Minggu, 02 November 2014

Parlemen Terbelah?

Parlemen Terbelah?

Arya Budi  ;  Research Associate Poltracking Institute
KORAN TEMPO, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Kemenangan Koalisi Pendukung Prabowo (KPP)-Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, dan PAN-yang berkekuatan 56 persen kursi parlemen, melumat habis posisi pimpinan DPR, MPR, dan alat kelengkapan Dewan mengingatkan saya akan tesis Jeffry Winters (2011: 273) bahwa "[setelah Orde Baru] para oligark pribumi mulai menanamkan sumber daya cukup besar dalam politik partai."

Penanaman sumber daya itu kini paling tidak memasuki "masa panen" di parlemen. Pada saat yang sama, Koalisi Indonesia Hebat-PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP-yang hanya berkekuatan 44 persen kursi mulai terkonsolidasi dengan semangat sama: menguasai kendali palu sidang. Dualisme pimpinan DPR menjadi diskursus selanjutnya akibat kekuatan fraksi yang imbang dari 10 fraksi DPR. Dasarnya, Tata Tertib DPR (Pasal 251 ayat 1) yang mengamanatkan kuorum fraksi, bukan sekadar anggota. Terlepas dari prospek politik parlemen yang cenderung destruktif alih-alih produktif, dua blok politik di parlemen kini seolah terkonsolidasi dan mengkristal ke dalam pelembagaan politik baru.

Tentu, terlalu terburu-buru memproyeksikan bipartisme semu di Indonesia saat ini akan mengkristal layaknya Demokrat-Republik di Amerika. Alasannya sederhana: dua blok politik ini bukan lahir dari sentimen ideologis yang sama, tapi lebih pada sentimen kalah-menang. Sentimen sakit hati bisa jadi bukan soal kalah kompetisi, tapi juga akibat gagalnya komunikasi para pimpinan koalisi.

Dalam model kompetisi bipolar ini, meminjam istilah Sartori (1976), competition yang ada akan mempunyai derajat competitiveness yang tinggi karena konfrontasi aktor dan partisipan di ekstra-parlementer terkanalisasi pada dua kutub. Pada saat yang sama, fakta politik saat ini mengklarifikasi tesis politik kartel. Tesis bahwa tidak ada kompetisi dalam post-election politics di Indonesia, karena partai dan elite berbagi sumber daya dengan nalar kartel Kuskridho Ambardi (2009), menjadi tidak relevan-paling tidak untuk periode politik saat ini.

Sebaliknya, drama parlemen sejak periode pemilihan presiden hingga kini menampilkan perwatakan kanibalistik partai "memakan" partai. Blok politik mayoritas yang telah memenuhi 50 persen+1 melumat habis posisi kunci di parlemen sambil terus menarik "elite mengambang" masuk dalam sentimen "barisan sakit hati". Tentu, sekalipun ada sedikit irisan, ideologi dan platform partai tidak menjadi basis yang terlalu penting sebagai kausalitas dan mesin survival koalisi, baik koalisi pemerintahan maupun non-pemerintah.

Dalam konteks sistem presidensialisme di Indonesia, komisi-komisi di DPR saat ini bisa jadi adalah alat kelengkapan "siluman" dengan nalar kerja kabinet bayangan atau shadow cabinet. Siluman karena kabinet bayangan terjadi di negara dengan sistem parlementer. Kabinet bayangan biasa dibentuk tak lama setelah kabinet koalisi partai pemerintahan terbentuk. Kabinet bayangan biasanya efektif berjalan dalam sistem pemerintahan parlementer atau sistem kepartaian dua partai dengan hanya ada dua fraksi di parlemen: fraksi partai atau koalisi partai pemerintah, dan fraksi partai atau koalisi partai oposisi.

Di Inggris, misalnya, kursi anggota parlemen "terbelah" menjadi dua: di sisi kanan seorang parliament speaker adalah fraksi pemerintah, dan di sisi kiri parliament speaker adalah fraksi oposisi. Hal ini penting karena dalam sistem politik Westminster-seperti terjadi di Inggris, Australia, Kanada, atau Selandia Baru-struktur susunan komposisi kabinet bayangan yang dibentuk oleh partai non-pemerintah hampir benar-benar mereplikasi kabinet pemerintahan dari partai atau koalisi partai yang memimpin. Artinya, menteri pemerintahan benar-benar "diawasi" oleh menteri bayangan alias shadow minister.

Wacana KPP tempo hari untuk memekarkan sebelas komisi DPR yang ada-"disesuaikan" dengan arsitektur kementerian Jokowi-JK-dan rencana revisi atas 122 undang-undang adalah pertanda penting bekerjanya nalar shadow. Lembaga legislatif bersifat otoritatif akibat penguasaan palu sidang di bawah kendali segelintir oligark yang terkonsolidasi tunggal. Pengambilan keputusan parlemen kolektif kolegial parlemen hanya dalam proses, sementara keputusan sidang sudah bisa ditebak karena kursi "kiri" lebih banyak daripada kursi "kanan" di semua alat kelengkapan hingga pimpinan dewan.

Jika koalisi Jokowi-JK tak terkonsolidasi dan agenda pemerintah tak bertemu dengan kepentingan politik koalisi partai non-pemerintah, yang dominan dan terus mengkristal terkonsolidasi, Jokowi-JK berpotensi terganjal. Akibat kekuatan kursi koalisi pemerintah di parlemen yang tak sampai 50 persen, jadilah mereka minority government (Linz, 1990). Jokowi mau tak mau harus mampu mengubah divided government ini menjadi divided we govern. Jika tidak, mungkin saja pengalaman Amerika pada 2013 lalu terjadi di Indonesia: government shutdown. Pelayanan birokrasi pemerintahan berhenti akibat deadlock antara pemerintah dan parlemen dalam penyusunan anggaran negara alias APBN. Jokowi perlu mengubah komunikasi politik antara pemerintah dan parlemen yang terbelah menjadi "terbelah kita memerintah".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar