Kembali
ke Jati Diri
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
03 November 2014
”Dari Barat sampai ke
Timur
Berjajar pulau-pulau
Sambung-menyambung menjadi
satu
Itulah Indonesia….”
— Wage Rudolf Supratman
LAUTLAH yang mempersatukan Indonesia, merajut gugusan 17.508
pulau membentuk untaian zamrud khatulistiwa. Dengan garis pantai 54.716
kilometer, terpanjang kedua di dunia menurut mapofworld.com, Tuhan
mengaruniai bangsa Indonesia jalan bebas hambatan tak berbayar, tidak perlu
diaspal atau dibeton, tidak perlu tiang pancang, dan tidak membutuhkan
pembebasan tanah.
Kesadaran itu sudah lama kokoh di bumi Pertiwi. Kejayaan
Sriwijaya pada abad IX dan Majapahit pada abad XIV karena menjadikan laut
sebagai tulang punggung, bukan memunggungi laut. Bangsa kita menggunakan
istilah tanah air untuk tumpah darahnya, bukan padanan dari motherland atau
homeland.
Ketika membuka National
Maritime Convention I (NMC) 1963, Presiden Soekarno dengan lantang
mengatakan, ”Untuk membangun Indonesia
menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan
national building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika
dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan, kita harus menguasai armada
yang seimbang.”
Sejak Orde Baru bias darat sangat kental. Distorsi di hampir
segala aspek kehidupan. Negara kedodoran melindungi tumpah darah Indonesia
dan memajukan rakyatnya.
Kekayaan laut tak tersentuh, bahkan pihak asing leluasa menggasaknya.
Kekayaan alam mengalir ke luar secara ilegal. Industri dalam negeri
kekurangan bahan baku (feed stock).
Orientasi darat juga membuat cara pandang kita cenderung inward
looking (melihat ke dalam). Padahal, sejarah membuktikan bangsa-bangsa di
Nusantara sangat outward looking,
berdagang menjelajah Samudra, lintas benua. Akibatnya, keterbukaan dan
globalisasi lebih dipandang sebagai ancaman, bukan peluang.
Keberagaman sumber daya alam sejumlah daerah tidak bersinergi
mewujudkan potensi keunggulan komparatif Indonesia. Laut diperlakukan sebagai
pemisah pulau-pulau sehingga produksi rakyat menjadi barang non-tradables, tidak banyak yang bisa
diperdagangkan ke luar pulau. Kalaupun mengalir ke luar pulau, disparitas
harga antarpulau sangat lebar, bahkan sampai 10 kali lipat.
Disparitas harga juga terjadi antara barang serupa produksi
dalam negeri dan barang impor. Buah lokal lebih mahal daripada buah impor
karena buah lokal diangkut dari daerah produksi ke daerah konsumen dengan
truk yang berkapasitas sekitar 10 ton. Sementara buah impor diangkut kapal
berkapasitas puluhan ribu ton dengan fasilitas pengatur suhu.
Disparitas ketiga, ongkos angkut mengekspor dari Indonesia
termahal ketiga di kawasan ASEAN, sedangkan ongkos angkut mengimpor termurah
ketiga di ASEAN. Sudah barang tentu daya saing kita tergerus dan puncaknya
sejak tahun 2012 Indonesia mengalami defisit perdagangan barang untuk pertama
kali sejak masa Kerajaan Sriwijaya.
Salah satu tugas utama Menteri Koordinator Kemaritiman adalah
mengikis ketiga disparitas itu. Bayangkan peningkatan kesejahteraan petani
dan konsumen Indonesia jika ketiga disparitas mengecil.
Konvergensi harga di daerah produsen dan daerah konsumen membuat
petani menikmati kenaikan harga berlipat ganda kala panen. Harga di tingkat
konsumen pun turun sehingga bakal cenderung memilih produk lokal ketimbang
produk impor.
Dengan memperlakukan laut sebagai pemersatu pulau-pulau,
perekonomian Indonesia bakal terintegrasi. Tidak lagi tercerai-berai seperti
sekarang. Ongkos angkut dari Jakarta ke Papua tidak lagi 2.000 dollar AS
(sekitar Rp 24 juta) per peti kemas sehingga rakyat Papua tidak harus membeli
semen dengan harga berlipat ganda lebih mahal ketimbang rakyat di Pulau Jawa.
Jika perekonomian Indonesia sudah terintegrasi, tidak ada lagi
kekhawatiran kita bakal terancam memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN akhir
tahun 2015, bahkan globalisasi sekalipun. Keterbukaan dan integrasi dengan
negara sekawasan lebih dipandang sebagai peluang ketimbang ancaman.
Langkah pertama yang harus ditempuh adalah membatalkan proyek
Jembatan Selat Sunda yang nyata-nyata bertolak belakang dengan visi maritim
Presiden Joko Widodo. Proyek Jembatan Selat Sunda sungguh merupakan puncak
sesat pikir pemerintahan sebelumnya yang memandang laut sebagai pemisah
pulau-pulau sehingga harus disambungkan dengan jembatan.
Integrasi perekonomian nasional lewat pengutamaan transportasi
laut bakal membuat industrialisasi semakin tersebar, tidak lagi
terkonsentrasi di Jawa. Selain itu, pembangunan dan distribusi pendapatan
bakal lebih merata.
Semoga perwujudan visi
maritim akan membawa pembangunan Indonesia lebih inklusif dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar