Rabu, 05 November 2014

“Extra Mile”

“Extra Mile”

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
KOMPAS, 02 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SEORANG laki-laki muda flamboyan menawarkan sotonya dengan penuh semangat. Ia menawarkan dengan menjelaskan perbedaan berbagai jenis soto yang ada di hadapannya. Saya mendengarkan penjelasannya dan kemudian memutuskan untuk tidak memesan soto itu.

Bekerja sebatas upah

Setelah mengelilingi beberapa kios makanan, saya memilih tahu gejrot sebagai pengisi perut di sore hari itu. Saya memilih tempat duduk secara acak dan mendapatkannya dekat dengan kios segala jenis soto itu.

Seorang ibu datang ke kios soto itu dan menanyai segala jenis soto yang ditawarkan. Seorang wanita muda melayani ibu itu tanpa penjelasan apa pun, berbeda dengan pria muda di atas. Ia hanya menjawab pertanyaan yang diajukan si pembeli tanpa merasa perlu untuk memberikan penjelasan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai penjual.

Bahasa tubuhnya pun tak menyiratkan ia memiliki keinginan untuk meyakinkan pembelinya untuk membeli. Ia seperti melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya. Maksud saya, ia hanya menjawab kalau ada yang bertanya. Ia seperti merasa ini bukan warung soto saya, apa pedulinya saya harus melakukan pekerjaan yang lebih dari seharusnya.

Saya melihat peristiwa itu kemudian terinspirasi untuk menulisnya, hanya berdasarkan semua kejadian yang saya lihat dengan mata telanjang. Tentu akan ada banyak cerita di balik mengapa si pria flamboyan dan wanita muda itu berbeda dalam menjual produknya dan meyakinkan pembelinya.

Tetapi, yang saya lihat hanya dengan mata telanjang itu telah mengingatkan saya bagaimana saat saya pernah bekerja di beberapa perusahaan dengan tabiat seperti wanita muda itu. Bahkan saya menghakimi pembelinya sejak pertama kali mereka masuk ke toko. Penghakimanlah itu yang saya gunakan untuk memutuskan dengan cara apa dan menggunakan bahasa tubuh seperti apa yang akan saya gunakan dalam melayani.

Sebagai karyawan, saya tak pernah dan mungkin lebih tepatnya tak memiliki kebutuhan seperti pemilik perusahaan. Karyawan itu buat saya hanya bekerja sebatas upah yang diterima. Jam kerja juga sesuai dengan kontrak yang sudah disepakati bersama. Kalau pun lembur, masih saya anggap oke-oke saja.

Maka, saat saya bekerja sebagai wartawan alias karyawan, paling sebal kalau sudah mendapat tugas di luar jam kerja. Saya berpikir waktu istirahat malam hari saya berkurang. Waktu untuk bersantai juga berkurang.

Layani pembeli

Waktu masih menjadi mahasiswa kedokteran, paling sebal kalau mendapat tugas jaga pada akhir pekan. Tidak bisa malam mingguan itu seperti neraka rasanya. Apalagi mendapat giliran jaga pada malam Tahun Baru atau hari-hari khusus seperti Hari Valentine meski dari dulu tetap jomblo.

Saya malas bersemangat meyakinkan pembeli. Saya merasa kelelahan dan kecewa karena setelah penjelasan panjang lebar dan keramahtamahan itu tak ada transaksi apa pun yang terjadi. Biasanya, kalau saya sudah melakukan tugas yang masuk ke dalam kategori extra mile dan tak terjadi transaksi, maka saya mengumpat dalam hati. Umpatannya tak perlu saya tulis di sini.

Apalagi kalau berhadapan dengan pembeli yang bawelnya setengah mati, menawar seperti tak memiliki perasaan, bersuara mengentak dengan bahasa tubuh seperti orang terkaya di dunia ini. Maka saya tidak melawannya dengan kelembutan, saya malah memasang bahasa tubuh yang sama. Mengapa? Karena saya berpikir, pembeli itu buat saya bukan raja.

Buat saya, pembeli itu raja adalah kalau pembelinya tidak tahu apa yang mau dibeli. Karena tak tahu apa-apa, berdasarkan pengalaman akan menjadi lebih mudah dimanipulasi. Nah, pembeli sejenis ini yang akan saya layani dengan semangat luar biasa.

Melakukan pekerjaan yang ekstra itu buat saya sesuatu yang melelahkan. Sebagai karyawan, saya selalu berpikir saya hanya perlu memiliki mental karyawan, saya tak pernah perlu bekerja sebagai karyawan dengan mental pemilik perusahaan.

Sebagai karyawan, saya hanya bekerja, saya bahkan tak memiliki hasrat atau berantusias dalam apa yang saya lakukan. Hal yang saya pikirkan sebagai karyawan dan penjual adalah saya, bukan pembeli. Padahal, melakukan pekerjaan ekstra itu tak semata-mata untuk pembeli, pemilik perusahaan, tetapi untuk saya.

Setelah saya memiliki usaha sendiri, saya mengerti dengan sangat apa perlu dan keuntungannya melakukan pekerjaan ekstra itu. Melakukan sesuatu yang ekstra, memiliki dua keuntungan.

Pertama, keuntungan duniawi. Melakukan pekerjaan yang ekstra adalah sebuah cara memberi kenyamanan pembeli, memelihara kesetiaan pelanggan, dan berakhir dengan menaikkan pemasukan dan keuntungan, serta memberikan saya bonus.

Kedua, secara spiritual. Melakukan pekerjaan ekstra itu bukan penyiksaan, itu waktunya melayani sesama manusia secara nyata dengan sabar. Ini akan menjadi tabungan yang suatu hari saya perlukan ketika tiba waktunya saya harus angkat kaki dari dunia ini.

Saya pernah dinasihati seorang pengusaha saat saya sebal karena harus melakukan pekerjaan ekstra. Begini. ”Iman tanpa perbuatan tak ada artinya. Layani pembeli....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar