Musyawarah
dan Voting
Margarito Kamis ; Doktor
Tata Negara,
Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 31 Oktober 2014
Musyawarah dan voting selalu terasa merdu dan syahdu didengar
kala panggung kehidupan berbangsa dan bernegara merindukan
keputusan-keputusan besar.
Kini, entah karena rindu itu atau bukan, kedua kata itu
didendangkan sedemikian hebatnya oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan
Koalisi Merah Putih (KMP). KIH dan KMP, dua poros kekuatan politik besar yang
terbentuk, entah disengaja atau tidak, yang kini menghiasi, tidak hanya di
kehidupan DPR, melainkan juga bangsa ini, jujur bukan tak memiliki faedah
demokratis. Kelak gejala ini dapat meneguhkan prinsip pemerintahan partai,
tetapi ambisi yang menyala-nyala bisa menjungkirbalikkan semuanya.
Mengelola Ambisi
KIH, untuk sebagian orang ditahbiskan sebagai pendukung
pemerintah, nyatanya mengalami kekalahan beruntun dalam sejumlah isu di DPR.
Sebaliknya KMP, yang ditahbiskan bukan lawan, melainkan pengimbang
pemerintah, terus menang dalam serangkaian pertempuran di DPR.
Menang kalah, adu kuat, kuat-kuatan, tak terasa kini muncul
menjadi tabiat politik dalam pertempuran itu. Akankah tabiat yang mulai menggejala
ini melembaga dalam kehidupan ketatanegaraan dan politik, khususnya di DPR?
Rasanya tabiat itu bukan sesuatu yang pantas dirindukan.
Yang dirindukan orang, tentu sesuai akal sehat, tidak lain
adalah ditemukannya cara-cara berkelas khas orang-orang berkelas
menyelesaikan soal-soal besar. Partai politik, dan orang partai yang
kebetulan menjadi anggota DPR, tak hanya harus berjibaku dengan
keharusan-keharusan konvensional untuk mengagregasi dan memformulasi kemauan
rakyat yang beragam itu, melainkan lebih dari itu.
Mereka harus menemukan halhal menawan, mengagumkan, bahkan
membuat orang takjub untuk didedikasikan kepada bangsa ini. Bangsa bukan
sekadar satu kesatuan hukum, apalagi administrasi, tetapi juga satu kesatuan
budaya, kesatuan rasa tentang hari esok yang indah nan gemilang dalam semua
aspek.
Deliberasi rasa itu, mau atau tidak, suka atau tidak, harus
dikenali dengan sungguh-sungguh oleh partai politik, dan orangorang partai di
DPR untuk dirumuskan dan diputuskan untuk dikerjakan pemerintah, dan
mengawasinya. Diakui, rasa dan mimpimimpi itu tidak selalu mudah dirumuskan
dan diberi bentuk. Perkaranya sederhana, selalu ada ambisi dari setiap partai
atau anggota DPR, entah karena ideologi atau hal lainnya.
Ambisi-ambisi ini, apa pun yang merangsangnya, mau atau tidak,
harus dikelola. Ambisi, mungkin seperti tesis Alexander Hamilton, salah
seorang eksponen kenamaan dalam Phliadelphia Constitutional Convention 1787, harus dilawan dengan ambisi pula. Menghadap-hadapkan ambisi
dengan ambisi, tentu bertujuan agar ambisi itu tidak berubah menjadi tirani;
mayoritas atau minoritas.
Berhasrat semulia itu, mengantarkan para perumus konstitusi
Amerika menemukan cara rumit, tetapi gemilang. Caranya adalah memberi
kerangka normatif atas ambisi-ambisi itu melalui hukum, konstitusi. Kerangka
normatif itu berfungsi sebagai pemandunya. Musyawarah mufakat atau voting
adalah cara mengelola ambisi-ambisi, yang diberi kerangka kerja normatif.
Kerangka kerja normatif itu dirumuskan sangat eksplisit dalam UU
Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sering disebut UU MD3.
Kepatuhan pada kerangka kerja ini akan menjadi tabiat indah dan memberi
sumbangan signifikan atas mekarnya elan esensial demokrasi-harkat dan martabat
manusia.
Renungkan dan Kenalilah
Bukan karena bermusyawarah itu sama maknanya dengan mendekatkan
yang jauh, mempersempit perbedaan dan menemukan titik temu yang elok,
melainkan bermusyawarah juga sama maknanya dengan mendemonstrasikan elan
kesantunan dan keagungan budi demokrasi.
Berdemokrasi bukan sekadar menata kelembagaan, tetapi
berdemokrasi juga sama maknanya dengan memanggungkan kerinduan akan hidupnya
akal budi. Memandu kehidupan kebangsaan dengan akal budi, yang dalam kasus
kita terpancar dari sila demi sila dalam Pancasila, memang tidak selalu harus
memutuskan hal ihwal berbangsa dan bernegara dengan cara musyawarah untuk
mufakat. Tetapi tetap saja harus diusahakan sekuat tenaga, sesungguh-
sungguhnya.
Kala tak berujung manis, maka memutuskannya dengan cara
pemungutan suara, voting, harus dilihat sebagai cara yang sama manisnya dalam
esensi. Bangsa ini indah karena pernah dilintasi dengan cara itu. Rapat
Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 11Juli 1945, yang
dipimpin Bung Karno, proklamator dan negarawan yang dikagumi dunia ini,
pernah menggunakannya.
Dikutip oleh Mohammad Yamin dalam bukunya, Naskah Persiapan UUD
1945, sebagai berikut. Ketua: mengulangi lagi bahwa kalimat itu kompromistis
antara golongan kebangsaan dan Islam, yang hanya didapat dengan susah payah.
Oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok
dalam Preambule dianggap diterima.
Usai mengemukakan kalimat itu Bung Karno melanjutkan, yang dalam
kata-katanya tergambar, betapa hal yang diputuskan itu diambil dengan cara
voting. Kata Bung Karno, dimajukan soal pimpinan negara di tangan satu orang
atau beberapa orang, panitia menyetujui satu orang, diterima dengan 10 suara
setuju, 9 suara tidak setuju. Dimajukan soal nama kepala negara, nama
presiden diterima oleh panitia dengan 12 suara (Mohammad Yamin, Jilid I, 1952, halaman 259).
Kenalilah sejarah seanggun dan semenawan itu, resapilah
hakikatnya dan agunglah seutuhnya, niscaya tidak muncul rasionalitas tirani
minoritas dan mayoritas. Keagungan sejarah itu tak memungkinkan 200 orang
anggota DPR, sebut saja begitu, mungkin yang tergabung dalam KIH hanya datang
pada saat paripurna. Tetapi membuat DPR baru, tandingan, sama dengan meminta
pemerintah berhenti bekerja. Itu lantaran skema relasi fungsi konstitusional
hanya memungkinkan pemerintah bekerja dengan satu organ DPR.
Konstitusionalisme ini mesti dirawat dengan akal budi demokrasi.
Kisruh ini, jujur mesti diakhiri, dan untuk tujuan itu, hidupkanlah akal budi
demokrasi. Mengawasi pemerintah itu penting, sama pentingnya dengan saling
mengawasi dalam organ legislatif. Jangan undang datangnya tirani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar