Kekuatan Baru
Ekonomi Syariah
Imam Munadjat ; Alumnus
S-3 Unair Surabaya, Ketua Harian Sjafruddin Prawiranegara Centre for Islamic
Finance Studies Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 26 Desember 2013
PASAL 33 UUD 1945 mengamanatkan
perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan
dan seterusnya. Amanat itu supaya pembangunan tetap konsisten dalam koridor
cita-cita Indonesia merdeka, khususnya dalam bidang ekonomi.
Kata ’’disusun’’ pada
pasal itu harus dimaknai sebagai pemberian mandat dan kewenangan kepada
pelaksana pemerintahan supaya secara aktif mempersiapkan sistem ekonomi
indonesiawi.
Itu artinya sebuah sistem
ekonomi yang bisa diterima bangsa ini karena nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya sejalan dengan sistem nilai yang diyakini kebenarannya oleh mereka.
Bukan hasil adopsi sistem ekonomi bangsa lain yang dianggap berhasil dan
telah diterapkan oleh pemiliknya, atau karena hanyut dalam percaturan ekonomi
global. Lema îdisusunî itu juga mengandung makna sistem ekonomi negeri ini
tidak tersusun sendiri, sejalan dengan kehendak pasar dan mekanisme pasar
bebas yang menjunjung tinggi persaingan.
Baik penyusunan maupun
pelaksanaannya tetap berpegang teguh pada doktrin kebangsaan dan kerakyatan,
lebih mengutamakan kepentingan rakyat banyak ketimbang kepentingan orang,
seorang, atau sekelompok orang.
Harian ini edisi Senin, 18
November 2013 menurunkan berita bertajuk ’’Jadi Kekuatan Baru lewat Ekonomi
Syariah. Dituliskan Indonesia siap menjadi kekuatan baru ekonomi tingkat
dunia melalui gerakan ekonomi syariah. Berita ini menjadi lebih menarik
ketika disampaikan oleh Presiden SBY. Membangun ekonomi masa depan berarti
bangsa ini harus taat asas.
Kembali ke khitah, kembali
ke amanat konstitusi, kembali ke prinsip kebangsaan dan kerakyatan. Bahwa
yang dibangun adalah bangsa dan rakyat. Bangsa ini harus belajar dari masa
lalu, dari sejarah. Tahun 1966 bangsa ini berada dalam puncak keterpurukan
dengan income per kapita 200 dolar AS.
Lonjakan peningkatan
terlihat tahun 1997 ketika income per kapita meningkat menjadi 900 dolar.
Peningkatan makin terlihat, paling tidak dalam angka, ketika tahun 2012
berubah menjadi 3.250 dolar AS. Peningkatan itu berlangsung hanya dalam 15
tahun. Drastis bila yang dilihat dan dijadikan ukuran hanya perubahan
angka-angka. Bagaimana realitas di lapangan? Menurut Muhaimin Iqbal,
perubahan angka itu menunjukkan peningkatan kemakmuran luar biasa dan lazim
dalam ekonomi kapitalisme.
Senyatanya perubahan itu
hanya pada sekelompok kecil masyarakat, utamanya yang memiliki akses berlebih
ke sumber daya ekonomi, seperti modal, pasar, atau resourcelain. Bagi
kelompok yang tidak memiliki akses-akses tersebut (mereka justru mayoritas),
angka indeks kemakmuran bukan hal mudah untuk menggapainya (untuk tidak
mengatakan terlalu sulit). Padahal merekalah pelaku ekonomi sesungguhnya.
Kembali ke khitah
kebangsaan dan kerakyatan adalah tekad dan pilihan bangsa ini. Mengabaikan
pembangunan ekonomi yang prorakyat, proanak bangsa yang mayoritas, berarti
mengkhianati cita-cita kemerdekaan.
Kekuatan
Baru
Cita-cita bangsa ini,
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUUD 1945 pada intinya melindungi
segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan seterusnya. Berkait kehidupan berekonomi, Pasal 27 UUD 1945
memerintahkan supaya perekonomian ’’disusun’’.
Kata itu harus dimaknai
dengan mempersiapkan sistem ekonomi sebagai usaha bersama, dengan tidak
mengabaikan hak individu, serta sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan bangsa
dan negara. Mengharapkan Indonesia menjadi kekuatan baru ekonomi tingkat
dunia bertumpu pada ekonomi syariah, harus bertitik tolak pada dua hal.
Pertama; pada norma dan regulasi ekonomi syariah. Kedua; pada keindonesiaan
Indonesia. Artinya semua ketentuan dalam ekonomi syariah harus dipatuhi
sebagai dasar kebijakan dan pelaksanaan ekonomi Indonesia.
Selain itu, keindonesiaan
Indonesia menjadi landasan kebijakan ekonomi. Keindonesiaan Indonesia adalah
ciri-ciri khas yang hidup dan berkembang di negara kita, seperti
adat-istiadat, kebiasaan, budaya dan sebagainya sebagai bahan pertimbangan,
khususnya dalam tahapan aksi.
Kalau gambaran lonjakan
pendapatan per kapita di Indonesia sejak awal Orde Baru hingga saat ini
cenderung naik namun ternyata hanya ”menyelamatkan’’perekonomian kelompok
elite, siapa yang menyelamatkan ekonomi kelompok alit, ekonomi masyarakat
kecil, yang justru merupakan mayoritas di negeri ini? Muhaimin Iqbal
memberikan jawabannya,’’Rakyat sendirilah yang harus berlari menyelamatkan
ekonominya.’’
Artinya rakyat pula yang
harus menyelamatkan ekonomi mereka. Mengharapkan peran pemerintah, eksekutif,
legislatif, dan mungkin yudikatif, kita tidak akan penah tahu kapan
keberpihakan mereka. Pemerintah, eksekutif, legislatif, dan yudikatif sibuk
berlari menyelamatkan diri dan ekonomi masing-masing.
Bahkan mungkin sambil
berlari mencari selamat, saling mencaci-maki. Terus bagaimana caranya?
Pererat silaturahmi di antara rakyat sesama pelaku ekonomi, dengan
silaturahmi setulus-tulusnya, dengan niat saling membantu, dan selamat
menyelamatkan. Bukan silaturahmi basa-basi dan semu, bukan di atas kertas
melainkan dari hati ke hati.
Niat silaturahmi dalam
komunitas, jamaah, keluarga, atau kelompok sejenis bukan dengan niat membentuk
kelompok sektarian. Bukankah kepada kita diperintahkan untuk menyelamatkan
diri, keluarga, jamaah dan komunitas? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar