Vonis Banding
Djoko Susilo
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum
UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
|
SUARA
MERDEKA, 26 Desember 2013
PENGADILAN Tinggi Jakarta menjatuhkan
hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar kepada Djoko Susilo, terdakwa
kasus korupsi dan pencucian uang pengadaan alat simulasi uji klinik pengemudi
roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 (19/12/13). Tak hanya itu,
majelis hakim tinggi juga mewajibkan mantan kepala Korlantas itu membayar
uang pengganti Rp 32 miliar.
Bahkan, mencabut hak politik jenderal
polisi tersebut. Putusan itu lebih berat ketimbang vonis pengadilan tingkat
pertama dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta. Juga tanpa
mencabut hak politik. Sontak, kabar vonis banding sang jenderal menjadi kabar
gembira dalam pemberantasan korupsi.
Sebelumnya, sepertinya tak ada yang
mengira, pengadilan tinggi akan menghukum mantan gubernur Akademi Kepolisian
(Akpol) Semarang itu dengan pidana yang sesuai dengan tuntutan jaksa. Publik
perlu mengapresiasi, tapi jangan terlalu berlebihan mengingat memang demikian
seharusnya. Hakim, sebagai wakil Tuhan di bumi, harus menjadi pengadil yang
memberikan keadilan seadiladilnya. Keadilan bagi korban korupsi, yakni
rakyat.
Dulu, tatkala sanksi pidana pada pengadilan
tipikor Jakarta untuk sang jenderal dibacakan (4/9/13), saya terheran-heran.
Kok bisa majelis hakim mengirim Djoko Susilo ke bui dengan masa penjara
kurang dari 2/3 tuntutan jaksa. Sepertinya, korps meja hijau sedang masuk
angin. Makanya melalui harian ini edisi 9 September 2013, saya mengkeritik
putusan tingkat pertama. Rakyat pun marah.
Jangan-jangan ada yang sedang bermain-main
dalam olahalih putusan. Namun, tidak hanya sang majelis, bisa jadi jaksa juga
tak begitu ngotot dan meyakinkan dalam mengonstruksi kasus korupsi pengadaan
simulator alat kemudi. Akibatnya penghitungan kerugian keuangan negara secara
substitusi muncul dalam pertimbangan hakim.
Antara jaksa dan hakim, boleh jadi keduanya
sama-sama sedang masuk angin. Putusan tingkat banding itu bagaikan telaga
yang mengaliri dahaga perang melawan korupsi yang sempat mengering. Semoga
lantaran vonis banding Djoko Susilo ini, efek jera menjalar ke masyarakat,
khususnya aparat penegak hukum, agar tidak coba-coba, apalagi melakukan,
korupsi.
Hak
Politik
Hal membanggakan lainnya dari vonis banding
Djoko Susilo adalah majelis hakim sudah mau menerapkan pencabutan hak politik
pelaku korupsi.
Mencabut hak politik ini bukan tanpa dasar.
Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi yang mencantolkan pada Kitab-
Kitab Undang Hukum Pidana dengan jelas mencantumkannya. Pasal 35 Ayat (1)
KUHPAngka 4, misalnya mengatakan, hak politik terpidana yang dengan putusan
hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang ini,
atau dalam aturan umum lainnya adalah: hak memilih dan dipilih dalam
pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
Jadi sudah cetha wela-wela, bahwa terdakwa korupsi pun dapat dicabut hak
politiknya. Ada beberapa orang berujar, tindakan majelis hakim yang
menjatuhkan pencabutan hak politik koruptor terlalu berlebihan, lebay, dan cuma cari sensasi.
Pencabutan itu adalah pengebirian hak mendasar seseorang.
Saya, secara pribadi, menolak ujaran
beberapa orang tersebut. Kalau bicara soal mendestruksi hak, lalu di mana
harus ditempatkan destruksi yang dilakukan oleh koruptor terhadap hak rakyat
untuk sejahtera, hidup tentram, dan aman berkelanjutan yang semua itu hancur
tak berbekas karena korupsi para pencuri uang rakyat? Pencabutan hak politik
koruptor harus segera dibiasakan dan masuk dalam putusan majelis hakim
berikutnya. Kita wajib memahami bahwa koruptor adalah penjahat yang pintar.
Ia melakukan kejahatan terhadap harta publik karena didorong keserakahan.
Ketika kepintaran dan keserakahan bersatu, dijamin akan sangat susah
memberantasnya.
Bayangkan, kalau terdakwa korupsi yang
pintar dan serakah itu masih diberikan kesempatan untuk menduduki kursi
jabatan, terutama jabatan publik, atau terpilih, misalnya menjadi anggota
DRPD atau DPR maka peluang untuk korupsi dan menyelewengkan lagi kekuasaannya,
pasti akan terbuka lebar.
Jika demikian, kenapa tidak dicegah lebih
dulu? Lagi pula, hukum telah memberi kekuatan untuk memprevensinya. Bukankah
pencegahan tempatnya selalu harus di depan, bukan di belakang? Vonis
bertujuan untuk menghukum perbuatan yang melekat pada orang, bukan menghukum
orang. Ketika hak politiknya dicabut, diharapkan perbuatan koruptor yang
dihukum tak bisa diterapkan lagi ke harta publik dan harta negara melalui
kebijakan yang dibentuk oleh si koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar