Kurikulum
Bias Kelas
Nanang Martono ; Staf
Pengajar Prodi Sosiologi FISIP
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa
Tengah
|
KOMPAS,
01 November 2014
KURIKULUM 2013 atau K13 resmi
diberlakukan di semua sekolah sejak Juli 2014. Buku ajar versi elektronik
(buku sekolah elektronik/BSE) juga sudah dapat diunduh melalui link
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski pemerintah mengklaim K13 berbeda
dengan KTSP 2006, secara sosiologis substansi BSE tidak mengalami perubahan,
BSE K13 masih mengandung bias kelas.
Mungkin tak banyak yang
memedulikan masalah analisis kelas dalam setiap buku ajar yang
didistribusikan ke sekolah-sekolah. Terkait ulasan dalam buku saya, Kekerasan
Simbolik di Sekolah(2012), sebagian besar BSE yang diterbitkan oleh Kemdikbud
mengandung unsur kekerasan simbolik, termasuk BSE K13 ini.
Adalah Pierre Bourdieu
(1930-2002), seorang sosiolog Perancis yang berupaya menguatkan argumen para
pendahulunya mengenai fungsi sosial sekolah. Bagi Bourdieu, sekolah pada
dasarnya merupakan tempat bagi kelas dominan atau kelas atas untuk
melanggengkan posisinya. Kelas atas dalam hal ini telah menggunakan sekolah
sebagai sarana melakukan kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik di sekolah
terjadi ketika individu dari kelas bawah dipaksa mengikuti gaya hidup kelas
atas. Mekanisme ini dilakukan misalnya melalui kegiatan di sekolah serta
melalui materi pelajaran di kelas yang berlangsung tanpa disadari.
Bagi Bourdieu, dalam praktiknya
sekolah hanya mengajarkan banyak gaya hidup atau habitus kelas atas,
sementara siswa dari kelas bawah dipaksa mengikuti habitus mereka.
Parahnya, hal ini telah
dianggap sebagai hal biasa di sekolah. Habitus kelas bawah hanya diberi porsi
sangat sedikit dalam budaya dan nilai-nilai sosial di sekolah, seolah-olah
budaya kelas bawah tidak layak disosialisasikan dan menjadi gaya hidup di
sekolah.
Salah satu instrumen yang dapat
digunakan sebagai sarana melakukan kekerasan simbolik adalah melalui materi
pelajaran dalam BSE.
Hasil penelitian penulis dalam
BSE Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), ditemukan data bahwa sebagian
besar gaya hidup dan kondisi sosial yang ditampilkan dalam BSE adalah gaya
hidup kelas atas. Ada dua mekanisme kekerasan simbolik ini, yaitu melalui
teks atau tulisan dan melalui gambar.
Kekerasan simbolik melalui
tulisan dapat dijumpai dalam beberapa bentuk, misalnya: mengenalkan budaya
rekreasi untuk mengisi hari libur melalui beberapa tulisan atau cerita;
menceritakan aktivitas ulang tahun; menggambarkan bentuk atau kondisi rumah
orang-orang kaya yang dilengkapi teras, garasi mobil, ruang kerja ayah, dan
sebagainya.
Sementara kondisi sosial
keluarga miskin kelas bawah diceritakan dalam sedikit paragraf dengan
menggunakan sudut pandang orang ketiga. Ini artinya, posisi siswa yang
membaca BSE diposisikan sebagai siswa kelas atas, sedangkan siswa kelas bawah
hanya menjadi obyek yang diceritakan.
Gambar-gambar ilustrasi juga
menghadirkan banyak kondisi orang-orang kaya. Aksesori rumah orang-orang kaya
(garasi, akuarium, kulkas, dan mobil) menghiasi banyak gambar dalam BSE KTSP.
Suasana pesta ulang tahun juga
menghiasi halaman-halaman dalam BSE, seolah-olah ritual ulang tahun menjadi
ritual wajib bagi anak-anak kita.
BSE K13
Ketika KTSP dihapus dan
digantikan dengan K13, keberadaan kekerasan simbolik ini ternyata tidak
terhapus begitu saja. Ini menjadi fenomena yang masih mewarnai banyak BSE
K13.
Perbedaannya hanya pada masalah
metode penyampaian yang menggunakan pendekatan tematik, tetapi kekerasan
simbolik masih mengalir jelas dalam BSE K13. Apabila ini realitasnya,
sebenarnya K13 diciptakan untuk siapa?
Bahkan, dalam beberapa BSE
dijumpai iklan terselubung yang secara jelas menyebutkan serta menampilkan
merek produk dan program acara televisi tertentu. BSE yang seharusnya netral
justru disusupi kepentingan para kapitalis.
Apabila K13 diklaim sebagai
kurikulum yang mengedepankan aspek pendidikan nilai atau pendidikan karakter,
pertanyaannya selanjutnya, karakter seperti apa yang ingin ditawarkan K13?
Beberapa BSE juga mengandung
bias agama tertentu. Ini tecermin dalam gambar model yang mengenakan jilbab,
serta dijumpai dalam teks yang menunjuk pada aktivitas agama tertentu
(shalat).
Hal ini bukanlah masalah,
tetapi ini akan menjadi masalah manakala tidak disampaikan secara
proporsional. Mengapa hanya atribut Muslim yang ditampilkan secara jelas,
sementara atribut orang Nasrani, Hindu, atau Buddha tidak tampak?
Ada baiknya BSE harus dikaji
secara sosiologis. Analisis kelas dalam penyampaian materi atau bahan ajar di
sekolah harus mendapat perhatian agar
materi belajar tidak mengandung bias kelas yang menyudutkan atau
mengeliminasi kelas sosial tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar