Minggu, 02 November 2014

Pesan untuk Mendikbud Baru

Pesan untuk Mendikbud Baru

Yohanes N Widiyanto  ;  PhD Candidate/The Ohio State University,
Dosen Unika Widya Mandala Surabaya
KORAN TEMPO, 31 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pemerintahan baru Jokowi-JK dihadapkan pada kendala fiskal untuk memenuhi keinginan mereka dalam memenuhi janji-janji kampanye. Kendala ini tak terlepas dari beberapa pos anggaran yang memang sudah diplot, termasuk anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan, sebagaimana amanat UUD 1945 hasil amendemen.

Salah satu pos yang menyita anggaran besar adalah dana untuk sertifikasi guru yang mencapai Rp 60,5 triliun dalam APBN 2014, sebuah kenaikan fantastis 50 persen dari tahun sebelumnya dan diperkirakan terus membengkak setiap tahunnya. Dana sertifikasi yang dibagikan kepada guru pada setiap bulannya tersebut setara dengan perbaikan 302.500 sekolah atau ratusan juta penyertaan orang miskin dalam BPJS atau ribuan kilometer jalan baru. Ini salah satu contoh dari investasi begitu besar yang akan sia-sia jika tanpa pemikiran matang dan kerja efektif dalam mengawalnya.

Alih-alih melihat fantastisnya anggaran pendidikan, Anies Baswedan, sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru, menyatakan pendidikan bukanlah investasi (detik.com/Oktober 28) saat ditanya apa target kerja dalam 100 hari pertama. Walaupun ada kebenaran dalam pernyataannya, hal ini justru berkebalikan dengan pemikiran Andy Hargreaves dan Michael Fullan, dua pendidik terkemuka abad ini, yang menulis buku Professional Capital (2013). Mereka mengajak kita semua berpikir bak seorang ekonom bahwa pendidikan adalah sebuah investasi.

Tapi, kedua pendidik ini mengingatkan bahwa ada dua arus besar dalam menyikapi pendidikan sebagai investasi, yaitu: business capital (permodalan berbasis bisnis) dan professional capital (permodalan berbasis profesionalisme).

Pada arus pemikiran pertama ini, para pembuat kebijakan hanya melihat kepentingan jangka pendek dalam merumuskan kebijakan pendidikan: sekadar mempekerjakan tenaga guru muda yang mau digaji kecil, menggunakan teknologi sebanyak-banyaknya sehingga kehadiran guru bisa diminimalkan, dan memberikan para guru rasa ketakutan akan kehilangan pekerjaannya, agar mereka mau bekerja lebih keras.

Arus pemikiran kedua adalah permodalan berbasis profesionalisme yang bertujuan membangun sistem yang mampu menghasilkan guru berkualitas dan berkomitmen untuk profesinya. Dalam bahasa sehari-hari, tujuan yang ingin dicapai adalah teaching like a pro, alias bukan amatiran. Laiknya seorang CEO perusahaan terkemuka, Mendikbud baru harus mampu mengajak pemangku kepentingan yang lain untuk berpikir bagaimana investasi yang luar biasa besar ini menguntungkan dalam jangka panjang dan mampu menggerakkan kembali investasi baru.

Lebih jauh, Hargreaves dan Fullan menyatakan professional capital yang menjadi alat keberhasilan pendidikan terdiri atas tiga modal, yaitu human capital (modal manusia), social capital (modal sosial), dan decisional capital (modal keputusan). Modal manusia menunjuk pada profesionalisme pribadi para guru itu sendiri yang sudah terurai dengan bagus dalam UU Guru dan Dosen.

Akan tetapi, pemerintah sebagai regulator juga harus tegas dalam menentukan kelayakan kompetensi guru. Pengalaman uji kompetensi awal (UKA), di mana pemerintah membatalkan aturan bahwa UKA adalah syarat untuk sertifikasi guru setelah melihat hasil yang mengecewakan, merupakan salah satu contoh bahwa guru tidak dijaga mutu pribadinya.

Lebih daripada sekadar tugas pemerintah, pihak yang pertama-tama harus menjaga marwah profesionalisme guru adalah para guru sendiri. Para guru harus sadar bahwa mereka adalah satu-satunya pekerja sosial yang mendapat keistimewaan tunjangan sertifikasi.

Modal kedua adalah modal sosial yang menunjuk pada kualitas dan kuantitas interaksi serta hubungan sosial antarguru dan segenap pemangku kepentingan pendidikan. Selama ini yang menonjol dari perjuangan organisasi guru adalah memperjuangkan gaji dan status sebagai pegawai negeri semata. Mereka menutup mata apakah para anggota yang diperjuangkan itu memang layak menjadi guru profesional atau tidak.

Modal yang ketiga, decisional capital, adalah kemampuan para guru untuk mampu membuat keputusan yang prima dalam menjalankan profesinya dan tidak semata-mata berpedoman pada tupoksi. Di sinilah para guru menyadari harkat-martabatnya sebagai pendidik dan bukan sekadar pengajar.

Alangkah baiknya kalau dana sertifikasi yang mereka terima juga disisihkan untuk membeli dan membaca buku-buku bagus yang akan meningkatkan wawasan dalam mengajar. Lewat refleksi yang terus-menerus, para guru akan semakin tajam dalam menyikapi permasalahan di kelas dan di masyarakat.

Program sertifikasi guru sebagai salah satu investasi pendidikan yang telah menelan biaya sangat fantastis tidak dapat dibiarkan seakan-akan business goes as usual. Ini investasi besar yang harus dikawal sejak sekarang dengan road map yang harus jelas. Wacana professional capital menunjukan pada kita semua bahwa investasi bidang pendidikan menuntut kerja sama dan kerja keras dari semua pemangku kepentingan di negeri ini. Selamat bekerja, Mas Anies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar