Tugas Besar
Sawit Indonesia
Dinna Wisnu ;
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 04 Desember 2013
Minggu lalu pengusaha
kelapa sawit Indonesia telah mengadakan konferensi kesembilan. Setelah
absen dalam delapan konferensi sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dan para menteri terkait datang membuka dan menghadiri konferensi
tersebut.
Dalam kesempatan itu, Presiden SBY menyatakan
mendukung upaya para pelaku usaha kelapa sawit Indonesia untuk dapat
menembus pasar internasional. Ia telah memerintahkan agar para menteri
terkait duduk dan mencari jalan keluar dari masalah yang melilit
perdagangan kelapa sawit. Selama ini, para pelaku usaha dan pemerintah
merasa bahwa pasar internasional telah membatasi produk kelapa sawit dan
turunannya baik dengan cara menggunakan hambatan tarif maupun nontarif.
Pada bulan lalu, Komisi Eropa mengenakan tarif bea masuk sebesar 8% sebagai
bagian dari kebijakan antidumping mereka atas produk biodiesel Indonesia.
Produk kelapa sawit Indonesia juga masih
dikaitkan dengan masalah deforestasi dan pembakaran hutan dalam
kampanye-kampanye lingkungan hidup. Dalam konferensi RSPO di Medan yang
lalu, beberapa organisasi lingkungan hidup bahkan menyatakan sertifikasi
menjadi tiket bagi pengusaha kelapa sawit di Indonesia untuk menggunduli
hutan Indonesia. Selain masalah tersebut, industri kelapa sawit di dalam
negeri juga tidak sepi masalah.
Para pelaku usaha perkebunan mulai dari
pengusaha besar, petani plasma atau petani swadaya mempertanyakan kebijakan
pajak ekspor kelapa sawit yang tinggi. Pemerintah ingin agar pajak yang
tinggi itu mendorong para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dapat
meningkatkan nilai tambah dengan membangun industri hilirisasi dan tidak
hanya mengekspor minyak sawit mentah. Menurut pelaku usaha, mereka setuju
dengan hilirisasi, tetapi margin keuntungan yang diperoleh dengan membangun
pabrik hilirisasi itu tidak tinggi.
Keuntungan yang terbatas itu dianggap tidak
sebanding dengan risiko usaha yang besar seperti kenaikan harga yang
dipengaruhi inflasi, upah tenaga kerja, dan persaingan dengan produk-produk
hilirisasi yang sudah ada maupun yang dihasilkan. Pemerintah sendiri
mengatakan telah memiliki kerangka kerja jangka panjang untuk mendorong
minyak kelapa sawit sebagai komoditas prioritas.
Di dalam Masterplan Perluasan dan Pengembangan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah mengatakan telah menyusun rencana
pembangunan jangka panjang industri kelapa sawit Indonesia yang menfokuskan
pembangunan di empat wilayah: Dumai, Sei Mangkai, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Timur. Empat wilayah ini akan menjadi backbone
industri perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya. Di wilayahwilayah
itu akan dibangun pelabuhan-pelabuhan yang dibutuhkan agar minyak sawit
mentah (CPO) yang telah diolah dapat terjaga kualitasnya.
Namun, untuk membuat rancana itu berjalan
baik, pemerintah harus melaksanakan pekerjaan rumah yang sangat penting,
yaitu memutuskan rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) yang menjadi
rujukan untuk melakukan investasi. Ketidakjelasan pengaturan dan fungsi
wilayah ini yang sering kali menjadi sumber konflik di lapangan. Pada
umumnya konflik yang terjadi adalah antara perusahaan perkebunan dengan
masyarakat lokal. Di beberapa lokasi, kerap terjadi izin perkebunan kelapa
sawit tumpang tindih dengan izin pertambangan yang membuat konflik semakin
dalam di tengah masyarakat.
Dalam kebijakan biodiesel, pada saat
pemerintah menaikan harga BBM beberapa tahun lalu, pemerintah segera
menyatakan akan menggalakkan penggunaan biodiesel sebagai alternatif bahan
bakar fosil. Pernyataan tersebut menggairahkan para pengusaha kelapa sawit,
tetapi sayangnya harga biodiesel yang ditetapkan pemerintah tidak
kompetitif sehingga tidak sedikit para pengusaha yang kemudian memilih
untuk mengekspornya saja.
Belum lagi kebijakan pemerintah di sektor lain
seperti di bidang transportasi tidak mendukung ke arah penggalakan
penggunaan biodiesel. Misalnya masih dicanangkan proyek mobil murah
berbasis bahan bakar fosil dan subsidi BBM masih tinggi. Banyak masalah di
dalam industri perkebunan kelapa sawit yang tak akan habis diuraikan dalam
ruang yang terbatas ini. Hal yang membuatnya menarik adalah keterkaitan
satu masalah dengan masalah lain.
Misalnya tentang isu deforestasi, konflik
sosial, dan lingkungan yang tidak akan menjadi amunisi bagi kampanye
negatif apabila Pemerintah Indonesia benar-benar menyelesaikan masalah RTRW
beberapa tahun lalu sehingga terdapat kepastian hukum. Kita juga masih
menunggu bagaimana ISPO dapat menyelesaikan tugas sesuai dengan mandat yang
ditetapkannya sendiri. Bahwa akhir tahun 2014 seluruh pelaku usaha
perkebunan kelapa sawit telah mendapat sertifikasi.
Sementara sampai saat ini jumlah tenaga
auditor masih sedikit, prinsip dan kriteria untuk petani plasma ataupun
petani swadaya juga belum ditetapkan dengan jelas. Kita juga harus bersikap
bijaksana bahwa hambatan-hambatan pasar minyak kelapa sawit di luar negeri
juga sebagian disebabkan banyak pekerjaan rumah di dalam negeri yang tidak
diselesaikankan dengan baik. Koordinasi antardepartemen yang terkait dengan
masalah perkebunan sawit mulai dari Kementerian Pertanian, Lingkungan Hidup
hingga Kementerian Dalam Negeri belum menunjukkan kekompakan.
Rasa pesimistis ini ditambah dengan fakta
bahwa pemerintahan SBY tinggal 11 bulan lagi di mana seluruh menteri sudah
tidak lagi fokus pada tugasnya selain memikirkan kemenangan partai
politiknya. Meski demikian, masalah di kelapa sawit tidak akan menunggu
kita menyelesaikan pekerjaan rumah yang kita telantarkan. Menjelang 2015
seluruh negara anggota Eropa telah menyatakan hanya akan menerima CPO yang
memiliki sertifikasi sustainable dan pasar CPO di China diprediksi mengecil
seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi China.
Dibandingkan dengan produk minyak nabati lain,
minyak sawit masih tersandera citra buruk soal lingkungan hidup dan nilai
kesehatan yang di-anggap masih jauh di bawah minyak nabati lain. Tak
mengherankan bahkan di China dan India pun pembelian minyak sawit tetap
jauh di bawah porsi pembelian mereka untuk minyak lain seperti kedelai dan
canola. Indonesia punya kepentingan untuk menjaga agar produk CPO tetap
dapat diserap pasar secara optimal supaya para pekerja di sektor perkebunan
termasuk para petani rakyat tidak telantar.
Contohnya dengan memfasilitasi strategi
marketing berbasis riset soal keunggulan produk sawit Indonesia, memberi
insentif yang realistis (dan tak selalu harus dalam bentuk tunai) untuk
hilirisasi, serta melakukan swap perdagangan yang lebih agresif tetapi
cantik agar produk CPO jangan sampai sia-sia tak terserap di dalam negeri.
Dari sisi minyak sawit sebagai sumber energi alternatif, Indonesia punya
kepentingan untuk mendorong ini sebagai tiket bebas dari impor BBM yang
memberatkan neraca perdagangan.
Pemerintah dan para pelaku usaha harus mencari
cara bagaimana agar biodiesel tidak jauh lebih mahal dari impor BBM.
Anak-anak bangsa di universitas dapat digerakkan untuk mengembangkan
teknologi biodiesel entah untuk alat transportasi massal atau mesinmesin
pertanian. Konyol jika Indonesia menyerah di tengah persaingan dagang dan marketing yang ketat karena sejauh
mata memandang Indonesia punya keunggulan komparatif dalam hal penanaman
sawit.
Di Indonesialah tersedia lahan dan iklim yang
cocok untuk sawit. Tinggal kita putuskan, apakah memang sawit kita jadikan
andalan dalam perkembangan sosial ekonomi di negeri ini? ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar