum internasional apa pun. 

Ketiga, dokumen-dokumen tentang kesepakatan mekanisme regional yang telah dibuat Tiongkok dan ASEAN untuk penanganan kasus LTS disebutkan tak memiliki sifat yang wajib dan mengikat secara hukum, serta tak tercantum sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketayang disarankan UNCLOS.

Diplomasi baru?

Walau keputusan PCA belum keluar, hampir bisa dipastikan bahwa kawasan LTS akan semakin dinamis pada waktu yang akan datang. Sebagian besar dinamika itu akan ditentukan oleh tanggapan yang akan diberikan Tiongkok terhadap keputusan PCA. Ada tiga rangkaian tanggapan yang kemungkinan akan diberikan Tiongkok.

Pertama, Tiongkok secara verbal akan tetap menolak keputusan PCA. Tanggapan ini hampir bisa dipastikan mengingat dari sejak awal Tiongkok tidak mengakui proses hukum PCA. Kedua, Tiongkok akan menunjukkan perilaku yang lebih asertif. Tindakan-tindakan untuk menunjukkan adanya pendudukan efektif Tiongkok terhadap kepulauan yang dipersengketakan dan  berikut seluruh aktivitas maritimnya di sekitar wilayah itu akan semakin meningkat.

Ketiga, Tiongkok kemungkinan akan memberlakukan air defense identification zone (ADIZ) di LTS. Hal ini, misalnya telah diperlihatkan Tiongkok di Laut Tiongkok Timur untuk menyikapi sengketa Pulau Diaoyu/Senkaku. Keempat, melakukan economic statecraft, menggunakan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan-tujuan non-ekonomi bagi negara-negara yang terlibat di sekitar LTS. 

Di tengah-tengah situasi ini, gagasan tentang kebutuhan diplomasi baru di LTS tampaknya memang terasa sangat mendesak. Muatan diplomasi baru ini sebaiknya mengandung beberapa elemen berikut.

Pertama, tak terlalu terfokus pada kegiatan pembangunan norma (norms building), tetapi lebih pada pembangunan skenario (scenario building).  Alasannya sangat sederhana. Indonesia bersama ASEAN telah menghasilkan beberapa instrumen normatif untuk mengatasi sengketa LTS, seperti Declaration on the South China Sea (1992), Declaration on Conduct  of the Parties in the South China Sea  (2002), Guidelines  for the implementation of the DOC (2011), dan ASEAN Six principles  on the South China Sea (2012).

Namun, seluruh proses pembangunan norma ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa LTS. Bahkan PCA menganggap bahwa seluruh inisitiaf pembangunan norma tidak dianggap mengikat secara hukum.

Kedua, diplomasi baru itu perlu memuat argumen bahwa LTS bukanlah laut eksklusif. Aspek strategis LTS tak terbatas pada littoral states di LTS itu. Terdapat kepentingan strategis dari extra- regional powers, yang tak dapat diabaikan, seperti Amerika Serikat dan sekutunya terhadap kawasan ini. Sengketa LTS harus diterima memiliki dimensi kompetisi global antara AS dengan Tiongkok. Dalam konteks kompetisi strategis ini Indonesia harus bisa menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanannya dengan kedua negara tersebut.     

 Ketiga, diplomasi baru itu sebaiknya memuat beberapa  rancangan arsitektur regional yang diproyeksikan kemungkinan terjadi, setidaknya dalam kurun waktu dua dasawarsa ke depan. Bagaimana posisi Indonesia dalam berbagai proyeksi arsitektur regional itu haruslah tampak dengan jelas dalam diplomasi baru itu.  Indonesia harus ikut mengambil inisiatif dan berperan aktif dalam menata arsitektur yang diinginkan. Pertanyaan sederhana yang harus dijawab, misalnya adalah apakah ASEAN masih memadai? Apakah tidak lebih baik memfokuskan pada kerangka regional lainnya yang lebih besar?


Fitri dengan Mengalami-Nya

Fitri dengan Mengalami-Nya

Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
                                                         KOMPAS, 30 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jika Anda bersama keluarga atau teman-teman makan di restoran untuk makan bersama secara prasmanan, apakah Anda akan memesan masakan dengan porsi sesuai dengan jumlah anggota rombongan? Mungkin hampir tidak pernah.

Kita akan pesan porsi lebih dari kebutuhan atau porsi jumlah rombongan sehingga kerap di usai makan bersama beberapa sajian tersisa, bahkan cukup banyak. Lalu beberapa orang dengan "sukarela" coba menghabiskan walau mungkin perutnya sudah penuh.

Begitu pula jika kita menyelenggarakan buka bersama atau halalbihalal, makanan akan dipesan porsi yang dilebihkan. Bukankah begitu dengan jumlah pakaian Anda? Mungkin Anda sudah memiliki koleksi yang bisa dipakai bertukar ganti untuk seminggu, tetapi Anda akan membeli lagi, hingga mungkin bisa untuk berganti-ganti untuk dua minggu atau sebulan. Bukankah banyak wanita masih terus memburu butik, toko baju, atau sale! walau koleksinya sudah satu lemari.

Kita adalah manusia dan masyarakat yang berlebih. Tetapi bukan dalam arti pahala, sosial maupun religius, atau harta dan kuasanya. Namun, berlebih dalam mengonsumsi, tepatnya berlebih dalam memenuhi hasrat atau libido biologis dan mental kita. Inilah satu gaya atau cara hidup yang saya sebut eksesif, yang sesungguhnya menjadi akibat lanjut dari logika, praktik dan penetrasi industri berbasis ideologi kapitalistik.

Bukankah kita kerap mendengar terjadi antrean yang begitu panjang di sebuah toko saat diumumkannya new release, new series, atau new trend dari produk industri tertentu? Mungkin Anda pernah mengisi salah satu titik dari antrean itu.

Sebuah riset yang dilakukan perusahaan gawai ternama dunia, mengumumkan hasil risetnya di Indonesia, ternyata jumlah pemilik gawai modern di negeri ini mencapai lebih dari 330 juta. Dengan masih adanya sebagian penduduk yang tidak mampu membeli atau mengakses perangkat terkini itu, bisa jadi negeri ini memiliki angka statistik dua gawai per kapita. Di mana lebih dari 50 persen dari pemilik itu mengganti gawainya sekali dalam setahun, bukan karena rusak, melainkan karena ketinggalan zaman oleh new edition tadi.

Hidup eksesif itu tentu bisa kita amati di tiap item yang ada di tubuh kita, atau di dalam rumah kita. Gaya dan perilaku itu pun bisa menerobos keluar dari hal-hal yang material dan konsumtif, tetapi juga pada jabatan, kekuasaan, keuntungan, ketenaran, dan seterusnya.

Kelebihan yang "kurang"

Dalam arus kuat semacam tsunami halus itu, kita bersama masih menjalankan satu perintah agama untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan. Satu jenis ibadah yang kita mafhumi maksudnya, antara lain untuk mengerem atau mengontrol nafsu dan ambisi kita yang eksesif itu. Namun, sayang, dalam kenyataan hal yang bertentangan justru terjadi. Pengeluaran kita untuk Ramadhan-apalagi menjelang Lebaran (Idul Fitri)-membengkak berkali lipat, yang bahkan tunjangan hari raya (THR) pun tidak mampu mengatasinya sehingga kita pun berkejaran usaha sampingan kanan-kiri untuk mendapatkan "THR-THR" lain, bahkan dengan cara yang mengkhianati puasa itu sendiri.

Apa yang diajarkan puasa atau Ramadhan sebenarnya lebih dari sekadar mengerem atau mengontrol, katakanlah mencukupkan kebutuhan kita. Justru Islam dan Nabi-nya yang mulia meminta dan mencontohkan untuk hidup yang "kurang". Artinya di bawah kecukupan. Jika kita biasa makan tiga-empat kali, plus jajan kanan-kiri, di bulan Ramadhan kita diminta hanya makan dua kali. Kita diajarkan mengurangi nafsu di balik pandangan, pendengaran, hingga tidur malam yang terlalu lelap dan lama.

Inilah sebuah imperasi personal yang juga sosial, kultural, dan spiritual untuk kita bisa menghadapi dan mengatasi kehidupan keras (akibat praktik industrial/kapitalisme di atas, misalnya) yang ternyata sudah diprediksi satu setengah milenium lalu itu. Dan, ternyata hidup kurang itu tidak mengurangi apa pun dari hidup yang biasa kita jalani selama ini. Hidup kurang akan membuat "pendapatan" kita pun menjadi mendapatkan lebihan.

Lebihan ini, secara masif, apalagi ditambah rezeki "tambahan Ramadhan" menjadi harta atau potensi yang luar biasa untuk, misalnya digunakan dengan tujuan-tujuan bermanfaat bagi lain orang (masyarakat). Mulai dari memberi infak, zakat, santunan, beasiswa, hingga turut membantu proses pembangunan dengan membeli saham, sukuk, obligasi negara atau bergotong royong membangun jembatan, tanpa menunggu DPRD mengalokasikannya dalam APBD. Atau sekurangnya menjadi simpanan masa depan anak, tanpa harus terjerat dalam skema rumit lembaga-lembaga keuangan.

Apa yang lebih dahsyat, nafsu eksesif untuk mendapatkan lebih dan lebih yang tidak dipraktikkan itu akan menciptakan ruang lebar bagi orang lain-yang lebih membutuhkan-untuk mengambil peluang atau rezeki itu. Bukan hanya pemerataan dan pemberdayaan publik yang terjadi, tetapi juga kesejahteraan kolektif yang kemudian menjadi efeknya. Bahkan ia berpotensi menjadi preseden di mana kesejahteraan kolektif itu diciptakan lebih oleh publik ketimbang kebijakan pemerintah/negara.

Di tingkat personal ia akan menciptakan kenyamanan batin dan pikiran karena kita telah melakukan sesuatu yang mulia. Bahkan mungkin melebihi apa yang dilakukan oleh para penguasa, petinggi, dan elite lainnya. Puasa jauh lebih dalam makna fungsi sosial, kultural, hingga spiritualnya.

Apa yang jauh lebih dahsyat lagi bisa kita dapat dari praktik ibadah di atas, peng-"kurang"-an apa yang kita ambil atau rebut (paksa atau tidak) dari kehidupan material itu akan mengangkat kita pada capaian imaterial yang lebih dalam di hati atau batin kita. Hidup kurang yang ternyata tak kurang itu segera memberi kita tidak hanya pemahaman, pengalaman, tetapi kedekatan pada hal-hal yang imaterial, baik itu hati nurani hingga hal-hal bersifat supranatural atau spiritual.

Sebagaimana diajarkan oleh banyak tradisi spiritual di mana pun, juga agama-agama di dunia, praksis hidup yang kurang menjadi semacam ritus atau proses kita mencuci diri. Membersihkan kotoran-kotoran atau kecenderungan-kecenderungan satanik dalam diri kita yang negatif dan destruktif. Apa yang dibersihkan sebenarnya adalah setapak jalan menuju kedalaman hati kita sendiri, yang selama ini berkelambu atau tertutup oleh layer-layer kotor dari perilaku, cara berpikir, sikap hidup kita yang penuh nafsu dan amarah.

Inilah sebenarnya inti jihad itu. Jihad adalah sebuah perjalanan, yang memang tidak mudah bahkan sulit sekali, tetapi sekali kita mampu menjalaninya dengan ikhlas dan istikamah, kita akan mendapat semacam terang (enlightment) karena jalan menuju hati yang ilahiah itu kini mulai terbuka. Jiwa dan pikiran pun mantap menjalaninya karena kenyamanan itu seperti siraman kesejukan dari gersang di batin kita yang begitu lama.

Hal itu terjadi jika sikap hidup kurang itu tak hanya dipraktikkan dalam Ramadhan. Ramadhan, menurut banyak kalangan, adalah sebuah latihan untuk hidup dengan amalan yang baik. Tapi kenapa latihan itu kita lakukan bertahun-tahun, puluhan bahkan selamanya dengan cara dan kualitas yang sama, tanpa terwujudnya peningkatan kesalehan, baik secara sosial maupun spiritual? Mungkin bagus sekali jika bertemu akhir Ramadhan kita mempraktikkan apa yang sudah kita latih. Islam pun akan hidup tidak dalam bunyi yang keras, apalagi membentak, yang dilantangkan jutaan pelantang suara, dalam slogan atau tawaran kesucian yang menyesatkan, tetapi dalam ketenangan yang mendamaikan, dalam pergolakan yang terjadi di dalam diri tiap umat, bukan di luarnya.

Aku fitri bersama-Nya

Masih ada yang lebih penting dari itu semua. Di hari-hari akhir puasa, saat menjelang Lebaran, praktik puasa di atas yang dijalani dengan ikhlas, istikamah, dan tawadu akan memberi kita sebuah saat atau momen di mana hidup kurang yang teguh, konsisten, dan ikhlas itu dapat "pelengkap" kekurangannya. Ia bukan satu hal yang bisa dilihat, didengar, apalagi dimaterialisasi bahkan oleh pikiran (logika).

Pelengkap itu adalah sebuah pengalaman monumental, di mana kita seakan mendapatkan cahaya yang tidak hanya menciptakan terang (bagi kegelapan jalan ke hati), bahkan karena saking terangnya ia seperti melenyapkan diri (eksistensi) kita. Kita mendapatkan momen untuk mengalami-Nya, bersama-Nya, dengan kesadaran kemanusiaan kita yang terintegrasi, tidak hanya akal, jiwa, batin, tetapi juga tubuh hingga kenyataan sosial kita. Kita menyatu-diri begitu kuatnya sehingga yang tinggal adalah sesuatu yang tak terlenyapkan, sesuatu yang juga ada dalam alam natur(al) hingga supranatural. Kita seperti hilang, tetapi sesungguhnya menyatu dengan semua itu.

Maka, Lebaran pun akan menjadi mudik yang sesungguhnya, secara spiritual, bukan sekadar kebiasaan atau tradisi meneguhkan kembali eksistensi kita yang dihancurkan (atau kita hancurkan sendiri) oleh kehidupan dan peradaban kota (modern). Lebaran akan menjadi momen yang "lebar", begitu lebarnya hingga kita tidak melihat batas-batasnya, tetapi kita penuh mengisinya. Lebaran pun menjadi "fitri" karena berkah dan hidayah-Nya yang memang melulu fitri berisi.

Kesadaran terbaik dari Idul Fitri seperti terurai di atas tercipta dan kita mafhum bahwa Dia sesungguhnya tidak pernah meninggalkan umat atau makhluknya. Dia selalu hadir, tanpa tempat tanpa waktu, di mana dan kapan saja, sehingga peluang untuk mengalami-Nya tidak hanya tersua hanya pada saat puasa dan Ramadhan. Tapi, ketika kita sudah meramadhankan setiap bulan, mempuasakan keiblisan kita, kita memiliki peluang untuk didatangi hidayah itu. Kita bisa mengalami-Nya, kapan saja dan di mana saja. Bahkan sesungguhnya Dia hadir dalam tiap inci dan tiap saat kehidupan kita. Namun, karena hidup kita dipepati hijab (layer), kita pun kehilangan peluang itu untuk mengalami-Nya, kita mengoleksi kegelapan jalan setapak menuju-Nya.

Maka, betapa indah Lebaran jika ia menjadi momen awal kita untuk mendapat tamu hidayah, karena kita sudah menjadi makhluk yang pantas untuk dihampiri utusan-Nya itu. Betapa luar biasa jika masyarakat kita mulai diisi manusia-manusia semacam itu, yang tidak pernah unjuk apa pun, apalagi unjuk rasa, kecuali unjuk amalan yang semata diabdikan pada manusia lain (masyarakat) dan secara langsung juga untuk-Nya.

Betapa cantik kau manusia jika tidak cuma berpikir atau berucap-apalagi berlagak-dengan simbol-simbol agama murahan, tetapi lebih berhati alias berbuat dengan nurani Islam yang terus belajar (iqra) semata untuk meninggikan keilahian dalam dirinya. Tidak perlu Ramadhan, maka kita akan menjumpai Lebaran dan kefitrian: kapan saja, di mana saja. Bahkan mungkin tanpa satu ayat pun kita lidahkan hanya untuk mendemonstrasikan keislaman kita. Islam sesungguhnya bukan dalam kata, tetapi dalam lakunya. Itulah Indonesia dan Islam yang kita damba: perkasa, teguh, luhur, dan penuh adab.

Puasa dan Kesadaran Resiprokal

Puasa dan Kesadaran Resiprokal

Fathorrahman Ghufron ;   Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga;  A'wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
                                                         KOMPAS, 30 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin, Imam Ghazali membagi tiga golongan orang yang melakukan ibadah puasa. Pertama, golongan awam (shaumul 'am), yaitu orang yang berpuasa sekadar menahan lapar dan dahaga. Kedua, golongan khusus (shaumul khas), yaitu orang yang berpuasa selain menahan lapar dan dahaga, juga menjaga mata, hidung, telinga, tangan, kaki, dan seluruh tubuh dari perilaku negatif. Ketiga, golongan paling khusus (shaumul khawashil khawash), yaitu orang yang menjalankan puasa seperti pada dua golongan di atas, tetapi juga menambatkan pikiran dan hatinya hanya kepada Allah.

Dalam kaitan ini, laku puasa seperti yang digambarkan Imam Ghazali tentu bergantung pada kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Orang yang meniatkan puasa sepenuh jiwa dan raga serta memasrahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah dimungkinkan akan masuk golongan khusus dan bahkan paling khusus.

Meski demikian, untuk menjalankan ibadah puasa dengan posisi dan tingkatan yang berada pada golongan khas ataupun khawasul khawas tidak serta-merta terjadi begitu saja. Masing-masing levelnya butuh proses dan penahapan yang dinamis. Dan, yang paling penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah bagaimana menempatkan diri kita secara resiprokal di antara orang-orang yang menjalani puasa, baik pada tingkatan awam maupun tingkatan apa pun. Tentu saja termasuk berpuasa di tengah masyarakat yang di antara mereka ada yang kurang peduli terhadap aturan main berpuasa, seperti makan-minum di siang  hari serta membuka warung.

Keragaman apresiasi

Di samping itu, dalam menjalani ibadah puasa terdapat keragaman apresiasi bagaimana masing-masing golongan menyiapkan dan menyikapinya. Pertama, bagi kelompok tertentu, baik dari golongan awam, khusus, dan paling khusus ada yang menyambut puasa Ramadhan dengan aneka macam ritus. Mulai yang bersifat intrinsik keagamaan hingga ekstrinsik kebiasaan adat. Semisal menjalani puasa sunah pada hari-hari tertentu di bulan Rajab dan Sya'ban, ziarah kubur, padhusan yang dipercaya cara menyucikan diri, dan semacamnya. Namun, tak sedikit orang yang menyatakan labelitas hukum tertentu seperti bid'ah terhadap laku persiapan ibadah puasa Ramadhan tersebut.

Kedua, dalam pelaksanaan ibadah puasa kita akan berhadapan dengan serangkaian ritus peribadatan yang sifatnya sunah. Seperti salat Tarawih, tadarus, iktikaf, dan semacamnya. Namun, secara empiris banyak di antara kita yang terjebak dengan perkara teknis perihal pelaksanaan ritus peribadatan sunah tersebut. Bahkan, di antara kita saling mencela dan menyalahkan beberapa prosedur pelaksanaan ibadah yang biasa dilakukan oleh kelompok orang.

Semisal ada sekelompok orang yang Tarawih dengan 21 rakaat dianggap tidak sesuai sunah rasul oleh sekelompok orang yang menjalani tarawih dengan 11 rakaat. Ada pula sekelompok orang yang shalat Tarawih dengan gerakan yang sangat cepat, dianggap mencederai kekhusyukan ibadah shalat Tarawih itu sendiri. Bahkan, untuk sekadar membenarkan praktik peribadatannya menggunakan sejumlah dalil sebagai landasan pembenar dari apa yang dilakukan.

Padahal, setiap orang memiliki cara sendiri bagaimana mengekspresikan ritus peribadatannya sesuai keyakinannya. Bisa jadi selera sekelompok orang yang mengekspresikan ritus peribadatan shalatnya dengan caranya sendiri memiliki jalinan keterhubungan yang sangat transendental dengan Allah. Maka, tidak sepatutnya kita memperselisihkan berbagai ekspresi masing-masing kelompok dalam menjalani ritus peribadatannya. Sebab, ibadah puasa menegaskan dua dimensi yang antara satu dengan lainnya saling melengkapi. Yaitu, satu sisi kita menjalani puasa sebagai kewajiban asasi, di sisi lain kita pun perlu menjalani ibadah puasa sebagai hak asasi.

Kewajiban asasi dan hak asasi

Dalam buku Human Rights in Islamic Law, Ibrahim Abdullah al-Marzouqi memberikan definisi bahwa terma kewajiban asasi banyak merujuk pada norma agama yang mengarahkan orang agar menyembah kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama. Sementara terma hak asasi, secara formal muncul masif pada tahun 1984 melalui Deklarasi HAM PBB. Dalam hal ini, kedudukan kewajiban asasi dan hak asasi mempunyai ruang sendiri-sendiri. Namun, keduanya perlu dipertemukan secara resiprokal agar tidak dipertentangkan antara satu dengan lain.

Sebagai kewajiban asasi, masing-masing golongan yang berpuasa dalam model orang awam, orang khusus, dan orang paling khusus dia akan selalu menyandarkan dirinya kepada Allah. Namun, di antara mereka mempunyai hak asasi pula bagaimana menempatkan diri pada level tertentu yang bisa memungkinkan dirinya bisa pasrah dan khusyuk menjalani ibadah puasanya.

Bagi orang awam, kewajiban asasinya berada pada level menahan dahaga dan lapar. Namun, bukan berarti ketika dia mempunyai cara mengekspresikan kewajiban asasinya dengan hak-hak asasi yang lain, seperti tetap menjalankan sesuatu yang mendekati pada perkara yang nyaris menggugurkan puasanya, lalu dapat dihakimi sebagai orang tidak memperoleh pahala apa pun. Meskipun ada dalam sebuah riwayat bahwa "berapa banyak orang yang berpuasa yang tidak memperoleh apa-apa kecuali dahaga dan lapar", bukan lantas keberadaannya dienyahkan begitu saja dalam kerangka kesejatian ibadah puasa itu sendiri. Sebab, bisa jadi yang bersangkutan sedang berproses menjalani puasa dengan diawali menahan dahaga dan lapar, dan pada tahap berikutnya akan belajar pula menjalani puasa pada tahap yang mendekati jenis golongan khusus.

Maka, menghadapi golongan yang masih awam perlu dirangkul oleh orang-orang kebetulan telah memasuki golongan khusus dan paling khusus agar bisa belajar bagaimana menjalani sekaligus menghayati ibadah puasa sepenuh jiwa. Tidak semestinya orang-orang yang masih awam, atau mungkin yang sedang tidak berpuasa sekalipun, dihujat sedemikian rupa sehingga membuat dirinya benar-benar mengalienasikan dirinya dari aura puasa Ramadhan. Kita perlu melatih kesadaran resiprokal agar antara kita saling peduli dan saling memberikan pencerahan terhadap orang-orang yang sedang melatih dirinya bisa terlibat dalam ritus ibadah puasa.

Bila kesadaran resiprokal ini bisa kita lakukan, esensi puasa Ramadhan sebagai bulan tajribiyah (melatih diri) dan bulan tazkiyah (menyucikan diri) akan memberikan nilai tambah bagi kita untuk semakin memperkuat keyakinan teologis kita kepada Allah, sekaligus keyakinan sosiologis kepada sesama kita. Bahwa, sesungguhnya-meminjam istilah Gus Dur-di dunia ini tidak ada orang yang jahat, melainkan orang yang sedang berproses menjadi orang baik. Termasuk mereka, orang-orang yang sedang menjalani ibadah puasa dengan level awam, yang masih menambahkan laku spritualitasnya pada pencegahan dahaga dan lapar serta masih dilingkupi dengan berbagai tindak tanduk yang mencelakan.

Pemimpin Karbitan

Pemimpin Karbitan

M Subhan SD ;   Wartawan Senior KOMPAS
                                                         KOMPAS, 30 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jabatan Perdana Menteri pada 1950-1951 dan Menteri Penerangan (1946-1947 dan 1948-1949), serta pemimpin Fraksi Masyumi di parlemen (dekade 1950-an) tidak membuat Mohammad Natsir (1908-1993) silau dengan semua jabatan itu. Natsir tidak mau menggunakan politik aji mumpung atau mentang-mentang. Bagi Natsir, jabatan bukanlah tempat untuk berburu fasilitas atau privilese.

Maka, ketika ada seseorang yang hendak "membantu" dengan menghadiahkan mobil sedan Chevrolet Impala pada tahun 1956, Natsir menolaknya. Padahal, anak-anaknya yang nguping sudah senang bukan main. "Mobil itu bukan hak kita, lagi pula yang ada masih cukup," kata Natsir kepada anak-anaknya (Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim, 2011). Kala itu Natsir punya mobil DeSoto produksi Chrysler yang sudah tua.

Pelajaran dari Natsir bahwa menjadi pemimpin janganlah jalan enaknya saja yang dibayangkan, melainkan amanah dan tanggung jawabnya yang besar. Pemimpin sejati barangkali tak pernah berpikir untuk dirinya, tetapi kemaslahatan publik. Seorang pemimpin harusnya memahami betul teladan yang dilakukan pemimpin bangsa seperti Agus Salim (1884-1954). "Memimpin adalah menderita (leiden is lijden)," kata Agus Salim yang sering dikutip tokoh bangsa Kasman Singodimedjo (1904-1982).

Kisah Natsir, Agus Salim, dan pendiri bangsa lainnya yang memiliki integritas kuat sepertinya belum menyadarkan para pemimpin-tepatnya pejabat-sekarang ini. Hari-hari belakangan ini, publik dihebohkan beredarnya surat Sekretariat Jenderal DPR yang meminta Kedutaan Besar RI di Washington dan Konsulat Jenderal RI di New York untuk menjemput dan mendampingi anak Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang politisi Partai Gerindra. Isi surat itu: "penjemputan dan pendampingan". Jadi, kalau dibantah minta fasilitas, surat itu sudah jelas banget, kok. Mengembalikan uang jemputan sebesar Rp 2 juta tentu tak bisa menghapus ketidakpantasan kasus tersebut. Saking gemas publik sampai-sampai muncul meme di media sosial "Lo pikir KBRI travel agent?".

Kasus sejenis rasanya cukup sering. Sekitar akhir Maret lalu, beredar surat Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) yang meminta Konsulat Jenderal RI di Sydney, Australia, meyiapkan transportasi dan akomodasi Wahyu Dewanto Suripman, kolega Menteri Yuddy Chrisnandi Partai Hanura. Wahyu juga anggota DPRD DKI Jakarta.

Belum selesai pergunjingan surat itu, beredar lagi surat anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Rachel Maryam. Rachel pergi ke Paris, Perancis, bersama keluarga pada 20-24 Maret 2016. Rachel meminta bantuan Duta Besar RI untuk Perancis untuk penjemputan dan transportasi selama di Paris. Belum terdengar seperti apa sanksi keras yang dijatuhkan terhadap kasus-kasus minta fasilitas seperti itu?

Meskipun kerap "lumrah" dalam panggung politik, minta fasilitas semestinya dihentikan. Supaya tidak tuman. Jangan campur adukkan kepentingan pribadi dengan kepentingan bangsa. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682-720) adalah pemimpin paling takut jika kepentingan pribadinya berbaur dengan kepentingan masyarakat (umat).

Dalam kasus minta fasilitas ini, sesungguhnya bukan persoalan materi an sich, melainkan faktor kekuasaan (power) yang menonjol. Bisa jadi ada semacam hasrat untuk menerapkan praktik-praktik kuasa; apakah pengaruh, otoritas, dominasi, yang melekat dalam diri pejabat dapat bekerja efektif. Kalau begitu, rasanya jauh sekali dengan pemimpin sejati seperti Agus Salim atau Natsir. Jangan-jangan sekarang ini memang banyak pemimpin karbitan, yang belum saatnya tampil.

Kiai Sadrach

Kiai Sadrach

Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Psikologi UI; 
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI
                                                   KORAN SINDO, 26 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jika kita mendengar nama Kiai Sadrach, yang terbayang dalam benak kita adalah seorang ulama Islam dengan peci atau sorban, berbaju lengan panjang dan bersarung, sementara di bahunya tersampir sebuah kain atau sajadah yang terlipat rapi.

Pokoknya tipikal ulama NU yang banyak kita temui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kita tidak membayangkan seorang kiai sebagai ulama Jawa Barat karena di Jawa Barat ulama dipanggil “Ajengan”, juga tidak di Lombok karena di sana ulama disebut “Tuan Guru”, dan memang benar Kiai Sadrach adalah seorang ulama yang dilahirkan di daerah Karesidenan Jepara (sumber lain ada yang mengatakan dia lahir di Karesidenan Demak) dan meninggal di Purworejo, 14 November 1924 dalam usia 89 tahun.

Tetapi, Kiai Sadrach bukan ulama Islam, melainkan ulama Kristen. Dia adalah penginjil besar di masanya, tetapi nama kelahirannya adalah Radin, dan saat dia berguru di pesantren daerah Jombang namanya bertambah menjadi Radin Abas. Tetapi, setelah belajar di Jombang ia hijrah ke Semarang dan bertemu seorang penginjil Belanda yang bernama Hoezoo dan kemudian Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi yang diajar oleh Hoezoo tersebut sampai akhirnya pada usia 26 tahun ia dibaptis dan mendapat nama baptisan Sadrach.

Sejak itu dia tidak menggunakan nama Radin lagi, melainkan menggunakan nama Sadrach. Dari sudut pandang Islam, dia bisa dinamakan murtadin (orang yang meninggalkan Islam).

Karangjasa, yang terletak 25 km dari Purworejo, adalah desa pertama tempat Sadrach mendirikan sebuah jemaat Kristen Jawa setempat. Awalnya Sadrach menggunakan rumahnya sendiri sebagai tempat berkumpulnya jemaat, tetapi pada 1871 didirikanlah gedung gereja pertama di Desa Karangjasa sehingga jemaat tidak perlu lagi mengadakan perjalanan ke Purworejo setiap hari Minggu untuk melakukan kebaktian.

Bukan hanya itu, pusat kekristenan Jawa bahkan berpindah dan berkembang dari Tuksanga, Purworejo ke Karangjasa. Ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan seorang Kiai Kristen Jawa yang sangat berpengaruh. Hanya dalam waktu 2-3 tahun Kiai Sadrach berhasil membaptis 2.500 orang. Jauh lebih banyak daripada zending Belanda yang sudah berdakwah lebih dari 100 tahun (pada waktu itu) di tanah Jawa. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama “baru”-nya menjadi Radin Abas Sadrach Surapranata.

Pesatnya ekspansi jemaat Sadrach membuat pemerintah setempat (Karesidenan Bagelen) dan kalangan gereja (Indische Kerk) curiga dan merasa terancam (sehingga Kiai Sadrach pernah ditangkap dan dipenjarakan oleh Pemerintah Belanda, tetapi dilepas kembali karena tidak ada bukti-bukti makar), namun di sisi lain juga ingin mengatur dan mengawasi jemaat tersebut dengan berbagai alas an baik politis maupun alasan misi (mencegah aliran sesat), dan juga karena ingin mengumpulkan “petobat” dengan cepat dan mudah. Tetapi, upaya penguasa (pemerintah) maupun gereja pada waktu itu gagal karena umat tetap lebih memilih sebagai pengikut Kiai Sadrach daripada bergabung dengan Indische Kerk.

Yang menarik untuk dipelajari dari sudut ilmu dakwah adalah bagaimana caranya Kiai Sadrach bisa mengkristenkan begitu banyak orang di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim. Jawabannya adalah bahwa Kiai Sadrach adalah mantan muslim dan tidak menanggalkan atribut-atribut muslimnya ketika ia menyebarkan Injil. Kiai Sadrach berbusana layaknya ulama Islam yang lain, bahkan waktu itu pun dia sudah berjenggot seperti jenggot ISIS zaman sekarang. Bukan itu saja, ia mempunyai pertemuan-pertemuan jemaat yang dalam tradisi Islam disebut “majelis taklim”.

Seperti juga majelis taklim, majelisnya Kiai Sadrach juga duduk di lantai seperti orang selamatan. Gereja yang didirikannya di Karangjasa bahkan berarsitektur Islam dengan ornamen senjata “cakra” milik tokoh wayang Kresna di puncaknya. Senjata cakra ini, yang bentuknya bulat, lebih mirip bulan sabit daripada tanda salib.

Di samping itu, Kiai Sadrach juga tampaknya memang seorang yang sangat cerdas yang mampu menaklukkan siapa pun dalam berdebat yang bisa sampai berhari-hari. Tetapi, di balik itu semua, yang paling utama yang mendasari keberhasilan Kiai Sadrach adalah banyaknya persamaan antara dua agama, Islam dan Kristen, karena dua-duanya berasal dari satu rumpun agama samawi (termasuk agama Yahudi juga). Yang kedua, agama Islam di Pulau Jawa sudah berakulturasi dengan kepercayaan lokal yang merupakan campuran antara tradisi animisme, dinamisme, Hindu, dan Buddha yang sudah lebih dahulu ada di tanah Jawa, menjadi apa yang dikenal sebagai mistisisme.

Salah satu contohnya senjata cakra milik Kresna itu tadi. Semua ini kemudian secara alamiah dan naluriah dimanfaatkan oleh Kiai Sadrach dan terasa pas betul dengan alam pikiran orang Jawa pada waktu itu sehingga Kiai Sadrach cepat mendapat pengikut. Berbeda dengan misionaris-misionaris Belanda yang selalu saja menggunakan pendekatan Barat, yang tidak berakar di kalangan masyarakat Jawa.

Teknik yang sama (pendekatan sosial-budaya) digunakan juga oleh para Wali Songo sehingga Islam menyebar luas dengan cepat dan bisa menembus sampai pusat Kerajaan Mataram di pedalaman Jawa, dan melahirkan Kerajaan Mataram yang Islam, menggantikan Kerajaan Mataram lama yang Hindu. Sayangnya, pendekatan berbasis sosial-budaya ini justru ditinggalkan oleh pendakwah-pendakwah masa kini yang puritan dan radikal.

Dampaknya nanti memang sebagian akan menjadi puritan juga, bahkan mungkin radikal, tetapi yang terbanyak justru akan meninggalkan Islam itu sendiri dan menjadi murtadin, bukan ke agama lain, melainkan ke budaya-budaya pop, termasuk K-Pop, Pop Corn, dan Pop Porn.

Menguji Kewenangan Pembatalan Perda

Menguji Kewenangan Pembatalan Perda

Oce Madril  ;   Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
                                                   KORAN SINDO, 25 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah telah membatalkan 3.143 peraturan daerah (perda). Menteri dalam negeri (Mendagri) sebagai pihak yang berwenang dalam pembatalan ribuan perda ini beralasan bahwa perda-perda tersebut telah mengganggu iklim ekonomi dan investasi. Tercatat bahwa ini merupakan pembatalan perda secara masif dari sisi kuantitas yang pernah dilakukan oleh pemerintah. Namun, pembatalan ribuan perda ini telah menimbulkan perdebatan.

Banyak pihak mempertanyakan aspek konstitusionalitas kewenangan mendagri untuk membatalkan perda-perda tersebut. Bahkan menurut Mahfud MD, mekanisme pembatalan perda itu keliru secara hukum. Dalam tulisannya di koran ini, Mahfud berpendapat bahwa seharusnya upaya yang ditempuh untuk membatalkan perda-perda yang dianggap bermasalah itu melalui mekanisme judicial review  ke Mahkamah Agung (MA), bukan melalui mendagri. Sementara di sisi lain, pemerintah bersikukuh bahwa pembatalan perda ini semata-mata dilakukan karena memang dibenarkan oleh UU Pemerintahan Daerah.

Polemik perihal kewenangan mendagri ini muncul lantaran tidak sinkronnya berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini ada dua UU yang saling bertabrakan, yaitu UU Pemda dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, UU Pemda juga dinilai bertentangan dengan konstitusi, khususnya mengenai mekanisme pengujian terhadap perda.

Rezim Pengawasan 

Dari perspektif hukum pemda, mekanisme pembatalan perda bukanlah hal baru. Mekanisme ini telah diperkenalkan sejak era pemerintahan orde lama melalui UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Aturan tersebut bermetamorfosa hingga saat ini. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang digunakan saat ini juga memuat aturan serupa.

UU Pemda menggunakan pendekatan executive review atau pengujian sebuah aturan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini yang melakukan pengujian atas Perda adalah kementerian dalam negeri. Seolah-olah, pemerintah pusat menjadi hakim yang melakukan review  atas produk hukum daerah. Dalam perspektif hukum pemda, pembatalan perda merupakan bagian dari mekanisme pengawasan pusat atas daerah.

Ada dua model pengawasan yang dilakukan. Pertama, pengawasan represif (repressief toezicht) dan kedua, pengawasan preventif (preventief toezicht). Kedua model pengawasan ini dilakukan sebagai mekanisme kontrol pusat atas produk hukum daerah, baik berupa perda maupun peraturan kepala daerah, sehingga setiap penyusunan regulasi di daerah harus dikonsultasikan ke pemerintah pusat dan jika ditemukan perda yang dianggap bermasalah maka pemerintah pusat berwenang membatalkannya.

Kewenangan pembatalan perda ini telah secara tegas diatur dalam UU Pemda. Akan tetapi memang tidak ada pengaturan lebih rinci bagaimana kewenangan pembatalan itu dilakukan. UU hanya mengatur bahwa ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dasar pembatalan, yaitu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

Bertentangan dengan kepentingan umum meliputi; terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, dan gender.

Alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar pembatalan masih sangat umum-abstrak sehingga memberikan ruang penafsiran yang sangat luas bagi pemegang kewenangan ini.

Rezim Judicial Review

Berbeda dengan UU Pemda, konstitusi menganut rezim judicial review  atau pengujian melalui mekanisme peradilan bagi peraturan yang diduga melanggar konstitusi atau peraturan di atasnya. Dalam Pasal 24A dan 24C ditegaskan bahwa bagi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 diuji di MK, sementara peraturan di bawah UU diuji di MA.

Pengaturan ini ditegaskan lagi dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dengan UU, pengujiannya dilakukan oleh MA.

Menurut ketentuan Pasal 7 UU 12/2011, perda merupakan salah satu jenis aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang posisinya berada di bawah UU. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, hanya MA-lah yang berwenang menguji sebuah perda. Sehingga dari sudut pandang konstitusi, ketentuan pembatalan perda yang dilakukan oleh mendagri jelas bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 dan secara horizontal dengan UU 12/2011.

Hak pemda untuk membuat perda dilindungi oleh konstitusi. Ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 6 UUD 1945 bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ini artinya, kewenangan pemda dalam membuat perda bersumber langsung dari konstitusi.

Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa penyusunan perda bukanlah perkara sederhana. Ada berbagai tahapan yang harus dilalui, termasuk konsultasi dengan pemerintah pusat. Perda tidak hanya disusun oleh pemda dan DPRD saja. Ada banyak stakeholder  yang terlibat melalui partisipasi masyarakat. Bahkan ada perda yang memang diinisiasi oleh kelompok masyarakat sipil. Secara biaya, penyusunan sebuah perda bisa memakan ratusan juta rupiah dana APBD. Karenanya, pembatalan sebuah perda harus betul-betul melalui pertimbangan yang matang.

Selain berpotensi melanggar konstitusi, mekanisme pembatalan perda ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan. Misalnya bagaimana mekanisme yang digunakan kementerian dalam negeri dalam mengkaji perda-perda yang diduga bermasalah itu? Apakah pembatalan dilakukan terhadap keseluruhan perda atau hanya sebagian pasal saja? Bagaimana akibat hukum atas kebijakan yang lahir atas dasar perda yang dibatalkan? Upaya hukum apa yang tersedia jika pemda dan/atau masyarakat daerah merasa dirugikan karena pembatalan perda itu?

Tidak ada pengaturan yang lebih lanjut yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Minimnya pengaturan memberikan kewenangan yang sangat luas bagi mendagri. Luasnya diskresi mendagri ini sayangnya tidak diikuti dengan adanya mekanisme kontrol. Di sinilah rentan terjadi penyalahgunaan wewenang.

Ke depan, perdebatan ini bisa dibawa ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kewenangan pembatalan perda ini, bisa mengajukan judicial review atas UU Pemda. MK akan memberikan kata final atas pertanyaan-pertanyaan terkait konstitusionalitas kewenangan pemerintah untuk membatalkan perda.