Kolom
Agama
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
15 November 2014
Petugas Hansip melapor ke Ketua RT: barusan ada
warga yang meninggal dunia.
Ketua RT:
"Mari kita urus jenazahnya. Dimandikan, disalatkan di masjid."
Hansip:
"Dia bukan orang Islam, Pak."
Ketua RT:
"Oh, kalau gitu kita minta tolong gereja."
Hansip:
"Anu... Pak RT, dia bukan Kristen."
Ketua RT:
"Ya sudah, biar diurus di pura saja."
Hansip:
"Dia juga bukan Hindu, Pak."
Ketua RT:
"Begini saja. Kita cari biksu sekarang juga."
Hansip:
"Masalahnya dia juga bukan Buddha."
Ketua RT mulai bingung. "Lha, terus agamanya apa?"
Hansip:
"Kolom agama di KTP-nya kosong, Pak!"
Ketua RT putus asa. "Kalau begitu, kirim ke Kementerian Dalam Negeri saja."
Lelucon
yang beredar di media sosial itu mewakili hobi baru politikus kita: bermain
plesetan. Yang sudah gamblang digelincirkan sehingga tak sesuai dengan
keadaan sebenarnya. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang mengutip bunyi
undang-undang administrasi kependudukan tentang pengosongan kolom agama pada
KTP, mendadak dibuat seperti orang yang paling bersalah.
Kementerian
Dalam Negeri, yang mengurus KTP dan sama sekali tak mengurusi jenazah,
tiba-tiba diposisikan sebagai lembaga yang tak peka terhadap hal-hal
sensitif.
Plesetan
tak sampai di situ. Tjahjo bicara pengosongan kolom agama pada kartu tanda
penduduk bagi penganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui negara.
Tapi kritik yang datang bukan soal "pengosongan", melainkan
"penghapusan". Padahal tak ada yang berencana menghapus kolom agama
itu.
Lalu
politikus lain bicara tentang agama sebagai identitas dan, menurut dia, wajib
tertulis di KTP. Seolah-olah tak mengisi kolom agama pada KTP itu membuat penduduk
kehilangan identitas.
Politikus
itu jelas tak membaca Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang sudah diperbarui pada 2013 dan sekarang berlaku. UU itu
tegas membolehkan pengosongan kolom agama. Tapi yang diperbolehkan hanya
penghayat kepercayaan di luar enam agama yang diakui negara.
Berlakunya
undang-undang administrasi kependudukan itu sebenarnya mengurangi perlakuan
diskriminatif negara terhadap pengamal kepercayaan "di luar enam"
selama ini.
Sejak
Indonesia merdeka, mereka boleh tak menuliskan agama pada KTP. Tapi pada
1967, dengan alasan menekan paham komunis, semua pemegang KTP diwajibkan
mengisi kolom agama. Akibatnya, pengamal kepercayaan dipaksa mencantumkan
salah satu "agama resmi" pada KTP mereka. Tak hanya itu, anak-anak
mereka juga harus mengikuti pendidikan "agama resmi" di sekolah.
UU
Administrasi Kependudukan Nomor 23/2006 sesungguhnya mengkoreksi keadaan
buruk itu. Pengamal kepercayaan boleh mengosongkan kolom agama pada KTP. Aneh
juga bila politikus zaman reformasi seakan hendak membawa masalah ini mundur
ke zaman Orde Baru.
Lagipula,
Indonesia sudah memberlakukan e-KTP. Jangankan data agama, data pribadi apa
pun tentang pemegang KTP bisa dihimpun dalam chip yang ada. Tapi, agar
tampilan KTP enak dipandang, tak penuh sesak, cukup data penting saja yang
ditampilkan: nama, alamat, serta tempat dan tanggal lahir. Brunei dan
Malaysia melakukan hal itu.
Plesetan
itu, selain mengaburkan, membuat prioritas menjadi kacau-balau. Bukankah
dugaan korupsi megaproyek e-KTP lebih urgen ketimbang berdebat kolom agama
yang sudah terang-benderang diatur undang-undang? Memberesi server chip e-KTP
yang ternyata ada di negara lain jelas lebih mendesak.
Harap
diingat, KTP itu kartu tanda penduduk, bukan biodata penduduk. KTP cukup
dikantongi di saku. Kalau semua data penduduk wajib dicantumkan,
jangan-jangan yang dibutuhkan semacam buku mini, yang dikalungkan pada leher
setiap warga negara dan wajib dibawa ke mana-mana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar