Rabu, 05 November 2014

Susi

Susi

Arswendo Atmowiloto  ;  Budayawan
KORAN JAKARTA, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Nama Susi jadi puncak perhatian akhir-akhir ini. Susi who? Susi siapa, Susi yang mana? Tidak, tak ada pertanyaan itu karena semua maklum bahwa yang dimaksudkan adalah (Ibu) Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Adalah beliau yang di antara 34 menteri paling menyerap perhatian sejak namanya diumumkan. Perhatian dalam arti kekaguman atau juga keraguan akan kemampuannya. Dan tak memengaruhi yang bersangkutan. “Dulu saya dipanggil Susi Gila,” tuturnya di depan anggota Kamar Dagang Industri, setelah jadi menteri. Itu karena mengirim SMS, sandek, ke-10 kementerian, teriak-teriak. Hasilnya bagaimana, entahlah. “Tapi, sekarang, pemerintah sebut kita perlu orang gila untuk membuat gebrakan.”

Gila atau gebrakan, barangkali akan mewarnai dan membingkai kiprahnya. “Sekarang kerjaan banyak, gaji sedikit.” Konon, hanya 1 persen dari gajinya di Susi Air. Padahal Susi Air - usaha penerbangan di daerah terpencil bukan satusatunya bisnis yang dijalani. Ini hanya salah satu dari sedikit kisah yang kini bertebaran kembali, termasuk gambarnya ketika menggendong penumpang, ketika menjelaskan usahanya, atau memperlihatkan gambar, beberapa, suaminya.

Susi, yang menteri dan pengusaha, sebenarnya sudah lamaaaaaa menarik media. Beberapa tahun lalu, saya bersama beberapa redaktur koran ini mengatur waktu untuk bertemu dan wawancara habis-habisan dengan beliau, dalam rangka memilih sebagai tokoh nasional tahun itu. Secara pribadi, saya pernah ditawari naik pesawatnya dari Jakarta ke Pangandaran. Karena ajakannya mendadak, saya menolak dengan alasan ada janji. “Nggak apa, datang bentar lalu pulang. Diantar.” Spontan, percaya diri, hangat merupakan kesan pertama. Juga selanjutnya.

Tawaran dan atau undangan itu tak memengaruhi sikapnya. Bahwa ketika itu baru ada kecelakaan salah satu pesawatnya di bagian timur. Juga hari-hari awal keberadaan di Kabinet Kerja. Banyak hal dipersoalkan: kebiasaan merokok, riwayat pernikahan yang lebih dari sekali, bertato. Banyak yang menyayangkan, meragukan, dan mengusulkan agar Ibu Menteri mengenakan jilbab. Pada titik ini sesuatu berbalik. Yang menyeruak ke permukaan - terutama media sosial - adalah perbandingan dengan gubernur perempuan yang cantik, berjilbab, tidak merokok, tidak bertato (tapi diralat mungkin sekali alisnya bertato), yang terlibat kasus korupsi. Bahkan ditahan, dijatuhi hukuman.

Demikian juga mengenai latar belakang pendidikannya yang tak selesai Sekolah Menengah Atas. Demikian juga mengenai usahanya. Demikian juga mengenai kisah masa lalu dengan suami-suaminya. Demikian juga masih ada yang lainnya. Tapi serentak dengan itu, masyarakat yang selama ini mudah terseret satu isu besar, ternyata tidak asal ikutan. Justru sebaliknya. Perlawanan dengan mengontraskan dengan seorang gubernur yang lebih dalam norma-norma yang selama diterima sebagai standar tinggi, adalah wujud nyata.

Bahwa pada dasarnya lebih memilih tokoh untuk dianut yang jujur - walau kurang pendidikan formal, kurang feminin, terkesan kurang santun, dibandingkan dengan tokoh yang “kinyis-kinyis’, tapi ternyata “lamis”, atau bohong. Kejujuran lebih dihargai dibandingkan pencitraan. Kesederhaan lebih mengena dibandingkan berlebihan. Kerja lebih bermakna dibandingkan berwacana. Dan sesungguhnya, saya merasakan ini suatu langkah kemajuan yang besar.

Bahwa di antara meributkan hal-hal yang pribadi seperti kisah perkawinan atau latar belakang pendidikan atau pakai tato, ada pendekatan berbeda dalam menyikapi persoalan. Dan alangkah menariknya manakala ini menjadi tanda kedewasaan kita semua. Satu lagi kalimatnya: “Saya tak bisa disuap.” Kata-kata yang tak bersayap, tak memerlukan tafsiran lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar