Minggu, 02 November 2014

Mendobrak Formalitas

Mendobrak Formalitas

Anton Kurnia  ;  Lulusan SMA, Editor-in-Chief Penerbit Serambi
KORAN TEMPO, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Salah satu karakter menonjol dari Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah keberanian mendobrak formalitas. Itu sudah tampak sejak pengumuman para menteri di Istana Merdeka, 26 Oktober lalu. Pada momen itu, para menteri terpilih tampil senada dengan kemeja putih yang tampak kasual dengan lengan tergulung dan sebagian dibiarkan lepas ujungnya, tak dimasukkan ke pantalon. Gaya bersahaja ini memberi kesan kesiapan bekerja keras tanpa terhambat oleh formalitas. Gestur yang seakan-akan menafikan aturan formal itu memang telah lama melekat pada sosok Jokowi.

Saat pelantikan anggota kabinet, 21 Oktober, suasana formal yang biasanya disimbolkan dengan seragam setelan jas para menteri (khususnya untuk pria) juga diterobos dengan kode busana yang berbeda, tapi justru sebetulnya lebih bernuansa Indonesia, yakni batik bernuansa cokelat yang sengaja tidak dibikin seragam. Selain mencerminkan budaya khas Indonesia (batik) dan melambangkan keragaman Nusantara (tampak dari corak yang beraneka), baju batik lebih nyaman dipakai ketimbang setelan jas double breast gaya Eropa di iklim tropis seperti Indonesia yang cenderung panas.

Aroma keberanian mendobrak formalitas juga tampak dari para menteri yang dipilih Jokowi sebagai pembantunya. Ini terutama berlaku bagi sosok Susi Pudjiastuti, pengusaha perikanan dan penerbangan berlatar otodidak, yang dipercayai memimpin Kementerian Perikanan dan Kelautan. Penunjukan Susi memicu kontroversi karena dia "hanya" lulusan SMP. Ditambah lagi dengan kepribadiannya yang nyeleneh: bertato (saat dilantik menjadi menteri, rajahan di betisnya tersingkap dari balik kain batiknya) dan perokok (dia diwawancarai wartawan sambil lesehan dan merokok di halaman Istana Merdeka).

Pendobrakan formalitas yang sesuai dengan semboyan "revolusi mental" itu tentu mengejutkan mereka yang terbiasa oleh simbol-simbol formal dan kultur basa-basi yang menafikan substansi.

Sayangnya, alih-alih menyorot program kerja, keributan di seputar Susi lebih mengarah ke sosok pribadi. Hal itu berkaitan pula dengan kebiasaannya yang konon kerap tampil tanpa bra-yang dianggap tak senonoh-dan pernikahannya yang ketiga dengan seorang pilot berkebangsaan Jerman-yang dianggap sebagai bukti bahwa dia tidak nasionalis. Tapi yang paling kontroversial tentu saja pendidikan formalnya yang dianggap amat rendah dan karena itu kompetensinya diragukan.

Sesungguhnya, fenomena Susi, yang tak menyelesaikan pendidikan SMA untuk terjun ke sekolah kehidupan sebagai entrepreneur dan merintis usaha dari bawah sebagai pengepul ikan di pantai Pangandaran, hingga berhasil menjadi eksportir udang dan memiliki maskapai penerbangan Susi Air, justru menunjukkan kehebatannya sebagai seorang manajer serta pribadi yang gigih dan mau bekerja keras demi mencapai keberhasilan. Seperti pernah dinyatakan Tan Malaka, ijazah hanyalah tanda kecakapan. Namun keberhasilan dicapai melalui kemauan untuk bekerja dan pengabdian.

Selayaknya, kita sambut kabinet ini dengan harapan agar mereka mampu bekerja keras demi kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, mari kita nilai para menteri dari kinerja mereka, bukan dari simbol-simbol formal yang acap menipu dan menyesatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar