Rabu, 05 November 2014

Bianglala

Bianglala

Trias Kuncahyono  ;  Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 02 November 2014
                                                
                                                                                                                       


20 Oktober 2014. Hari itu bangsa Indonesia menyaksikan peristiwa bersejarah: Presiden dan Wakil Presiden diarak ratusan ribu orang (ada yang menyebut bahkan mencapai sejuta) menuju Istana. Sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin hingga Monas berjubel massa dari berbagai latar belakang, usia, profesi, strata sosial, kelompok masyarakat, daerah, laki-laki dan perempuan, dewasa, dan anak-anak.

Inilah kerumunan massa yang beragam. Ada rakyat biasa—bahkan yang sangat biasa—kaum terdidik, mereka yang tidak sempat atau sebentar menikmati pendidikan, usahawan ataupun buruh, pemilik modal ataupun pekerja, politisi, tentara, bahkan agamawan dari pelbagai agama di negeri ini. Jika dilihat dari spektrum keanekaragaman itu, apa yang terjadi di sepanjang Sudirman-Thamrin-Monas dan Istana bisa disebut sebagai koalisi bianglala. Bianglala yang begitu indah, yang muncul tidak di langit, tetapi di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin-Monas dan Istana. Mereka bersatu kata: mendukung Presiden dan Wakil Presiden baru!

Mereka adalah rakyat. Rakyat yang bersatu, yang ingin menyongsong zaman baru dengan harapan baru. Mengapa mereka turun ke jalan mengelu-elukan Presiden dan Wakil Presiden baru? Rakyat berharap banyak dari Presiden dan Wakil Presiden baru. Harapan tinggi digantungkan pada Presiden dan Wakil Presiden baru. Inilah gerakan rakyat. Sebuah gerakan yang lahir dari kesadaran yang dalam, tanpa paksaan selain kerelaan.

Melihat peristiwa tanggal 20 Oktober 2014, teringat akan peristiwa serupa pada 22-25 Februari 1986 di Manila, Filipina. Pada waktu itu, jutaan rakyat Filipina dan tentara turun ke jalan di Epifano de los Santos Evenue, Metro Manila. Bedanya adalah di Manila, rakyat turun ke jalan menuntut mundurnya seorang presiden, Ferdinand Marcos, dan restorasi demokrasi di negeri itu. Sebaliknya di Jakarta, rakyat turun ke jalan mengelu-elukan seorang Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara demokratis.

Meskipun berbeda, keduanya adalah ungkapan kekuatan rakyat (people power). Menurut James Putzel dalam sebuah kertas kerja berjudul A Muddled Democracy-”People Power” Philippine Style, (Development Destin Studies Institute, November 2001), people power merupakan ekspresi demokrasi yang paling tinggi.

Dalam konteks ini, kiranya people power tidak selalu berarti transisi demokratik dan damai, seperti yang terjadi di Filipina dan di banyak negara lain, setelah peristiwa di Filipina itu. Namun, juga bisa diartikan sebagai ungkapan rakyat terhadap tegaknya sebuah demokrasi. Orang berharap banyak dari demokrasi. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidakadilan dan membuat pengorganisasian kehidupan kolektif menjadi lebih rasional.

Menurut Haryatmoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan, demokrasi sering dianggap akan melindungi kebebasan warga negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, tumplek blek-nya ratusan ribu rakyat Indonesia di Sudirman-Thamrin-Monas dan Istana menjadi ekspresi akan harapan rakyat. Mereka memiliki harapan, bahkan keyakinan, pemimpin baru benar-benar membawa zaman baru.

Kini, pesta telah usai. Biasanya apabila tujuan sudah tercapai, pesta telah usai, maka pudarlah bianglala itu. Semua kembali ke ”tempat” masing-masing dengan kepentingan masing-masing pula yang kadang kala bertabrakan. Namun, tentu, kita tidak berharap demikian. Terutama di antara para politisi bisa terbangun sebuah persahabatan dalam politik, seperti yang pernah dicontohkan para bapak bangsa. Hubungan mereka mengatasi berbagai macam kepentingan pribadi dan kelompok. Artinya, hubungan yang terbangun tidak diwarnai dan diganggu oleh kepentingan primordial, sempit, eksklusif, dan isolatif dalam keseragaman tertentu, apalagi balas dendam.

Namun, apa yang terjadi di Gedung DPR hari-hari ini rasanya jauh dari harapan rakyat. Kegaduhan politik dan pameran kekuatan menang-menangan yang terasa. Semoga saja, akrobat politik di Gedung DPR tidak menjadi dadakan munculnya koalisi bianglala lagi dari rakyat yang ingin mengekspresikan kehendak yang sesungguhnya karena merasa dikhianati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar