Menghalau
Demokrasi Tanpa Hati
Refly Harun ; Pengajar
dan Praktisi Hukum Tata Negara
|
KORAN
SINDO, 31 Oktober 2014
Setelah pertemuan primus
interpares masing-masing kubu, banyak yang mengira persaingan Koalisi
Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR akan reda. Nyatanya,
lakon terbaru kedua kubu menunjukkan hal yang sebaliknya. Jokowi boleh saja
mencairkan kebekuan komunikasi politik dengan mengunjungi Prabowo menjelang
pelantikannya sebagai presiden. Namun, para punggawa kedua panglima tetap
saja bertempur, melanjutkan lakon perseteruan KMP-KIH. Entah kapan
selesainya. Lakon terbaru soal perebutan jatah pimpinan alat kelengkapan DPR.
KMP sudah tak sabar ingin menyapu bersih pimpinan alat
kelengkapan DPR, menyusul dominasi mereka dalam pemilihan pimpinan DPR maupun
MPR. KIH, sebaliknya, ingin mengerem laju dominasi tersebut dengan cara
memboikot sidang paripurna pemilihan (penetapan) alat kelengkapan DPR. Cara
KIH memboikot adalah dengan belum mengirimkan nama-nama anggota DPR yang akan
mengisi alat kelengkapan.
KMP tetap memaksakan penetapan alat kelengkapan DPR karena
menganggap kuorum pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 284
ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR sudah tercapai, yaitu dengan kehadiran
enam fraksi di DPR, yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, dan
PPP. Artinya, kuorum lebih dari setengah jumlah fraksi sudah tercapai,
demikian juga kuorum lebih dari setengah jumlah anggota DPR.
Namun, KIH tetap menganggap kuorum itu tidak tercapai karena
nama-nama alat kelengkapan dari Fraksi PPP tidak sah, tidak mewakili hasil
kongres di Surabaya baru-baru ini, yang juga sudah didaftarkan ke Kementerian
Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sendiri sudah mengeluarkan
surat keputusan akan perubahan kepengurusan tersebut, yang tentu saja
diprotes balik oleh kubu KMP.
Buntut dari semua itu, terbentuknya pimpinan DPR tandingan oleh
kubu KIH setelah sebelumnya menyampaikan mosi tidak percaya kepada pimpinan
DPR yang berasal dari kubu KMP. Hingga tulisan ini dibuat terjadi deadlock.
Celakanya, peraturan tata tertib DPR tidak menyediakan mekanisme untuk
mengatasi jalan buntu tersebut.
Sistem Paket
Keinginan kubu KMP untuk menguasai pucuk-pucuk pimpinan
parlemen, mulai dari ketua-wakil ketua DPR hingga pimpinan alat-alat
kelengkapan, sesungguhnya difasilitasi oleh aturan yang memang sudah salah
dari awal, yaitu pemilihan dengan sistem paket ketika musyawarah-mufakat
tidak tercapai.
Pemilihan model seperti ini, dalam aras persaingan dua kubu yang
permanen, mengakibatkan dampak negatif bagi bekerjanya parlemen dan
keberlangsungan praktik demokrasi. Dengan pemilihan sistem paket, bisa
terjadi fenomena zero sum game, fenomena saling meniadakan. Bila satu kubu
muncul, sudah pasti akan menenggelamkan kubu yang lain. Pemilihan ini juga
memunculkan fenomena the winner takes all, pemenang mengambil semuanya,
seperti halnya sistem pemilu mayoritarian (distrik).
Prinsip pemilihan pimpinan seperti ini sangat bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan prinsip kebersamaan, bukan
invididualisme yang sangat ditentang oleh the
founding parents saat merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Terlebih hal ini
terjadi di rumah rakyat, baik MPR maupun DPR. Kita tahu bahwa MPR dan DPR
adalah representasi dari keberagaman seluruh rakyat.
Keberagaman seluruh rakyat ini harus tecermin pula dari unsur
pimpinan dan alat kelengkapan. Dengan model sapu bersih ala KMP sudah pasti
prinsip representasi dari keberagaman seluruh rakyat tersebut tidak akan
tercapai. Celakanya, celah dominasi ini difasilitasi oleh aturan tentang
pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPR baik dalam undang-undang maupun
tatib DPR. Seperti yang diatur dalam UU Nomor 17/2014 (UU MD3), bila
pemilihan dengan musyawarah-mufakat tidak tercapai, dilakukan pemungutan
suara terbanyak dengan sistem paket.
Karena itu, kita harus kembali kepada prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam prinsip ini, DPR sesungguhnya (seharusnya) hanyalah perpanjangan tangan
dari rakyat, bukan dari fraksi atau elite-elite politik parpol. Bila prinsip
musyawarah-mufakat tidak tercapai, seharusnya dilakukan pemilihan dari dan oleh
anggota. Prinsipnya, one person one
vote, satu anggota satu suara.
Dengan model pemilihan seperti ini bisa dipastikan tidak akan
terjadi dominasi satu kelompok terhadap pemilihan unsur pimpinan yang lebih
dari satu orang. Bisa saja kelompok mayoritas memenangkan suara terbanyak
pertama, tetapi suara terbanyak kedua atau ketiga pasti milik kelompok
politik lain. Dengan demikian, bila jumlah pimpinan alat kelengkapan sebanyak
empat orang, sapu bersih tidak akan terjadi. Kubu-kubu yang ada di DPR tetap akan
terwakili dalam alat kelengkapan.
Pemilihan Anggota Lembaga
Independen
Prinsip one person one vote harus berlaku pula untuk pemilihan
pejabat-pejabat publik yang harus melalui pemilihan (seleksi) oleh DPR
nantinya, seperti para anggota KPU, Bawaslu, KPK, dan sebagainya.
Selama ini, pemilihan dengan sistem paket telah membuat
calon-calon terbaik tidak terpilih, karena tidak masuk dalam paket yang
dipilih oleh DPR. Sering dalam beberapa kesempatan saya mengatakan, dalam
pemilihan atau seleksi di DPR, makin seorang calon independen, kredibel, dan
berkualitas, makin dia tidak terpilih. Orang yang terpilih biasanya calon
yang mau berkompromi dengan DPR.
Selama ini model pemilihan seperti tidak bermasalah karena
umumnya semua kekuatan fraksi terwakili, tidak ada pengelompokan politik yang
ekstrem seperti KMP versus KIH. Yang berlaku adalah aliran-aliran politik
seperti berasal dari NU, Muhammadiyah, HMI, GMNI, dan sebagainya.
Aliran-aliran politik tersebut menyebar di banyak partai, tidak mengumpul.
Pemilihan dengan model paket selama ini diletakkan dalam
kerangka persaingan KMPKIH, tentu akan memunculkan dominasi satu kelompok
saja yang kebetulan menguasai suara mayoritas. Bisa KMP, bisa KIH. Yang
jelas, dominasi kelompok mana pun menjadi tidak sehat.
Fenomena ini tidak mencerminkan tradisi berdemokrasi Pancasila,
tetapi sekadar demokrasi pancaindra, yaitu mengambil keuntungan berdasarkan
sinyal yang disampaikan oleh pancaindra, baik itu penglihatan, pendengaran,
ucapan, penciuman, maupun rabaan tanpa melibatkan hati.
Demokrasi pancaindra hanya mewadahi kepentingan jangka pendek
sebatas apa yang bisa dirasakan oleh indra kita. Kita harus menghalau
tumbuhnya demokrasi seperti ini. Tidak peduli siapa yang diuntungkan antara
KMP dan KIH, karena tanpa hati demokrasi kita akan mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar