Damai dan
Solidaritas Natal
Tom Saptaatmaja ; Alumnus Seminari St Vincent de Paul
dan STFT Widya
Sasana Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Desember 2013
TEMA Natal Bersama
PGI-KWI 2013 ini adalah Datanglah ya Raja Damai (Bdk. Yes. 9:5).
Damai mungkin hanya
ilusi, ketika kesenjangan sosial kian menganga dan yang lemah kian
termarginalkan dalam tataan sosial yang menindas.
Tidak mengherankan,
dalam seruan apostoliknya yang berjudul Evangelii Gaudium (Sukacita Injil),
Paus mengajak pejabat gereja mau berubah untuk makin solider dengan yang
lemah dan kecil. Bahkan, Paus mengajak umat kristiani melawan kapitalisme
yang hanya mementingkan modal atau uang daripada martabat orang.
Dan Paus bukan sekadar
omong doang atau berkhotbah. Sebuah
sumber di Roma menyebutkan, “Pasukan Swiss menegaskan bahwa Paus memberanikan
diri keluar malam hari, berpakaian imam biasa, bertemu pria dan perempuan tunawisma.”
(The Huffington Post, Senin , 2/12).
Ketika merevitalisasi
sebuah kantor Gereja kuno yang didedikasikan untuk orang miskin dan dipimpin
Uskup Konrad Krajewski, Paus berpesan: ”Kamu bisa menjual mejamu. Kamu tidak
membutuhkannya. Jangan menunggu orang untuk datang membunyikan bel. Kamu
harus pergi keluar dan mencari yang miskin.”
Paus yang baru
dinobatkan TIME sebagai Person of the
Year tampaknya memang gelisah dengan apa yang terjadi di internal Gereja,
karena kian banyak pejabat Gereja justru makin tak peduli pada yang miskin,
padahal Yesus dulu menyamakan diri dengan kaum miskin.
Apalagi bila membaca
ke empat Injil, selama hidupnya Yesus benar-benar terlibat dan menyatu dengan
kaum miskin. Dari kandang Betlehem hingga puncak Kalvari adalah saksinya.
Orang buta, pelacur, pengemis hingga penyamun adalah sosok-sosok miskin yang
akrab dengan Yesus. Yesus sungguh terlibat nyata dengan
orang miskin. Dia
bukan teroritikus atau hanya sekadar pemerhati masalah sosial. Di awal
karya-Nya, kata pujian yang keluar dari mulut Yesus adalah “Berbahagialah
orang-orang miskin”.
Yesus yang lahir di
kandang memang mengajak kita solider atau berbela rasa dengan yang miskin.
Sayang, kadang kemiskinan malah dimanfaatkan oleh segelintir orang. Coba
hitung saja, berapa yayasan atau lembaga keagamaan yang ‘pura-pura’ peduli
orang miskin, tapi sesungguhnya mereka hanya menjual kemiskinan itu untuk
keuntungan finansial pengurusnya? Simak pula, di tengah jeritan kaum miskin,
seperti para pengungsi Gunung Sinabung, malah ada tangan tega berbuat nista,
karena bantuan untuk mereka dari lembaga-lembaga sosial justru dikorupsi?
Coba berapa banyak proyek pemerintah yang ditujukan untuk mengatasi
kemiskinan justru dijadikan ajang korupsi sebagian birokrat kita?
Coba simak,
apakah orang Papua atau Dayak sebenarnya layak miskin, padahal tiap hari kekayaan
alam mereka, dari tambang hingga kayu diangkut ke luar daerah mereka untuk
memperkaya segelintir elite di negeri ini? Penyembahan sejati kepada Allah
harus ditindaklanjuti dengan kepedulian dan solidaritas sejati pada kaum
lemah.
Jadi, kita meski bisa
merasakan penderitaan orang lain, berempati kepada `nasib buruk mereka'
karena mereka sungguhsungguh saudara kita di dalam Tuhan. Ini perlu
ditekankan, karena banyak orang miskin sering pulang dari kebaktian atau misa
di Gereja dengan perasaan hampa. Di dalam gereja dikhotbahkan persaudaraan
dan solidaritas, ternyata setelah keluar dari Gereja tidak ada intimitas
sehingga persaudaraan atau solidaritas yang digembargemborkan hanya bersifat dangkal.
Agama atau tokoh agama sering absen, ketika orang miskin menjerit di tengah
penderitaannya.
Mendiang Bunda Teresa,
yang dihormati setiap penganut agama di dunia pernah mengingatkan, ajaran
agama harus mampu menyentuh hati kaum miskin. Bagi peraih Nobel Perdamaian
itu, orang-orang miskin adalah Yesus yang menyamar dan perlakuan kita saat
ini terhadap kaum miskin menjadi ukuran utama apakah kelak kita bisa masuk
Kerajaan Allah atau tidak (baca Matius 25:1-40).
Maka umat beragama,
khususnya yang punya kemampuan finansial harus lebih peduli pada sesamanya
yang miskin. Martabat manusia yang miskin harus menjadi perhatian utama,
bukan pada wacana tentang kemiskinan. Pasalnya, sudah banyak seminar atau
wacana kemiskinan digelar di berbagai hotel berbintang, tapi tanpa
memperhitungkan martabat manusia miskin. Sama seperti banyak politikus kita
yang jago dalam menjual isu kemiskinan, tapi kaum miskin hanya dijadikan
kendaraan untuk menggapai tujuan politik. Begitu berkuasa, para politikus itu
sibuk memperkaya diri sendiri, lupa untuk memperkaya orang-orang miskin, yang
telah menghantar mereka pada kekuasaan.
Jangan lupa, selama
ada orang miskin di sekitar kita, berarti kita gagal menjalankan amanat Tuhan
untuk berbagi. Selama bangunan Gereja kita megah, tapi di kiri-kanan banyak
kampung kumuh dan warganya tidak bisa menyekolahkan anaknya atau kalau sakit
tidak mampu membawa ke rumah sakit, gereja semacam itu juga gagal menjalankan
misi Yesus bagi orang miskin.
Mari simak ucapan
mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere: “Kalau
kita sebagai umat beragama tidak secara aktif menentang struktur-struktur
sosial dan organisasi-organisasi ekonomi yang menyebabkan orang menjadi
miskin dan lapar, agama justru akan terdegradasi menjadi momok yang masih
punya arti bagi para penakut. Kalau agama dan umat beragama tidak
mengungkapkan cinta kasih Allah dan tidak menjadi pionir dalam proses
konstruktif terhadap keadaan manusia dewasa ini, agama justru akan disamakan
dengan ketidakadilan dan penindasan.”
Pada Natal pertama,
Yang Maha Tinggi mau turun ke dunia. Dia sebenarnya bisa saja enak-enakan di
surga dan tak perlu repot-repot menjadi manusia kecil yang lahir dalam
kandang hewan. Namun, kasih-Nya yang besar melihat manusia yang dikuasai dosa
dan kematian, mendorong-Nya turun ke bumi agar martabat manusia yang sudah
ternoda bisa dibersihkan dan diangkat kembali.
Kalau kita masih
menyebut diri sebagai pengikut-Nya, kita juga harus melakukan solidaritas
serupa. Paus Fransiskus dipilih TIME sebagai tokoh tahun ini, karena Paus
mampu mengeluarkan kepausan dari istana menuju jalanan. Bahkan TIME menjuluki
Paus Fransiskus sebagai ‘Paus Rakyat’.
Oleh sebab itu, dunia akan
mengenal setiap murid Yesus, kalau kita mau solider dan peduli pada yang
miskin. Ketika yang miskin kita angkat martabatnya, ketika kesenjangan atau
ketidakadilan sosial kita atasi, pasti damai Natal juga otomatis akan kita
rasakan. Karena Sang Raja Damai, Yesus sendiri memang lebih suka datang dalam
hati yang mau berbagi. Selamat Natal
2013. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar