Minggu, 02 November 2014

Politik Sapu Bersih di DPR RI

Politik Sapu Bersih di DPR RI

Ikrar Nusa Bhakti  ;  Profesor Riset
di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta
MEDIA INDONESIA, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SAPU bersih seluruh jabatan pimpinan DPR RI dan alat-alat kelengkapan dewan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) menggambarkan dimulainya babak baru dalam sistem politik Indonesia. Di masa Orde Baru dan awal reformasi hingga DPR periode 2009-2014, wakil dari tiap fraksi di DPR mendapatkan posisi di pimpinan DPR atau jajaran pimpinan di alat-alat kelengkapan dewan. Cara itu menyebabkan munculnya rasa kebersamaan, kesatuan, dan kekeluargaan di DPR RI sehingga konfl ik antarfraksi terkait dengan bagi-bagi posisi kursi itu dapat diminimalkan.

Gerakan sapu bersih tersebut sebenarnya sudah tercium sejak DPR periode 2009-2014 memproses Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau dikenal dengan UU MD3 dan pembuatan aturan Tata Tertib DPR yang disahkan pada 16 September 2014. UU MD3 memang dirancang agar koalisi partai pendukung calon presiden atau calon wakil presiden Prabowo Subianto atau Hatta Rajasa yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrat (yang awalnya menyatakan sebagai partai pengimbang, tetapi kemudian semakin nyata warnanya) dapat menguasai parlemen melalui aturan pemilihan sistem paket yang didukung oleh enam fraksi berbeda.

Aturan itu menutup kemungkinan bagi koalisi partai pendukung capres atau cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk dapat mengajukan calon-calon pimpinan DPR melalui sistem paket karena jumlah anggota koalisi yang akan memiliki kursi di DPR pada saat itu hanya terdiri atas empat partai yaitu PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasional Demokrat (Partai NasDem) yang masuk DPR pada periode 2014-2019.

Tata tertib DPR RI yang disahkan sepihak oleh koalisi pendukung Prabowo-Hatta pada 16 September 2014 juga idem dito, yaitu berupaya menihilkan koalisi partai pendukung Jokowi-JK untuk dapat mengisi kursi jajaran pimpinan pada alat-alat kelengkapan dewan, yakni dengan aturan bahwa paket jajaran pimpinan diusulkan oleh sedikitnya enam fraksi berbeda di DPR RI.

Menyeberangnya PPP dari Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat sebenarnya telah mengubah peta politik di DPR menjadi 5:5. Namun, konflik internal di PPP akhirnya memungkinkan faksi pendukung Suryadharma Ali (SDA) untuk ditarik mengajukan nama-nama calon pimpinan alat kelengkapan dewan. Itu digunakan sebagai pembenar bagi koalisi pendukung Prabowo untuk menjalankan niat mereka menyapu bersih jajaran pimpinan alat-alat kelengkapan dewan. PPP faksi SDA hanya digunakan sebagai alat atau pelengkap penderita untuk melapangkan jalan bagi-bagi kursi koalisi pendukung Prabowo-Hatta.

Kondisi di DPR tersebut bukan hanya menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya pemerintahan yang terbelah antara eksekutif dan legislatif, melainkan juga secara nyata sudah menimbulkan kondisi parlemen yang terbelah antara koalisi pendukung Prabowo-Hatta yang menguasai semua lini di DPR RI dan koalisi pendukung Jokowi-JK yang kemudian membentuk pimpinan DPR tandingan. Apa yang terjadi di DPR saat ini menunjukkan betapa kekuasaan, bukan kekeluargaan, kebersamaan, dan persatuan, menjadi kata kunci dalam perpoli tikan di dewan. Kita sudah mengarah jauh dari sistem politik yang didasari ideologi Pancasila yang mengutamakan asas persatuan, kemanusiaan, musyawarah mufakat, dan keadilan. Apa yang tampak saat ini ialah terjadinya dominasi mayoritas terhadap minoritas kalau tidak dapat disebut sebagai diktator mayoritas di DPR.

Kebuntuan politik

Kondisi politik di DPR RI saat ini bukan mustahil menciptakan kebuntuan politik di internal DPR, terlebih lagi antara legislatif dan eksekutif. Saat ini, misalnya, koalisi partai pendukung Jokowi-JK tidak mau menghadiri sidang-sidang yang diadakan DPR yang dimonopoli koalisi pendukung Prabowo-Hatta.

Selain itu, Koalisi Indonesia Hebat merekomendasikan pemerintahan Jokowi-JK untuk tidak mau menghadiri rapat-rapat dengan mitra legislatifnya selama tidak ada keinginan Koalisi Merah Putih untuk berbagi posisi di alat-alat kelengkapan dewan. Mereka khawatir bahwa tidak adanya wakil Koalisi Indonesia Hebat di jajaran pimpinan alat-alat kelengkapan dewan akan menyebabkan tidak adanya perlindungan politik bagi eksekutif dalam semua proses politik di DPR RI, baik pada proses legislasi, budgeting, maupun pengawasan.

Meski pimpinan DPR menyatakan tidak ada niat untuk menjegal pemerintah dan bahkan mereka ingin mendukung program-program pemerintah, janji-janji tersebut belum tentu diterapkan. Buktinya, Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto berkali-kali menyatakan tidak ada keinginan sapu bersih di alat-alat kelengkapan dewan, tetapi mereka ingin berbagi. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Agus Hermanto bahkan pernah mengatakan kepada penulis bahwa nanti lihat saja kalau dia menjadi pimpinan sidang, asas kebersamaan itu akan diterapkan.

Nyatanya, justru ketika dia menjadi pemimpin sidang terjadi skandal politik yang begitu besar saat Koalisi Merah Putih menerima paket nama calon pimpinan alat kelengkapan dewan dari faksi PPP kubu SDA sehingga Ketua Fraksi PPP kubu Muktamar Surabaya marah besar dan mendorong jatuhkan meja. Tidak terakomodasinya keluhan Koalisi Indonesia Hebat juga menjadi penyebab mengapa mereka akhirnya membuat sidang paripurna sendiri yang menetapkan jajaran pimpinan dewan versi Koalisi Indonesia Hebat.

Cerminan politik elite

Sebenarnya, antara koalisi pendukung Prabowo-Hatta dan koalisi Jokowi-JK sudah terjadi pendinginan suhu politik ketika Jokowi mengadakan pertemuan-pertemuan informal dengan jajaran pimpinan DPR RI dan MPR RI serta dengan Prabowo Subianto saat menjelang pengambilan sumpah jabatan presiden atau wakil presiden 20 Oktober 2014. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sudah bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan pendiri atau Ketua Umum pertama PAN Amien Rais.
Prabowo Subianto bahkan sepakat untuk berbagi posisi pimpinan di alat-alat kelengkapan dewan dengan perbandingan 60% untuk KMP dan 40% untuk KIH. Bahkan, KIH sudah menurunkan tawarannya menjadi hanya 16 kursi dari 63 kursi jajaran pimpinan alat-alat kelengkapan dewan.

Sikap jajaran fraksi di DPR RI tentu cerminan dari kebijakan politik pimpinan partai Koalisi Merah Putih. Tidak mungkin fraksi berbeda keputusan dengan pimpinan partai. Itu berarti, pendekatan-pendekatan dan komunikasi politik Jokowi-JK dengan Prabowo, ARB, dan Amien Rais masih sebatas basa-basi politik dan masih diselimuti `kemarahan permanen' Prabowo atas kekalahannya dari seorang wong cilik bernama Jokowi pada Pilpres 2014.

Jika tidak ada politik akomodatif dari Koalisi Merah Putih terhadap Koalisi Indonesia Hebat di DPR RI, kebuntuan di DPR RI akan terus berlanjut. Peta politik di DPR RI bisa saja berubah jika terjadi perubahan politik pada jajaran pimpinan Partai Golkar pada munas Januari, Februari, atau April 2015, tempat kubu JK atau gerakan anak muda berslogan Asal bukan ARB memenangi Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Tanpa itu, politik di DPR akan tetap buntu atau bahkan menjurus pada `penjegalan elite politik lama yang licik terhadap elite politik baru yang mewakili wong cilik bernama Jokowi'. Jika itu terjadi, rakyatlah yang menjadi korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar