Jumat, 27 Desember 2013

Damai dan Solidaritas Natal

Damai dan Solidaritas Natal
Tom Saptaatmaja  ;   Alumnus Seminari St Vincent de Paul
dan STFT Widya Sasana Malang
MEDIA INDONESIA,  26 Desember 2013
  



TEMA Natal Bersama PGI-KWI 2013 ini adalah Datanglah ya Raja Damai (Bdk. Yes. 9:5).

Damai mungkin hanya ilusi, ketika kesenjangan sosial kian menganga dan yang lemah kian termarginalkan dalam tataan sosial yang menindas.

Tidak mengherankan, dalam seruan apostoliknya yang berjudul Evangelii Gaudium (Sukacita Injil), Paus mengajak pejabat gereja mau berubah untuk makin solider dengan yang lemah dan kecil. Bahkan, Paus mengajak umat kristiani melawan kapitalisme yang hanya mementingkan modal atau uang daripada martabat orang.

Dan Paus bukan sekadar omong doang atau berkhotbah. Sebuah sumber di Roma menyebutkan, “Pasukan Swiss menegaskan bahwa Paus memberanikan diri keluar malam hari, berpakaian imam biasa, bertemu pria dan perempuan tunawisma.” (The Huffington Post, Senin , 2/12).

Ketika merevitalisasi sebuah kantor Gereja kuno yang didedikasikan untuk orang miskin dan dipimpin Uskup Konrad Krajewski, Paus berpesan: ”Kamu bisa menjual mejamu. Kamu tidak membutuhkannya. Jangan menunggu orang untuk datang membunyikan bel. Kamu harus pergi keluar dan mencari yang miskin.”

Paus yang baru dinobatkan TIME sebagai Person of the Year tampaknya memang gelisah dengan apa yang terjadi di internal Gereja, karena kian banyak pejabat Gereja justru makin tak peduli pada yang miskin, padahal Yesus dulu menyamakan diri dengan kaum miskin.

Apalagi bila membaca ke empat Injil, selama hidupnya Yesus benar-benar terlibat dan menyatu dengan kaum miskin. Dari kandang Betlehem hingga puncak Kalvari adalah saksinya. Orang buta, pelacur, pengemis hingga penyamun adalah sosok-sosok miskin yang akrab dengan Yesus. Yesus sungguh terlibat nyata dengan

orang miskin. Dia bukan teroritikus atau hanya sekadar pemerhati masalah sosial. Di awal karya-Nya, kata pujian yang keluar dari mulut Yesus adalah “Berbahagialah orang-orang miskin”.

Yesus yang lahir di kandang memang mengajak kita solider atau berbela rasa dengan yang miskin. Sayang, kadang kemiskinan malah dimanfaatkan oleh segelintir orang. Coba hitung saja, berapa yayasan atau lembaga keagamaan yang ‘pura-pura’ peduli orang miskin, tapi sesungguhnya mereka hanya menjual kemiskinan itu untuk keuntungan finansial pengurusnya? Simak pula, di tengah jeritan kaum miskin, seperti para pengungsi Gunung Sinabung, malah ada tangan tega berbuat nista, karena bantuan untuk mereka dari lembaga-lembaga sosial justru dikorupsi? Coba berapa banyak proyek pemerintah yang ditujukan untuk mengatasi kemiskinan justru dijadikan ajang korupsi sebagian birokrat kita? 

Coba simak, apakah orang Papua atau Dayak sebenarnya layak miskin, padahal tiap hari kekayaan alam mereka, dari tambang hingga kayu diangkut ke luar daerah mereka untuk memperkaya segelintir elite di negeri ini? Penyembahan sejati kepada Allah harus ditindaklanjuti dengan kepedulian dan solidaritas sejati pada kaum lemah.

Jadi, kita meski bisa merasakan penderitaan orang lain, berempati kepada `nasib buruk mereka' karena mereka sungguhsungguh saudara kita di dalam Tuhan. Ini perlu ditekankan, karena banyak orang miskin sering pulang dari kebaktian atau misa di Gereja dengan perasaan hampa. Di dalam gereja dikhotbahkan persaudaraan dan solidaritas, ternyata setelah keluar dari Gereja tidak ada intimitas sehingga persaudaraan atau solidaritas yang digembargemborkan hanya bersifat dangkal. Agama atau tokoh agama sering absen, ketika orang miskin menjerit di tengah penderitaannya.

Mendiang Bunda Teresa, yang dihormati setiap penganut agama di dunia pernah mengingatkan, ajaran agama harus mampu menyentuh hati kaum miskin. Bagi peraih Nobel Perdamaian itu, orang-orang miskin adalah Yesus yang menyamar dan perlakuan kita saat ini terhadap kaum miskin menjadi ukuran utama apakah kelak kita bisa masuk Kerajaan Allah atau tidak (baca Matius 25:1-40).

Maka umat beragama, khususnya yang punya kemampuan finansial harus lebih peduli pada sesamanya yang miskin. Martabat manusia yang miskin harus menjadi perhatian utama, bukan pada wacana tentang kemiskinan. Pasalnya, sudah banyak seminar atau wacana kemiskinan digelar di berbagai hotel berbintang, tapi tanpa memperhitungkan martabat manusia miskin. Sama seperti banyak politikus kita yang jago dalam menjual isu kemiskinan, tapi kaum miskin hanya dijadikan kendaraan untuk menggapai tujuan politik. Begitu berkuasa, para politikus itu sibuk memperkaya diri sendiri, lupa untuk memperkaya orang-orang miskin, yang telah menghantar mereka pada kekuasaan.

Jangan lupa, selama ada orang miskin di sekitar kita, berarti kita gagal menjalankan amanat Tuhan untuk berbagi. Selama bangunan Gereja kita megah, tapi di kiri-kanan banyak kampung kumuh dan warganya tidak bisa menyekolahkan anaknya atau kalau sakit tidak mampu membawa ke rumah sakit, gereja semacam itu juga gagal menjalankan misi Yesus bagi orang miskin.

Mari simak ucapan mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere: “Kalau kita sebagai umat beragama tidak secara aktif menentang struktur-struktur sosial dan organisasi-organisasi ekonomi yang menyebabkan orang menjadi miskin dan lapar, agama justru akan terdegradasi menjadi momok yang masih punya arti bagi para penakut. Kalau agama dan umat beragama tidak mengungkapkan cinta kasih Allah dan tidak menjadi pionir dalam proses konstruktif terhadap keadaan manusia dewasa ini, agama justru akan disamakan dengan ketidakadilan dan penindasan.”

Pada Natal pertama, Yang Maha Tinggi mau turun ke dunia. Dia sebenarnya bisa saja enak-enakan di surga dan tak perlu repot-repot menjadi manusia kecil yang lahir dalam kandang hewan. Namun, kasih-Nya yang besar melihat manusia yang dikuasai dosa dan kematian, mendorong-Nya turun ke bumi agar martabat manusia yang sudah ternoda bisa dibersihkan dan diangkat kembali.

Kalau kita masih menyebut diri sebagai pengikut-Nya, kita juga harus melakukan solidaritas serupa. Paus Fransiskus dipilih TIME sebagai tokoh tahun ini, karena Paus mampu mengeluarkan kepausan dari istana menuju jalanan. Bahkan TIME menjuluki Paus Fransiskus sebagai ‘Paus Rakyat’.

Oleh sebab itu, dunia akan mengenal setiap murid Yesus, kalau kita mau solider dan peduli pada yang miskin. Ketika yang miskin kita angkat martabatnya, ketika kesenjangan atau ketidakadilan sosial kita atasi, pasti damai Natal juga otomatis akan kita rasakan. Karena Sang Raja Damai, Yesus sendiri memang lebih suka datang dalam hati yang mau berbagi. Selamat Natal 2013.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar