Beragama yang
Berbudaya
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2013
Agama dan budaya tidak bisa dipisahkan, namun bisa dibedakan
asalusulnya. Ajaran agama diyakini berasal dari Tuhan yang disampaikan lewat
rasul-Nya, sedangkan budaya merupakan budi daya ciptaan manusia.
Menurut ajaran Islam, dengan berakhirnya rasul Tuhan pada diri Muhammad, maka berakhirlah wahyu Allah. Namun agama akan tetap berkembang bersama instrumen budaya. Bahkan sejak awal kelahirannya, Islam dan budaya Arab sudah menyatu. Yang tak terbantahkan adalah elemen bahasa Arab sebagai medium pewahyuan Alquran. Inti dari keberagamaan adalah keimanan kepada Tuhan yang sangat bersifat pribadi. Orang lain tak akan mampu mengukur bobot keimanan seseorang. Namun karena keimanan menuntut konsekuensi berupa ritual ibadah, maka lewat praktik ibadah orang lain bisa mengenal secara lahiriah keberagamaan seseorang. Mereka yang sering ke masjid untuk salat berarti seorang muslim, yang melakukan kebaktian di gereja berarti pemeluk Kristen, dan seterusnya. Ketika membangun masjid atau gereja, misalnya menyangkut arsitekturnya, sesungguhnya agama sudah masuk ranah budaya. Agama dan budaya menyatu. Ritualnya adalah elemen agama, tapi model bangunannya sepenuhnya budaya. Bahkan yang namanya kubah dan menara yang sering menjadi penanda masjid, itu semua produk budaya. Tetapi, jika jalan-jalan ke Eropa, kubah dan menara adalah bagian dari gereja. Jadi, perbedaan dan karakter yang elementer antara gereja dan masjid adalah aspek agamanya. Begitu pun dalam tradisi dan festival keagamaan, warna tradisi lokal sangatlah kentara. Pada acara Natal, pengaruh budaya Barat cukup menonjol, misalnya ada salju dan cemara yang tidak populer di Indonesia. Atau pakaian gamis dan jubah model Timur Tengah yang sering dipakai oleh beberapa ulama Indonesia. Yang cukup membuat beberapa orang kaget adalah ada aliran Kristen Ortodoks yang berkembang di Indonesia yang menggunakan Injil berbahasa Arab. Ketika dibaca dan dilantunkan, kedengarannya persis layaknya membaca kitab suci Alquran. Bagi penganut Kristen dan Islam di Mesir, Palestina, Suriah dan beberapa negara Arab lain, tentu itu tidak asing lagi, karena mereka sama-sama menggunakan bahasa Arab, sehingga Alquran dan Injil kedengarannya sama. Yang membedakan adalah kandungannya dan respons iman pembacanya. Jadi, ketika berbagai agama semakin berkembang mengglobal, sebagian masyarakat kaget dan tidak siap menerimanya. Misalnya, di Indonesia bermunculan bangunan gereja yang dari sisi persentase melebihi jumlah pertumbuhan masjid. Di beberapa daerah yang tadinya tidak ditemukan gereja, sekarang muncul gerejagereja baru. Ini konsekuensi logis dari penyebaran demografis dengan ragam budaya dan agamanya. Fenomena serupa terjadi di Eropa dan Amerika, masjid-masjid baru bermunculan, yang dari sisi persentase mengungguli perkembangan gereja. Karenanya, jika di Indonesia umat Islam kadang meributkan berkembangnya jumlah gereja, di Barat orang kaget dengan berkembangnya Islam dan bangunan masjid. Hal yang perlu kita renungkan adalah aspek sosial-budaya dari ekspresi keberagamaan. Ajaran dan praktik keberagamaan mestinya mendorong perilaku budaya yang progresif dan mulia, seperti kejujuran, kedamaian, kecerdasan, kebersihan dan kemajuan. Jadi kalau ada sebuah kabupaten memberlakukan peraturan daerah syariah, misalnya, mestinya wilayah itu semakin maju pendidikannya, bersih lingkungannya, sejahtera dan rukun warganya, serta memberi rasa aman pada kelompok-kelompok minoritasnya. Hal ini penting digarisbawahi mengingat ajaran agama secara sosial adalah sumber dan penggerak kebudayaan yang berkeadaban. Menjadi ironis kalau kegiatan keagamaan malah menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Saya pernah menyaksikan sebuah pengajian akbar di lapangan, setelah bubar lapangannya bersih, tak ada kotoran yang tersisa. Para pengunjungnya berjalan tertib, tidak mengganggu lalu lintas, tidak membuat macet dan gaduh. Volume dan arah pengeras suara juga tidak mengganggu masyarakat. Isi ceramahnya memberikan pencerahan, penguatan iman, dan menyejukkan bagi yang mendengarkan. Inilah salah satu contoh beragama yang berbudaya. Dalam kaitan ini menjadi penting kita pertimbangkan, kapan dan untuk apa menggunakan pengeras suara di masjid. Bayangkan, ketika ada orang masih istirahat tidur karena lelah mencari nafkah, lalu jauh sebelum waktu subuh terbangun oleh pengeras suara masjid yang melantunkan ayat Alquran, mungkin sekali orang itu akan terganggu. Sudah pasti datang ke masjid itu bagus. Membaca Alquran itu mulia. Tetapi jika waktu, tempat, dan volume tidak tepat, bisa menghilangkan kemuliaannya. Yang menyedihkan, ketika agama dikaitkan dan diekspresikan dalam ranah politik tanpa memperhatikan pesan agama dan tradisi luhur budaya. Tanpa agama pun budaya kita mengenal rasa malu dan mengutuk perilaku maling. Lalu bagaimana menjelaskan ketaatan dan kesungguhan beragama masyarakat ketika dalam perilaku politik dan birokrasi justru banyak nilai agama dan budaya dilanggar? Di sini yang terjadi bukannya agama memperkuat budaya dan budaya memperkokoh nilai agama, melainkan telah menghinakan ajaran agama dan merusak warisan luhur budaya. Keberagamaan kita tidak melahirkan dan menjaga keluhuran budaya, padahal agama tidak bisa eksis tanpa budaya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar