Mengapa
Berebut Jabatan?
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 31 Oktober 2014
Untuk mengisi jabatan RT sebagai alat kelengkapan kelurahan,
banyak orang mengelak dan menolak. Tetapi ketika memperebutkan kursi pimpinan
DPR, politisi kita sangat bersemangat. Sampaisampai terjadi hujan interupsi,
meja terbalik, dan pimpinan sidang dikejar-kejar. Pokoknya, heboh dan
memalukan sehingga mampir pikiran negatif, wajar mereka berperilaku begitu
karena sebagian dari mereka lolos ke Senayan modalnya membeli suara rakyat,
bukan dukungan rakyat secara tulus dan murni.
Hal yang juga seru dan menarik perhatian masyarakat adalah
proses perebutan dan pemilihan posisi menteri. Masyarakat pun mendugaduga,
siapa-siapa saja sesungguhnya yang memiliki kekuatan dan kewenangan paling
besar dalam pemilihan menteri? Tentu saja tidak mungkin ada jawaban dan
penjelasan terhadap pertanyaan ini.
Yang kemudian beredar adalah rumor dan informasi setengah
rahasia yang beredar sambung-menyambung sehingga menjadi gosip politik yang
penuh bumbu penyedap, there is no such
free lunch in the world.
Untuk apa sebuah jabatan politik" Jawaban normatifnya
adalah sebagai sarana untuk memajukan bangsa, mengabdi pada kepentingan
rakyat banyak. Dalam teks sumpah jabatan secara tegas dinyatakan, "Saya
akan lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan
sendiri." Juga disebutkan, "Saya tidak akan menerima pemberian sesuatu
apa pun juga yang dapat atau patut diduga bahwa ia memiliki hubungan dengan
jabatan saya."
Jadi, secara normatif jabatan birokrasi pemerintahan itu
instrumen politik yang mulia dan mesti dijaga dari intervensi kepentingan
pribadi. Dengan demikian, siapa yang memperebutkan jabatan politik seperti
menteri, mestilah mereka yang hati, pikiran, dan orientasi hidupnya memang
diabdikan untuk kepentingan bangsa dan rakyat. Imbalannya secara materi
adalah gaji dan fasilitas yang sudah ditetapkan oleh peraturan negara. Kalau
saja memang memiliki tekad untuk mengabdi, tanpa mesti korupsi sudah bisa
melaksanakan tugas mulia dengan baik. Tugas mulia itu jangan dirusak oleh
pikiran dan tindakan yang hina, yaitu korupsi.
Kita sudah pasti tidak bisa membaca secara persis, apakah
sesungguhnya motif dominan dari mereka yang berebut jabatan tinggi negara
itu. Bisa saja di antara mereka semata menjalankan tugas parpol untuk
berpartisipasi, power sharing, membangun bangsa. Tetapi mungkin bisa saja
terjadi, yang dominan adalah motif pribadi, lalu berusaha menempel minta
restu dan dukungan parpol agar mendapatkan endorsement masuk jajaran kabinet.
Apa pun motif dan jalur yang ditempuh sesungguhnya baik dan
mulia sepanjang memiliki kompetensi, integritas, dan ketulusan niat untuk
melayani dan membela kepentingan rakyat. Adapun hasilnya kita tunggu saja
karena mereka baru mulai. Mengenai suara pro-kontra, itu hal yang lumrah dan
biasa saja. Tidak mungkin seorang presiden dan jajaran kabinetnya mampu
memuaskan semua pihak. Tetapi yang pasti rakyat menunggu kinerja mereka.
Kalau mengecewakan, siap-siap saja menerima kritik dan hujatan, terutama dari
kalangan rakyat dan relawan yang telah berkorban mengikuti aturan demokrasi
serta taat hukum dalam proses pemilu untuk mendukung jagonya.
Berita baru dalam proses seleksi menteri kali ini adalah adanya
keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah menimbulkan
prokontra. Sisi positifnya, ini menunjukkan bahwa pasangan Jokowi-JK telah
berusaha mencari para pembantunya yang bersih, bebas dari korupsi. Apakah
usaha ini betul-betul tercapai dan terpenuhi, semoga saja begitu. Yang lebih
tahu adalah KPK dan PPATK.
Jika betul ada calon-calon yang terkena rapor merah dari KPK,
masyarakat akan menagih, kapan orang-orang itu akan diproses oleh KPK? Kalau
ternyata tidak diproses, maka KPK melakukan pembiaran terhadap pelaku
korupsi. Atau jika posisi rapor merah itu sekadar peringatan dan sinyalemen
yang belum dibuktikan lewat pengadilan, janganjangan ada orang-orang tertentu
yang merasa diganjal kariernya untuk duduk sebagai menteri.
Saya sendiri punya pengalaman sebagai panitia seleksi (pansel)
KPK maupun komisioner lain, sungguh tidak mudah mencari tokoh yang andal,
baik dari segi kompetensi, integritas, dan bebas dari korupsi. Sekarang ini
pun status saya masih sebagai anggota pansel KPK, mencari dua orang dari 104
pelamar yang masuk. Dua orang calon itu sudah diserahkan pada presiden, untuk
diteruskan ke DPR selanjutnya dipilih satu dari dua calon.
Berdasarkan pengalaman sebagai anggota pansel, orang yang bersih
dari korupsi itu paling mudah dicari dari mereka yang belum pernah menduduki
jabatan yang bertanggung jawab mengelola dana besar, sampai ratusan miliar
atau triliunan. Tetapi pertanyaannya, apakah jaminannya seseorang akan tetap
jujur dan tahan godaan korupsi jika nantinya sudah duduk dalam satu jabatan
yang penuh fasilitas negara?
Di lain pihak, orang yang pernah menduduki jabatan tinggi dan
menunjukkan prestasinya, ibarat mobil, pasti tidak lagi bersih dan mulus
karena terkena debu dan lumpur. Di samping memang ada yang sengaja dan senang
bermain lumpur. Tugas pansel adalah bagaimana mencari tokoh calon pejabat
tinggi negara yang tidak terjerat oleh jebakan itu. Mereka yang sudah teruji
oleh waktu dan jabatan, menunjukkan prestasi, namun tetap mampu menjaga
integritas dan stamina untuk selalu berkreasi dan berprestasi.
Jika orang berebut jabatan lebih didominasi oleh motif
kepentingan diri dan kelompok, slogan semacam "restorasi" atau pun
"revolusi mental" hanya berhenti sebagai slogan dan akan menjadi
bahan olokan sinisme sebagaimana nasib semboyan: Katakan TIDAK pada korupsi,
oleh Partai Demokrat. Karena itu, para parpol pendukung koalisi pemerintah
mesti ikut menjaga, memperingatkan, dan mendukung orang-orangnya untuk hidup
bersih dan berprestasi. Rakyat sekarang lebih cerdas, berani dan akan selalu
ikut mengawasi jalannya pemerintahan. Bahkan juga mengawasi kinerja wakilnya
yang duduk di Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar