Kamis, 26 Desember 2013

Kebersamaan Natal

Kebersamaan Natal
Putu Setia  ;   Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO,  26 Desember 2013




Ritual Natal sudah berlalu. Yang tersisa adalah rangkaian perayaannya yang lebih bersifat silaturahmi. Tentu tak ada kata terlambat untuk mengucapkan "Selamat Hari Raya Natal" kepada umat Nasrani, semoga bumi ini semakin damai dan persaudaraan tetap abadi.

Mengucapkan selamat Natal bagi saya tak ada masalah. Saya menyampaikan selamat kepada orang lain, bukan kepada diri sendiri. Artinya, yang khusyuk dengan ritual Natal itu orang lain. Saya hanya berdoa agar mereka selamat dalam menunaikan ibadah itu, tanpa ikut ritualnya. Bukankah sangat wajar dalam pergaulan modern? Saya sebut pergaulan modern karena, saya amati di desa-desa, ucapan formal begini tak penting amat. Yang suka formal itu gubernur, bupati, ketua DPRD, dan seterusnya, dengan memasang iklan di media massa. Sekarang, pada saat menjelang pemilu, para calon legislator pun mengobral ucapan selamat itu di spanduk-spanduk sambil memajang tampang mereka.

Di pedesaan, jika penduduknya beragam keyakinan, ada silaturahmi yang sangat menonjolkan kearifan lokal. Di Bali, misalnya, di desa yang penduduknya beragam agama, perayaan hari keagamaan apa pun seperti dimiliki oleh seluruh warga. Sehari menjelang Natal, umat Kristiani mengantar makanan kepada pemeluk Hindu. Tradisi ini disebut "ngejot", arti sesungguhnya adalah "membawa oleh-oleh makanan ke tetangga". Pada hari menjelang Galungan, umat Hindu yang "ngejot" ke pemeluk Kristen atau Katolik. Tradisi "ngejot" antara umat Nasrani dan Hindu lebih semarak lantaran tak mengharamkan daging babi, dan jenis masakan pun hampir sama. Tak berarti di kalangan umat muslim Bali diharamkan "ngejot" atau menerimanya. Warga muslim di Kepaon (Denpasar), Pegayaman (Buleleng), dan Melaya (Bali Barat), yang komunitasnya berbudaya Bali, melestarikan juga tradisi "ngejot" ini dengan makanan yang disesuaikan ajaran agamanya.

Yang ingin saya katakan adalah budaya itu tetap bisa lestari sesuai dengan warisan leluhur meski agama atau keyakinan berbeda-beda. Umat Kristiani di Bali pergi ke gereja yang berukir ornamen Bali, datang dengan berkain adat Bali lengkap dengan destarnya. Tentu saja, karena mereka orang Bali. Dan pakaian adat plus destar itu bukanlah "pakaian agama tertentu", itu budaya lokal. Tak ada "pakaian Hindu". Umat Hindu Jawa tak memakai destar jika sembahyang, apalagi umat Hindu Kaharingan atau etnis India. 

Sebaliknya, dengan menghormati budaya lokal, banyak pejabat yang datang ke Bali mengenakan pakaian adat Bali, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang gambarnya banyak terpajang di baliho sekarang ini. Tak ada yang menyebut Presiden Yudhoyono mengenakan "pakaian Hindu" dan saya yakin keimanan Presiden tak sedikit pun ternoda oleh kekhasan budaya lokal ini.

Budaya Nusantara begitu beragam, indah nan mempesona. Budaya yang datang dari luar memang tak bisa dibendung dalam era global ini. Budaya Timur Tengah atau budaya India, misalnya, boleh saja diimpor dan beradaptasi dengan budaya lokal. Tapi, memaksakan budaya itu untuk dipakai dengan dalih bahwa dari negeri itulah asal muasal agama dan turunnya kitab suci agaknya berlebihan. Ajaran agama harga mati untuk pengikutnya, tapi budaya lokal yang tak bertentangan dengan ajaran agama tentu berhak dilestarikan. 

Dengan tetap melanggengkan budaya lokal sembari memberikan kebebasan umat dalam memeluk keyakinan,  hari-hari raya keagamaan seperti milik bersama. Dan itulah yang terasa pada setiap Natal di Tanah Air ini, khususnya di Bali, ada kebersamaan pada hari yang kudus itu, sebagaimana kebersamaan pada Idul Fitri dan hari raya Hindu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar