Politik
Amubaisme Parlemen
Umbu TW Pariangu ; Dosen
Fisipol, Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 01 November 2014
ANCAMAN terjadinya
‘pemerintahan terbelah’ (devided
government) semakin dikhawatirkan publik. Hal tersebut pernah terkonfirmasi
oleh survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) (6-7/10). Sebanyak
77,25% publik menyatakan khawatir dengan kondisi pemerintahan yang terbelah.
Hanya 17,46% yang menyatakan tidak khawatir. Menurut peneliti LSI Adjie
Alfaraby, kekhawatiran terjadinya pemerintahan terbelah merata di semua
segmen masyarakat. Kecemasan tersebut berpotensi menjadi puncak dari ‘teater
gelap’ yang dimainkan parlemen hari-hari ini. Setelah membuat quintrick atas
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) lewat kemenangan mengegolkan UU MD3, Tatib DPR,
RUU Pilkada, serta pemilihan pimpinan DPR dan MPR, kubu Koalisi Merah Putih
(KMP) menyapu bersih pimpinan komisi dan alat-alat kelengkapan dewan.
Permintaan KIH untuk memperoleh 16 kursi pemimpin dari total 65 kursi
pemimpin alat kelengkapan dewan pun tidak digubris. Kubu KMP hanya memberikan
jatah 5 kursi bagi Fraksi PDIP.
Tampaknya, prinsip
bermusyawarah dengan akal sehat tidak lagi menjadi gaya berdemokrasi wakil
rakyat kita. Semuanya telah lenyap oleh keserakahan politik yang
mengatasnamakan kepentingan publik. Dengan mengikuti roh tesis Lord Acton,
kekuasaan cenderung korup. Ada semacam amubaisme politik di parlemen saat ini
yang semakin lama, semakin muncul kehausan dari politisi untuk terus
memperbanyak dan mengakumulasi lahan kekuasaan secara monopolistik demi
tujuan-tujuan sempit. Suara rakyat yang merepresentasikan kedaulatan politik
dengan gampang dikangkangi dalam perilaku hipokritis.
Keselamatan pemerintahan ke depanlah
yang akan menjadi taruhannya.
Kamuflase?
Padahal, sebelumnya, optimisme
rakyat sempat bangkit ketika menyaksikan rentetan pertemuan para pemimpin DPR
dan DPD dengan Jokowi menjelang pelantikan presiden. Tidak itu saja, Jokowi
juga bertemu dengan Ketua Presidium KMP Aburizal Bakrie dan Ketua Umum Partai
Gerindra Prabowo Subianto demi berupaya memecah kebuntuan komunikasi dalam
membicarakan persoalan-persoalan bangsa. Entah kenapa, sikap konstruktif para
petinggi institusi politik tersebut tak kunjung merembet ke parlemen.
Tidak berlebihan jika rakyat
pada akhirnya mulai curiga, jangan-jangan semua itu hanya politik kamuflase
yang didesain secara halus untuk menghindari resistensi publik terhadap skenario-skenario
politik jangka panjang yang bakal dimainkan politisi di parlemen.
Dengan model politik kooptatif
dan destruktif seperti itu, DPR secara tak langsung akan semakin mengukuhkan
diri sebagai lembaga tak tersentuh yang berpotensi menjadi sarang oligarki
dan serigala buas bagi pemerintah dan secara tak langsung bagi anak kandung
(rakyatnya sendiri). Dalam konteks tertentu, bukan rakyat sipil saja yang
bisa melakukan pembangkangan sosial atas kebijakan-kebijakan para politikus,
melainkan juga ‘algojo-algojo’ politiknya di Senayan yang menjadikan demokrasi
sebagai legitimasi kebrutalan mereka pun bisa merapatkan barisan sebagai
penyambung lidah para kapitalis dan politisi predator (Vedi R Hadiz, 2005:2014) untuk melawan (kebijakan) pemerintah
yang dianggap mengancam hunian dan eksistensi politik rente mereka.
Hari ini, mereka bisa saja
berdalih akan menjadi teman seranjang yang mendukung setiap garis kebijakan
pemerintah karena sadar rakyat sepertinya mulai gusar dengan berbagai manuver
mereka. Namun, setelah konsolidasi dan rasionalisasi makin kuat terbangun,
tak menutup kemungkinan mereka akan menjadi virus pengganggu dalam kekuasaan
lewat penggerogotan checks and balances.
Karenanya, membaca watak Senayan hari ini dan beberapa waktu ke depan tak
cukup dengan apa yang tersampaikan secara eksplisit dengan kata-kata, tetapi dengan
sikap nyata. Sungguhkah yang mereka perjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya?
Atau, itu justru hanya sebuah pengejawantahan politik mimikri?
Hidrosefalus parlemen
Menurut penulis, kekuasaan
parlemen kini mirip penyakit hidrosefalus, yakni virus by design yang melumpuhkan nilai-nilai demokrasi dan
kepentingan publik lewat pembesaran kepala (otoritas) kekuasaan/hasrat liar
politiknya. Virus itu melumpuhkan jaringan kekuasaan dan lembaga pelayanan
publik. Ironisnya, virus tersebut sepertinya sengaja dipelihara karena para
penghuni Senayan telanjur tersegregasi oleh blok politik dendam dan kebencian
yang tak berujung semenjak pemilu dan pilpres.
Mereka sangat menyesal ketika
prinsip kebebasan memilih dan dipilih yang menjadi piramida puncak demokrasi
dan diinjeksikan dalam tubuh mesin (parpol) serta pribadi politik mereka
malah memakan kembali kepentingan mereka. Mereka seakan tak menyangka kaum
proletar bersahaja yang selama ini hanya menghuni alas kaki kekuasaan justru
berhasil memikat kepercayaan dan dipilih publik di ruang-ruang demokrasi
aktual yang dilaksanakan secara langsung. Itu sebabnya, mereka mencoba
membalas sakit hati dengan cara membubarkan sistem pilkada langsung dan
menjalankan politik pukat trawl: mereguk posisi apa saja (besar-kecil,
kering-basah) di parlemen untuk menegaskan hegemoninya.
Kemenangan ‘politisi underdog’
yang diwakili Jokowi tentu saja sangat menyinggung jiwa Leviathan para elite
borjuis dan pemodal yang dimaksud. Padahal, Fared Zakaria (2008) lewat
tesisnya, The Rise of the Rest,
enam tahun lalu sudah mengingatkan khususnya negara-negara demokrasi perihal
akan bangkitnya kekuatan kaum tersisa sebagai akibat dari pengkhianatan
terhadap roh demokrasi, yaitu suara para kaum terpinggir yang selama ini tak
pernah masuk radar perhitungan politik. Namun, karena jiwa empati, kejujuran,
dan kesahajaan, mereka dengan mudah bisa merebut pangsa hati rakyat.
Bagaimana prospek demokrasi
parlemen dan eksekutif kita ke depan? Dengan intrik panas tak berkesudahan
yang mewarnai panggung politik, terlebih di parlemen, mampukah
program-program populis pemerintah direalisasikan bagi kemaslahatan rakyat
sesuai dengan komitmen dan sumpah jabatan di hadapan Tuhan dan rakyat?
Sepertinya para politikus kita
harus kembali ke akidah dasar sebagai makhluk rasional dan bermoral yang
bekerja sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Harus ada revolusi mental dan
konsep berpikir bahwa uang dan takhta bukan tujuan u tama kekuasaan,
melainkan sarana untuk menghadirkan wajah teleologis (Tuhan) dalam kehidupan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar