RASYID Amrullah, putra bungsu Menko
Perekonomian Hatta Rajasa, telah menjalani sidang perdana di PN Jakarta
Timur, pada Kamis kemarin, terkait kasus kecelakaan yang menewaskan dua
orang, yang melibatkannya. Menjadi keinginan publik kasus itu diproses
sesuai dengan hukum. Artinya bila terbukti bersalah, sanksi hukum hendaknya
berlaku pula bagi Rasyid. Tulisan ini adalah analisis sosio legal terkait
kecelakaan di tol Jagorawi pada awal Januari 2013.
Dalam setting
negara hukum, kecelakaan yang melibatkan Rasyid sebenarnya perkara pidana
biasa. Ada perangkat hukum untuk menyelesaikan, dan publik juga mengetahui
aparat kepolisian telah menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana itu,
termasuk menetapkan tersangka dan saksi.
Setelah pemeriksaan selesai, berkas acara
pemeriksaan (BAP) dan alat bukti dilimpahkan kepada penuntut umum, yang
kemudian menyusun surat dakwaan, meminta lembaga peradilan menjatuhkan
pidana. Pengadilan akan memeriksa kasus itu, dan jika terdakwa terbukti
bersalah, pidana pun dijatuhkan. Berat ringan pidana itu terpulang pada
hikmat kebijaksanaan sang pengadil walau harus tetap berbingkai ketentuan
hukum perundangan-undangan.
Dalam konteks ajaran persamaan di depan
hukum, Rasyid yang secara sosiologis ’’bukan
orang sembarangan’’, sejatinya tak memiliki perbedaan apa pun dari si
Badu, si Polan, atau siapa pun ’’warga
negara biasa’’ manakala berhadapan dengan hukum. Secara normatif, baik
Rasyid, si Badu, si Polan, maupun warga negara yang lain harus dan akan
diperlakukan sama di depan hukum.
Karenanya, proses hukum dari penyelidikan
hingga pemeriksaan dalam pengadilan yang cukup memakan waktu dan tak
mengenakkan harus dijalani. Sesuai dengan KUHAP, penyidik sebenarnya dapat
menahan setelah seseorang berstatus tersangka walau KUHAP menjamin hak
tersangka/ terdakwa mendapatkan kunjungan dokter demi kepentingan
kesehatan.
Permasalahannya, publik juga tahu tak semua
ketentuan hukum, yang memiliki landasan moral perlindungan HAM, bisa
dinikmati oleh tiap orang yang terjerat hukum sebagaimana juga Rasyid.
Dalam kasus kecelakaan yang melibatkan ’’orang
biasa’’, publik dapat melihat ketentuan hukum yang represif dan keras
akan begitu tegak, secepat-cepatnya.
’’Orang
biasa’’ itu akan segera menyandang
status tahanan, dan sel menantinya walau kondisi tersangka stres dan syok
berat, sebagaimana dialami Afriyani dalam kasus kecelakaan maut di Tugu
Tani Jakarta pada awal 2012. Belum lagi
penyiksaan di tahanan yang kemungkinan dialami yang seolah-olah menjadi
hukuman tambahan.
Perlakuan
Sama
Dalam kasus Rasyid, publik melihat betapa
hukum tak bersegera menetapkan status tahanan terhadap putra besan Presiden
SBY itu. Bahkan ada kesan kuat aparat hukum malu-malu, termasuk ketika
media meminta kejelasan atas kasus ini. Dibandingkan peristiwa serupa yang
menimpa ’’warga negara biasa’’, ada
kesan perbedaan perlakuan, ada diskriminasi penerapan hukum.
Ketentuan hukum yang fasilitatif dan
protektif, amat efektif manakala bersangkut-paut dengan tersangka yang ada
pada posisi sosial mapan, dan sebaliknya makin tak berdaya bagi tersangka
yang berada dalam status sosial yang awam lagi rawan. Dari titik ini,
jalannya persidangan rasa-rasanya berpola sama: tuntutan tak akan begitu
berat, dan pidana juga tak seberat yang dijatuhkan terhadap ’’orang biasa’’ . Iktikad baik
keluarga Rasyid dalam menunjukkan penyesalan dan permintaan maaf terhadap
korban secara signifikan akan meringankan pidana.
Artikel ini bukanlah menganjurkan supaya
Rasyid atau siapa saja tersangka/ terdakwa yang sedang dalam kondisi trauma
psikis dipaksa menjalani proses hukum yang didesain untuk mereka yang
berada dalam kondisi normal. Demi hukum yang berperikemanusiaan, Rasyid
harus mendapat perawatan kesehatan agar bisa menjalani proses hukum demi
mencapai kebenaran dan keadilan.
Terlebih sebelumnya, kuasa hukum dia, Riri
Purbasari mengatakan kliennya masih belum sehat namun siap menghadapi
persidangan. "Secara medical
sebenarnya Rasyid belum sepenuhnya sehat, masih dalam treatment trauma
psikisnya."
Namun hukum harus ditegakkan secara sama
tanpa ada diskriminasi untuk semua warga negara. Proteksi hukum terhadap
tersangka yang dalam kondisi fisik ataupun psikis rawan sebagaimana
dinikmati Rasyid kiranya juga harus dapat dinikmati warga negara lain yang
berada pada kondisi serupa, tanpa harus terlebih dahulu melihat apa, siapa,
dan bagaimana status sosial tersangka/terdakwa.
Masyarakat menunggu hasil peradilan yang
fair, tidak berpihak, dan menginginkan keputusan hukum berlaku sama,
bukannya fasilitatif dan penuh permakluman kepada orang yang berpunya,
sementara menjadi teramat represif terhadap orang yang biasa lagi papa.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar